Gimana sih Belajar Bahasa Inggris yang Efektif? (Bagian 2)

Dua minggu berlalu sejak saya mengirimkan surat keramat tersebut ke Amerika. Suatu siang sepulang kuliah, Ibu saya memberi tahu saya bahwa ada surat dari Amerika untuk saya. Hah? Dari Amerika? Dari Mira? Masa? Dia ngerti ya tulisan saya yang amburadul itu?

Ternyata benar, saudara-saudara. Mira membalas surat saya, dan dia menulis betapa senangnya dia mendapatkan balasan dari saya. Dia menanggapi segala yang saya tulis tanpa ada salah pemahaman akan maksud saya! Ahhh, semakin berbunga-bungalah saya. Saya segera membalas suratnya tersebut. Hingga detik blog ini ditulis, kami sudah bersahabat pena (atau sahabat surel, terserah apa istilahnya) selama 18 tahun. Dia bahkan khusus datang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan saya. Semua ini bermula dari kenekatan menulis dalam Bahasa Inggris!

Menjadi sahabat pena Mira membuat saya belajar banyak. Saya belajar berbagai kosa kata baru. Saya belajar bagaimana seorang native speaker menggunakan grammar. Ingat kan, di sekolah kebanyakan kita hanya menghafalkan rumus tenses tanpa pernah memahami makna tenses dan apa gunanya. Dari Mira-lah saya melihat penggunaan grammar secara tepat dan benar. Saya belajar memahami kosa kata dan tenses berdasarkan konteks budaya Amerika. Selain itu, saya belajar mengekspresikan diri saya, cerita hidup saya, dan sebagainya dalam bentuk tulisan. Semua modal nekat, tapi nekat yang cerdas. Ketika membaca surat darinya, saya tidak hanya membaca sekilas, tapi saya menganalisa juga mengapa dia memilih menuliskan suatu kalimat sebagaimana dia menuliskannya.

Zaman kuliah juga tak lepas dari buku-buku teks berbahasa Inggris. Ketika dosen menunjukkan buku yang digunakan untuk mata kuliah tertentu yang kebetulan berbahasa Inggris, banyak teman saya segera berburu terjemahan buku tersebut. Sementara saya malah memilih buku versi Bahasa Inggrisnya. Mahal sih, tapi tidak mengapa. Seperti orang Jawa bilang: Jer Basuki Mawa Beya. Kalau mau maju ya harus ada pengorbanan!!

Awalnya saya harus membuka kamus juga. Tidak tanggung-tanggun, saking niatnya belajar Bahasa Inggris, kamus saya bukanlah kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia. Kamus saya adalah Oxford English Pocket Dictionary alias kamus English-English!!!  Meskipun punggung ini bungkuk tiap hari bawa buku tebal dan kamus, serta lamanya waktu yang dibutuhkan ketika saya harus bolak-balik halaman kamus untuk memahami suatu kata, semangat tidak pernah padam. Gas pol rem blong!!!

Tidak lama kemudian saya tidak lagi membutuhkan kamus sesering sebelumnya. Saya belajar memahami bacaan Bahasa Inggris bukan dari kata per kata, tapi dari makna keseluruhan suatu kalimat atau bahkan paragraf. Saya belajar kosa kata akademik terkait dengan bidang keilmuan saya. Saya belajar bagaimana mengekspresikan karya saintifik dalam Bahasa Inggris. Di masa kuliah inilah sisi academic English saya mulai terasah.

Niat luhur belajar ini sempat menjadi blunder. Ketika saya lulus, salah satu teman saya (cowok!) sempat berkata ke saya bahwa saya yang selalu membawa buku tebal ke kampus, membaca kapanpun ada waktu, dan membaca buku versi bahasa Inggris tanpa kamus ternyata membuat banyak cowok-cowok kampus takut pada saya. Apa ini sebabnya nggak ada cowok yang tertarik sama saya ketika kuliah? Nasib, ya nasib! Cerita lengkapnya akan saya tuliskan lain waktu. Stay tuned!


Menjelang kelulusan, setiap mahasiswa kampus saya yang sudah mengajukan proposal Tugas Akhir (TA) mendapat kesempatan kursus gratis Bahasa Inggris di Pusat Bahasa. Salah satu syarat kelulusan dan untuk bisa menerima ijazah adalah nilai TOEFL minimal 450 untuk Strata 1. Saya yang baru sekali tes TOEFL ketika ikut Mahasiswa Berprestasi (tapi tidak pernah tahu skor-nya) ikut mendaftar. Mumpung gratis. Ah, saya memang oportunis.

