Pemahaman Baru akan Janji Pernikahan ~ Bagian 1

Suatu pagi di bulan Agustus 2015 saya membaca berita tentang seorang artis Indonesia yang menggugat cerai suaminya ketika usia pernikahannya baru 4 bulanan. Awalnya saya bersikap biasa saja. Ah, sudah biasa nih para artis kawin-cerai. Kim Kardashian saja pernah menikah hanya 72 hari. Biasa. 

Tapi entah kenapa, semakin saya baca semakin saya tergelitik. Iya, saya tahu menikah itu bukan perkara gampang. Menyatukan dua pribadi yang berbeda 180 derajat itu susah, saudara-saudara. Spoiler alert buat yang mau nikah. Mungkin masa pacaran kita terlihat begitu indah, tidak pernah bertengkar, selalu mesra, tapi begitu menikah kenyataan tak seindah harapan. Bukan nakutin ya, hanya realistis saja.

Selesai membaca berita tersebut, saya merasa sangat ingin untuk membaca kembali janji pernikahan saya. Janji pernikahan tersebut kami ucapkan saat pemberkatan pernikahan kami. Keseluruhannya ada 3 poin, tapi untuk tulisan kali ini saya akan fokus hanya pada poin pertama saja. Begini bunyinya:

"Saya, Brendon (Dhita) bersedia menerima Dhita (Brendon) menjadi istri (suami) saya dan berjanji akan mengasihi Dhita (Brendon) seperti saya mengasihi diri saya sendiri, seperti Kristus mengasihi jemaat.“

Selintas janji tersebut terdengar biasa dan umum untuk sebuah janji pernikahan Kristiani. Tapi pagi itu saya langsung mak deg!!! Saya bawa kalimat tersebut dalam saat doa dan renungan pagi saya, dan betapa saya banyak belajar pagi itu!

Hal pertama yang 'menohok' saya adalah 'berjanji mengasihi (pasangan) seperti saya mengasihi diri sendiri. Oke. Saya nyalakan komputer saya dan mulai menulis cara-cara saya (dan kita pada umumnya) mengasihi diri saya sendiri. Ini hasilnya:

  • Tubuh kita kita jaga setiap hari, kita mandikan, kita beri pakaian yang baik, rambut kita sisir dengan rapi, wajah diberi makeup yang secukupnya supaya tampil segar dan sedap dipandang mata. Intinya, kita jaga kebersihannya dan kita percantik penampilannya. Tidak perlu operasi plastik, kalau kita bener-bener memiliki cinta diri yang sehat maka kita akan mencintai tubuh kita apa adanya.
  • Supaya tubuh kita sehat, kita sediakan makanan yang sehat. Kita pilih sayuran organik, daging bebas antibiotik dan bahan kimia lain, kue dan camilan rendah kalori, minuman menyehatkan, buah segar dan bukannya buah kalengan. Kita pilihkan teh paling berkhasiat, kopi paling nikmat, dan jamu paling manjur. Kita ajak tubuh kita olahraga, kalau perlu bayar membership, gabung Gym dan sewa pelatih pribadi.
  • Kalau tubuh kita sakit atau luka, kita akan melakukan apa saja untuk merawat tubuh kita supaya kita kembali sehat, mulai ke dokter dengan spesialisasi paling top dengan gelar berderet sampai segala macam obat dan jenis perawatan. Segala macam cara digunakan untuk meringankan rasa sakit sampai akhirnya sakit atau luka itu sembuh. Makan dijaga, istirahat cukup, obat lancar, kalau perlu sewa suster atau masuk rumah sakit dengan fasilitas paling canggih atau berobat ke luar negeri.
  • Kalau kita sedih, mood lagi jelek, atau lagi galau, kita akan melakukan apapun yang kita bisa untuk membuat kita kembali ceria. Kita melakukan hobby, curhat ke orang terdekat, jalan bareng teman-teman, nonton bioskop, baca buku, pergi ke konser, atau kalau memang perlu, konseling.
  • Kadang kita sesekali memanjakan diri. Pergi ke spa, meni-pedi, beli boneka (khususnya saya), makan di restoran mewah, beli baju trendi, beli komputer atau gadget terbaru, jalan-jalan ke luar negeri.
  • Kita bekerja keras untuk mewujudkan impian. Kita belajar keras supaya bisa mendapatkan pekerjaan mapan dan mencukupi kebutuhan (dan keinginan) sendiri. Kita melakukan apa saja untuk menggapai mimpi: cari beasiswa, cari guru yang bagus, kursus sana sini, sekolah di sekolah terkenal, ikut lomba ini itu, ikut workshop ini itu, magang, networking, jual sawah, belajar sambil bekerja, dan sebagainya.
  • Kita ingin membuat hidup kita senyaman mungkin. Kita ingin rumah yang bagus. Perabot yang awet dan nyaman, dekorasi rumah yang indah. Tempat tidur yang empuk dan hangat. Taman yang menyejukkan. Mesin cuci/pengering, mesin cuci piring, vacuum cleaner, microwave, TV, DVD player, video game console, alat musik, gadget, telepon, komputer, internet, mobil/motor, AC/heater, dan semua yang membuat hidup kita jadi mudah.
  • Ketika kita berbuat salah atau melakukan sesuatu yang bodoh, apakah kita akan menggebuki diri kita sendiri dan meninggalkan diri kita sendiri/menceraikan kita? Mana bisa kita menceraikan diri kita sendiri? (hint: bunuh diri bukan jawabannya). Jadi kita ‘terpaksa’ memaafkan diri kita dan memulai lagi dari awal, untuk menjadi lebih baik. Kita memberikan kepada diri kita kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai akhir nafas kita nanti.
  • Kita tidak suka rasa sakit. Orang waras manapun tidak akan menyakiti, merendahkan dan mempermalukan dirinya sendiri.

