"Jadi Perempuan Jangan Terlalu Cerdas"

Pernah dengar nasihat seperti judul di atas? Saya pernah. Sering malah, dengan segala bentuk variasinya. Inti pesannya adalah bahwa jadi perempuan itu jangan terlalu 'mencolok' dari segi kecerdasan, kemandirian, dan kesuksesan karir. Alasannya? Klise. Bisa berat jodoh. Nggak kawin-kawin. Jadi perawan tua. You name it.

Sedikit membuka rahasia, saya tidak pernah mempunyai pacar sampai saya berusia 28 tahun. Tentu saja hal tersebut mengundang komentar-komentar dan wejangan tak diundang semacam judul di atas. Mungkin pembaca heran dan bertanya: lha terus kamu ngapain aja selama SMA dan kuliah? Kan banyak tuh lagu-lagu dan film yang menggambarkan oh betapa indahnya pacaran masa SMA? Alasan saya sama klisenya: ya belajar dong. Emang kita sekolah buat apa? *tssaaahhh*

Tulisan ini akan memberikan sepenggal cerita saya menghadapi hal tersebut.

Sejak kecil saya dididik untuk mengembangkan kemampuan saya sebaik mungkin. Saya disekolahkan di sekolah terbaik, dileskan musik, diajari ini itu. Orang tua saya mewajibkan kami semua kuliah. Kami dididik untuk mandiri sejak kecil. Pendidikan kemandirian ini semakin 'keras' setelah ayah kami meninggal. Bukan karena Ibu saya mendadak jadi tiger mother setelah ayah berpulang, tapi hidup itu sendiri yang mendidik kami untuk menjadi orang-orang yang tahan banting. Tidak tergantung pada orang lain. Selalu kreatif dalam mencari solusi. Bekerja keras. Tidak pernah setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Dewasa. 

Ketika lulus kuliah, seorang teman saya (cowok) bilang bahwa saya adalah perempuan berhati dingin, sedingin es. Saya membawa buku dan belajar di mana-mana, dan ternyata sikap ini dipandang sebagai sikap dingin dan angkuh (semacam sok pinter, sok rajin), yang membuat cowok-cowok takut. Hah? Takut? Sungguh, saya benar-benar bingung. Saya nggak pakai ancam-ancam para cowok ini, kok mereka takut sama saya?

Setelah lulus saya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Selain sebagai PNS, saya juga mengajar musik di hari Sabtu dan hari lain sepulang kerja. Bisa dibayangkan betapa 'mentereng'-nya saya sebagai seorang perempuan: lulusan terbaik, menjadi PNS yang merupakan impian kebanyakan orang Indonesia, punya kerja sampingan bergaji besar, dari keluarga baik-baik, cerdas dan berbakat. Ini bisa, itu bisa. 

Tak terbilang berapa kali sudah rekan-rekan mengingatkan saya untuk kembali kepada "kodrat" perempuan. Mereka bilang jadi perempuan itu jangan terlalu pinter, jangan terlalu mencolok suksesnya, jangan terlalu mengejar karir, jangan ketinggian kalau menetapkan standar calon suami. Loh, gimana sih? Kan saya yang akan hidup dengan si cowok selama hidup saya. Harus yang highly compatible dong. Kalau cuma demi status menikah saja tapi ga cocok, buat apa menikah? Nggak terhitung pula berapa kali saya pulang kantor menangis karena merasa tertekan dengan semua nasihat tak diundang itu.

Terlalu pintar. Terlalu sukses. Standar yang tinggi. Salahkah saya kalau saya pintar? Itu karunia dari Pencipta saya. Salahkah saya mengembangkannya dan menggunakannya semaksimal mungkin? Bukankah itu yang seharusnya kita lakukan di hadapan Sang Penjunan Agung? Salahkah saya kalau saya mengharapkan laki-laki yang mendampingi saya harus mampu mengimbangi pola pikir saya?
Mengapa perempuan yang selalu diharapkan untuk menurunkan kualitas dirinya demi laki-laki, dan bukannya laki-laki yang didorong untuk meningkatkan kualitas dirinya untuk menggapai perempuan idamannya? Mengapa perempuan yang selalu disuruh mengalah, demi ego laki-laki?