Baru mengikuti 2 kali kelas kursus, Pusat Bahasa menyelenggarakan tes TOEFL. Karena gratis, kami yang calon wisudawan ini didorong untuk ikut juga. Ya sudah, ikut aja deh, Nothing to lose. Maka betapa terkejutnya saya ketika hasil ujian diumumkan, saya menerima sertifikat khusus karena skor saya cukup tinggi, lebih dari cukup untuk lulus, bahkan cukup untuk melamar beasiswa luar negeri! Sejak itu saya tidak lagi ikut kursus di kampus. (tuh kan, oportunis banget.). Waktu yang ada saya gunakan untuk menggarap TA saja. Akhirnya...LULUS!!!


DUNIA KERJA
Setelah lulus saya mendapat kesempatan bekerja sebagai Assistant Engineer di sebuah konsultan asing yang sedang memiliki proyek di Surabaya. Tugas saya adalah menjadi assiten tenaga ahli yang datang dari Australia, Inggris dan Jepang: mulai dari menterjemahkan dokumen/laporan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, menjadi penterjemah bagi para tenaga ahli tersebut di rapat-rapat dengan pejabat di pemerintahan, menuliskan laporan, bahkan kadang presentasi dalam Bahasa Inggris (baca: menjelaskan hasil penelitian/pencarian data kepada para tenaga ahli tersebut). Awalnya ya kagok juga, malu-malu kucing, dan takut, tapi mereka sangat baik dan pengertian. Bahkan tak jarang mereka juga mengajari saya kosa kata baru, cara menulis laporan teknis dalam Bahasa Inggris, dan bahkan mengajak kami diskusi hal-hal ringan di luar pekerjaan. Semakin mantaplah kemampuan berbahasa Inggris saya!

Ketika proyek tersebut selesai, saya diterima bekerja sebagai Pegawa Negeri Sipil (PNS). Meskipun pekerjaan saya jarang sekali yang melibatkan penggunaan bahasa Inggris, saya tetap berusaha mempertahankan kemampuan saya dengan tetap membaca berbagai tulisan (buku, berita, komik, petunjuk pemakaian alat di laboratorium, bahkan buku  Standard Method yang berisi metode standar analisa  kimia di laboratorium) dalam Bahasa Inggris, bersahabat pena dengan Mira dan dengan salah satu rekan kerja di konsultan dulu yang berasal dari Inggris. Untuk tetap mengasah kemampuan listening saya rajin mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa Inggris, dan langsung menuliskan liriknya di komputer. Untuk menantang diri sendiri saya mengharuskan diri saya untuk mengetik lirik yang sedang diucapkan, dan selesai tidak lama setelah kata tersebut diucapkan. Hitung-hitung latihan mengetik cepat 10 jari. Dengan terus mempertahankan kemampuan ini, saya menjadi salah satu karyawan dengan kemampuan Bahasa Inggris yang mumpuni, yang sering dapat kesempatan mengantar dan mendampingi tamu-tamu dari luar negeri dan pejabat teras kementerian. Sisi negatifnya: ketambahan pekerjaan menterjemahkan ini-itu tanpa duit ekstra!! Nasib......

Tahun 2004 saya mendapat kesempatan mengunjungi mantan rekan kerja di Inggris selama 2 minggu. Untuk pertama kalinya saya tinggal di rumah keluarga Inggris, harus berbicara bahasa Inggris setiap hari, makan makanan Inggris, mendengarkan kotbah di gereja dalam Bahasa Inggris, dan membaca segala sesuatu dalam bahasa Inggris. Serasa ikut program homestay gitu. Saya diperkenalkan ke keluarga besar dan rekan-rekan teman saya ini, dan setiap kali saya harus menjelaskan saya dari mana, kenalnya gimana, apa pendapat saya tentang Inggris, dan sejenisnya.

Hari pertama di Inggris saya seperti mengalami shock bahasa. Rasanya benar-benar lelah harus mendengarkan dan berbicara dalam Bahasa Inggris 24 jam sehari. Namun di hari pertama tersebut, sepertinya telinga saya mengalami AHA! moment: yaitu ketika akhirnya telinga saya terbuka dan setiap kata Bahasa Inggris terdengar begitu jelas. Saya merasa seperti orang yang telinganya baru dibersihkan, setiap kata terdengar sangat jelas! Mungkin ini yang namanya immersion, yang bahasa kerennya adalah 'belajar Bahasa asing dengan cara nyebur langsung'? Tak diragukan lagi, efektif!!!

Beberapa hari kemudian, ketika sarapan, teman saya ini bertanya,

"Gimana, apakah kamu sudah mimpi dalam bahasa Inggris?"

Pertanyaan aneh. Tapi kemudian dia menjelaskan, bahwa bermimpi dalam bahasa Inggris adalah indikator bahwa saya telah menyesuaikan diri (dan nyaman) dengan kehidupan di Inggris dan bahasanya. Settled in, begitu istilah kerennya. Oh, gitu ya? Baru tahu. Ini catatan penting buat anda-anda yang belajar bahasa di luar negeri. Apakah anda, ketika berbicara dalam mimpi anda, sudah menggunakan bahasa asing tersebut?

(Bersambung)



Comments

Popular Posts