OK, sudah ada beberapa poin di sini. Pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan jackpot, saudara-saudara. Ini dia: maukah kita melakukan hal yang sama buat pasangan kita?


  • Maukah kita memberikan pakaian yang terbaik, perawatan tubuh yang terbaik untuk pasangan kita? Ataukah kita akan ngomel begitu tahu pasangan kita pergi ke salon untuk potong rambut karena kita harus keluar uang? Bisakah kita menerima tubuh/fisik pasangan kita yang mungkin kurang ‘sedap’ dipandang dalam standar dunia? Atau kita akan memaksa dia operasi plastik supaya kita tidak malu bila harus berjalan dengannya? Atau kita malah meninggalkannya untuk bisa bersama orang lain yang lebih keren secara fisik?
  • Maukah kita menyediakan makanan bergizi yang juga lezat, mendorong pasangan untuk mempraktekkan gaya hidup sehat, bersama-sama menjaga kesehatan tubuh tampa ngomel-ngomel apalagi mengkritisi di muka umum?
  • Maukah kita selalu ada di samping pasangan kita ketika dia lemah, sakit, terluka baik fisik maupun mental, atau memiliki kelainan fisik (misal, cacat tubuh,  tidak bisa punya anak) dan mengusahakan semua pengobatan, dokter dan fasilitas terbaik baginya? Atau kita akan meninggalkannya karena dia kita anggap “merepotkan” dan tidak lagi bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan kita?
  • Ketika pasangan kita sedang memiliki masalah, sedang sedih, mood dia sedang jelek, uring-uringan, maukah kita bersabar mendengarkan segala curahan hatinya, menghiburnya, memberikan waktu untuknya menenangkan diri, memeluknya, membesarkan hatinya? Maukah kita mengajaknya melakukan hal-hal yang bisa memperbaiki mood-nya? Atau malah kita ikut uring-uringan karena pasangan yang ‘harusnya’ menjadi sandarkan kita tidak bisa lagi disandari? Atau malah kita sok pinter, sok menasihati dia untuk melakukan ini-itu dengan cara berbeda/menyalahkannya dan merendahkannya? Atau kita marah karena sikap dia yang kurang bersahabat bikin kita bete dan mengganggu keasyikan kita menikmati sesuatu?
  • Apakah kita mau sesekali memanjakan pasangan kita, membelikan sesuatu yang dia inginkan, memberikan pijatan kasih sayang setelah dia pulang kerja, memasakkan masakan kesukaannya, memberikan dia waktu untuk jalan bersama teman-temannya, memberikan kejutan, mentraktirnya di restoran yang bagus tanpa menunggu hari spesial? Atau justru kita mengharapkan pasangan melakukannya untuk kita tapi kita masa bodoh dengan dia?
  • Apakah kita menganggap impian pasangan adalah impian kita juga? Apakah kita mau berkorban untuk membantu mewujudkan impian pasangan kita? Maukah kita membiayai sekolahnya atau kursusnya, menyediakan fasilitas untuk pengembangan impian, mencarikan informasi, mengenalkan dengan orang-orang terkait dalam bidang impian pasangan kita bila kita kebetulan kenal, dan segudang hal lainnya? Ataukah kita akan serius mengejar impian kita dan menuntut agar pasangan menunda, atau lebih buruk lagi, melupakan impiannya karena kita anggap tidak penting? Apakah kita akan memaksanya bekerja atau menjadi ibu rumah tangga supaya kita bisa fokus mengejar impian kita? Apakah kita berusaha mengendalikan pasangan kita supaya dia tidak merecoki kerja kita yang sedang mewujudkan impian?