Saya memutuskan untuk tidak pernah mengubah apa adanya diri saya demi mendapatkan status menikah. Kehilangan diri sendiri demi status? Harga yang terlalu mahal hanya untuk sebuah status! Saya tetap saja mempertahankan standar tinggi saya, Biarlah saya dibilang keras kepala. Emang sudah dari sononya. Belum diberi jodoh, ya ayuk mengembangkan diri saja.

Saya memilih kuliah S2 di Amerika. Itupun bukan tanpa wejangan tak diundang. "Hati-hati loh, kalau sudah S2 nanti malah lebih sulit dapat jodoh. Cowok itu biasanya nggak mau kalau ceweknya lebih pintar. Jumlah cowok S2 atau lebih tinggi yang seumuran denganmu jarang di negeri ini". 

Luar biasa perhatiannya sebagian orang kita sama urusan pribadi tetangganya. 

Di Amerika, saya tetap berusaha menjadi diri saya. Ternyata saya tidak sendiri. Di kampus saya banyak perempuan-perempuan hebat, cerdas, dan mandiri. Saya merasa cocok sekali dengan pola pikir mahasiswa Amerika dan mahasiswa internasional. Mereka rata-rata berpikiran terbuka, cerdas, dan nggak cupet seperti kebanyakan rekan-rekan saya di Indonesia itu. Di kampus saya di Amerika inilah saya bertemu suami saya. 

Dia tidak merasa terintimidasi oleh kecerdasan saya dan kemandirian saya; dia justru senang. Dia malah mengagumi bahwa saya, seorang perempuan, anak ragil/bungsu, berhasil mendapatkan beasiswa bergengsi dan berani mengambil langkah besar ke negeri asing yang jauh, tanpa didampingi siapapun. Dia senang bahwa saya berpikiran sama terbukanya dengan dia dan nyambung kalau diajak bicara mulai dari sains, keteknikan, musik, sampai budaya. Semua kelebihan saya yang dipandang 'mentereng', terlalu 'menyilaukan' dan terlalu menakutkan oleh sebagian laki-laki, dipandangnya sebagai nilai lebih yang membuat saya semakin istimewa di matanya. 

Moral of the story: jangan pernah menurunkan nilai diri sendiri hanya demi memenangkan cinta seorang laki-laki. Apalagi sampai mau disuruh melakukan ini itu sebagai 'bukti cinta'. Justru kalau dia cinta, dia yang akan membuktikan cintanya dengan menghargai batasan yang kita tetapkan dan melindungi kita. 

Jangan ubah diri kita sebagaimana Tuhan menciptakan kita, jangan pernah kompromikan nilai-nilai moral dan kebenaran hanya supaya laki-laki tidak takut mendekati kita. Jangan redupkan cahaya kita hanya karena orang-orang itu silau! Biarkan cahaya kita menjadi filter: hanya mereka yang bisa menghargai cahaya kita saja yang akan mendekat. Dan itu berarti, mereka keren lahir batin. :D



Denver, 16 Januari 2016

Comments

  1. Setelah baca postmu yg ini dan yg sblmnya, kesimpulanku.. Ada yg salah deh dg tempat kerjamu yg dulu, hihihi.... *just kidding*

    Krn ceritamu mirip kyk aku (well, aku bahkan di Yamaha ngajar 4 hari dan itu sejak kuliah!) tp ta ingat2 ga ada yg resek kasih2 wejangan tuh :p

    ReplyDelete
  2. Hahahahahaha........cerita mirip tapi beda nasib ya. Yah, jalan hidup berbeda. Banyak yang perhatian sama saya meskipun mungkin caranya kurang berkenan buat saya. Jadinya malah bentrokan psikologis. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oiya, "perhatian", bukan resek.. Bener2... Tujuannya baik walaupunvmungkin caranya kurang berkenan ya.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts