Tentang Perspektif

Selamat Tahun Baru 2016!

Tentunya banyak hal yang membuat kita bersemangat menyambut tahun baru. Bagi sebagian kita ada rencana besar untuk dilakukan di tahun 2016, misalnya pernikahan, melanjutkan sekolah, atau sedang menunggu kelahiran putra pertama. Ada pula yang merencanakan untuk membuka bisnis, menerbitkan buku, melakukan perjalanan ke luar negeri, dan sebagainya. Semuanya itu begitu menarik dan membuat kita bergairah menyambut tahun yang baru.

Saya pribadi tidak memiliki rencana 'besar' untuk tahun 2016. Bahkan pada malam pergantian tahun, di mana banyak orang di Denver dan sekitarnya pada begadang demi merayakan detik-detik pergantian tahun dan pesta kembang api, saya malah tidur di jam normal. Mau lihat kembang api di suhu minus? Nggak deh, tempat tidur saya lebih menarik.

Bangun pagi, saya seperti biasa menyempatkan diri membaca postingan teman-teman di media sosial. Banyak yang memasang foto perayaan tahun baru di berbagai belahan dunia. Berbagai foto pesta. Berbagai foto jalan-jalan. Berbagai foto mesra dengan pasangan. Saking banyaknya, saya seperti bisa mendengar kebisingan media sosial. Sensory overload? Tidak juga. Saya masih tahan melihat, hanya saja hati saya yang tidak siap. Saya merasa down.

Betapa tidak.....kehidupan orang lain terlihat begitu menarik, begitu banyak kesenangan, begitu indah, begitu.....(isi sendiri deh). Saya merasa hidup saya begitu.......biasa. Begitu sunyi. Standar. Tidak menarik bagi pihak luar untuk melihat dan membicarakannya. Tidak populer. Tidak kekinian. Bahkan cenderung tradisional. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau.

Saya menangis. Saya merasa rendah diri. Saya merasa tidak signifikan di dunia ini, apalagi di dunia maya di mana setiap orang bisa membuat dirinya menjadi 'signifikan' alias 'penting' dengan berbagai cara.

Kasihan suami saya, punya istri yang mirip ABG labil. Tapi apa yang disampaikannya pada saya di hari pertama tahun 2016 sungguh mengubah cara pandang saya. Di tengah-tengah saya curhat tentang betapa tidak signifikannya saya, dia berkata,

"Bagi Galaksi Bima Sakti, Bumi kita ini tidak ada artinya. Tapi bagi manusia yang tinggal di Bumi, Bumi itu segalanya".

Saya terdiam. Bukan tertohok, tapi bingung. Ini diajak curhatan malah ngomongin sains? Jadwal saya volunteer di Denver Museum of Nature and Science masih lama! Tapi kemudian dia menerangkan, bahwa yang dia maksudkan adalah: Semua itu hanya masalah perspektif.

Dia bilang, saya memiliki pengaruh yang kuat dan memberikan perbedaan bagi orang-orang di sekeliling saya yang mencintai dan membutuhkan saya: dia, keluarga saya, keluarga dia, murid-murid saya dan keluarganya, rekan-rekan sesama musisi dan guru musik, para penghuni panti jompo tempat saya volunteer main piano, jemaat Gereja di mana saya bertugas sebagai pemain keyboard, anak-anak SD yang saya bimbing di Gereja, bahkan pengunjung museum yang ketemu saya hanya sesekali. Meski saya tidak menjadikan diri saya signifikan di media sosial, saya signifikan di dunia nyata.

Kalau saya posting foto mesra misalnya, keuntungannya hanyalah untuk saya. Tapi kalau saya aktif di kehidupan nyata, banyak orang akan merasakan manfaatnya. Meski hanya dengan seulas senyum, kita bisa membuat perbedaan bagi orang lain.

Hari itu, pesan yang sama juga disampaikan oleh Ibu saya ketika saya curhat ke beliau. Seakan-akan mengkonfirmasi pesan yang saya terima dari Sang Penjunan Agung melalui suami saya. Tidak seorangpun di muka Bumi ini diciptakan tanpa makna, tanpa signifikansi. Sekarang, tinggal kita belajar melihatnya dari perspektif Sang Maha Cinta.

Denver, 7 Januari 2016




Comments

  1. Mbak, aku kira dikau sudah cukup sibuk untuk ga ngerasa rendah diri... Kalo masih bisa ngerasa rendah diri dan gak pede karena posting2 di medsos..artinya kamu harus lebih sibuk lagi, hihihi... :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makanya nge-blog. Biar tambah sibuk dan lebih memahami tentang diri sendiri dan nilai diri. :D

      Delete
  2. Aku sudah 3 bulan ini Mbak menarik diri dari hingar bingar IG dan FB. Ternyata aku baik-baik saja dan hidupku merasa tentram. Aku bisa lebih fokus sama langkahku, hidupku. Mengukur dan menilai hidupku dari sesuatu yang nyata, bukan like atau komen dunia maya. Yang bertahan hanya blog dan twitter. Blog buat belajar menulis dan membaca pemikiran beberapa yang nulis blog dari perspektif berbeda, kalau twitter buat baca berita.

    ReplyDelete
  3. Betul! Betul sekali mbak. Saya setuju. Seumur-umur saya hanya punya FB, untuk memudahkan kontak dan berbagi foto dengan keluarga di Surabaya (untuk membuktikan kalau saya masih hidup mbak, hahahah). Tapi akhir-akhir ini semakin FB semakin bising dengan orang-orang yang pada meneriakkan betapa indahnya hidup mereka. Pusing saya!!! Sekarang ngeblog aja lebih enak, tenang, dan bisa belajar banyak. Kalau berita biasanya saya langsung ke TKP, misal BBC, NASA, Denver Post.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts