Pandangan Baru akan Janji Pernikahan ~ Bagian 2

Kita sudah membahas bagian pertama dari Janji Pernikahan saya. Sekarang saya akan membagikan renungan saya untuk bagian kedua. Karena saya menikah secara Kristiani dan janji tersebut cukup spesifik dengan ajaran Kristiani, saya akan sedikit memberikan referensi dari Alkitab akan makna janji tersebut.

Bagian kedua berbunyi '[mengasihi] seperti Kristus mengasihi jemaat'. Dalam keyakinan Kristiani, Yesus Kristus datang ke dunia untuk mengorbankan dirinya sebagai korban persembahan yang kudus dan tak bercela untuk menghapuskan dosa manusia. Setiap orang yang percaya kepada-Nya akan beroleh hidup yang kekal, menjadi jemaat/umat-nya yang akan tinggal bersama-Nya di Surga dalam kekekalan. Sedemikain besar kasih-Nya pada umat manusia sehingga Tuhan sendiri turun ke Bumi untuk mati bagi mereka. Penjelasan ini hanya sebagai latar belakang untuk memahami pembahasan saya selanjutnya. 

Untuk memahami bagian tersebut, saya membuka Alkitab saya untuk mencari ayat yang menjadi dasar janji tersebut, Ayat tersebut berbunyi demikian:

"Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikan dan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikan juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya"
(Efesus 5:25-30)

Memang ayat tersebut ditujukan untuk suami, tetapi dalam janji pernikahan saya, saya sebagai istri juga mengucapkannya. Janji yang spesifik untuk istri baru muncul di poin kedua, yang bukan menjadi bahasan topik kita ini. 

Oke. Setelah saya memahami latar belakang ayatnya, saya bertanya, bagaimanakah Kristus mengasihi jemaat? Saya kemudian mulai mengetikkan jawabannya di komputer saya: 
  • Menyerahkan diri-Nya bagi jemaat, yang berarti rela berkorban nyawa bagi jemaat-Nya. Kasih-Nya sedemikan besar sehingga tidak ada apapun yang tidak akan diserahkan-Nya bagi kekasihNya ini…..bahkan tubuhNya dan hidup-Nya diberikan-Nya untuk menebus kesalahan jemaat-Nya. Nyawa pun tidak disayangkan-Nya.
  • Dengan pengorbanan tersebut, Kristus dapat membersihkan dan menguduskan jemaat-Nya. Dengan kata lain, jemaat-Nya diberikan kekudusan, segala kesalahan dan kekuarangan jemaat sudah tidak lagi menjadi masalah, jemaatnya didandani dengan cantik untuk dibawa kehadapan-Nya yang penuh cinta.
  • Kristus tidak pernah membenci gereja-Nya, apalagi meninggalkannya, sekacau apapun gereja-Nya itu, namun memeliharanya dan merawatnya, membimbingnya, mengasihinya, karena gereja itu adalah Tubuh-Nya sendiri. Seperti sudah kita bahas di Bagian 1, kita sangat menyayangi diri dan tubuh kita, dan menginginkan yang terbaik baginya. Demikian pula Kristus, bahkan lebih lagi.
Ketika saya mendaftar hal-hal ini, jujur saya merinding! Dulu ketika mengucapkan janji tersebut, saya paham maknanya, tapi tidak sedalam ini. Apalagi ditunjang perasaan penuh sukacita akhirnya menikah dengan orang yang saya cintai. Ditambah lagi saya harus menghafalkan tiga poin Janji Pernikahan dalam Bahasa Inggris! Tapi sekarang saya bertanya pada diri saya sendiri: Bersediakah saya mencintai suami saya seperti Kristus mencintai jemaat-Nya?


  • Bersediakah saya berkorban baginya, untuk memberikan yang terbaik baginya? Bersediakah saya mati (bisa secara literal maupun kiasan) baginya?
  • Maukah saya menerima semua kelemahannya, dan terus menguduskan suami saya dalam doa saya, dalam kehidupan rohani saya, dalam kehidupan kami berdua? Bisakah saya ‘mendandani’ suami saya dalam kasih dan Firman, mengisi dan memperbaiki kekurangan dia dalam kasih dan tidak mengungkit-ungkit yang telah lalu? Bisakah saya, dengan menjadi diri saya dalam Kristus, menjadikan suami saya pribadi yang lebih baik bagi saya, bagi sesama dan bagi Kristus?
  • Maukah saya menerima dia apa adanya, sekacau apapun atau setidak cocok apapun pandangan kami, dan terus memelihara dan merawatnya dalam kasih? Bisakah saya memegang komitmen untuk tidak meninggalkannya dalam kondisi apapun sebagaimana Kristus tidak pernah meninggalkan saya biarpun saya dalam kondisi hancur lebur?

Selesai saat doa pagi itu saya deleg-deleg. Bukan main beratnya Janji Pernikahan itu. Bisakah saya mencintai tanpa syarat? Mampukah saya? Secara manusia, tidak. Hanya Sang Maha Kuat yang akan memampukan kami untuk melakukannya. Itulah doa kami.

Denver, 8 Januari 2016


Comments

Popular Posts