  • Maukah kita selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi pasangan kita: rumah yang layak, makanan yang sehat dan hangat, rumah yang nyaman, rapi dan bersih, fasilitas rumah tangga yang membantu pekerjaan istri sehingga dia punya waktu untuk hal-hal yang disukainya, mencuci dan menyeterikakan pakaian suami sehingga dia bisa fokus bekerja untuk menyediakan yang terbaik bagi istri? Maukah kita saling memberi dan melayani?
  • Bila pasangan kita berbuat salah, mengambil keputusan yang salah, bertindak bodoh, membuat kita kesal, atau gagal, maukah kita memaafkan dia dan memberinya kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai maut memisahkan? Maukah kita mengambil langkah untuk memperbaiki apa yang salah, dan dengan sabar mengarahkan pasangan bila dia bebal dan tidak merasa bersalah? Maukah kita menegurnya dengan kasih dan meyakinkan bahwa kita memaafkan dia dan bahwa kita akan bersama dia untuk memperbaiki apa yang kurang benar? Ataukah kita akan marah, berteriak, kecewa, merendahkan pasangan kita, dan bahkan meninggalkannya?
  • Maukah kita menjaga nama baik pasangan kita dan menjaga tubuh dan jiwanya? Maukah kita menahan lidah kita dari menceritakan keburukan pasangan kita pada orang lain atau mem-posting-nya di media sosial? Maukah kita menerima pasangan apa adanya tanpa membanding-bandingkannya dengan orang lain? Maukah kita berkomitmen bahwa kita akan berusaha sedapat mungkin, dalam tubuh dan dunia yang penuh dosa ini, tidak menyakiti pasangan kita baik secara fisik, verbal, emosional, finansial dan seksual?
  • Maukah kita berkorban, bahkan mengorbankan impian, keinginan, harta, waktu, dan lainnya agar pasangan kita memperoleh apa yang kita sebagai suami-istri pandang terbaik bagi kita dan bagi pasangan? Maukah kita mengorbankan impian untuk mendampingi pasangan yang sedang sakit? Maukah kita meninggalkan tempat dan segala yang begitu familiar untuk kita demi bersama orang yang kita cintai, meskipun tempat baru itu tidak sebaik tempat kita? Maukah kita bekerja keras dengan pekerjaan yang standar/bukan pekerjaan impian supaya pasangan kita dapat mengejar impiannya?


Dalam keyakinan saya, pasangan yang menikah ibarat dua menjadi satu. Pasangan kita bukan lagi orang lain, tapi bagian dari kita. Dia adalah kita. Karena itu, kasih kita pada diri kita akan diulurkan dalam kasih kita padanya. Cara kita mencintai kita akan menjadi cara kita mencintai dia. Cintai diri kita sebaik mungkin, sebagaimana Tuhan ingin kita mencintai diri kita, dan cintailah pasangan kita dengan cara yang sama kita mencintai diri kita sendiri, karena……….dia adalah kita. (Bersambung)


Comments

Popular Posts