Perempuan Tanpa Anak, Perempuan Tanpa Nilai?

Saya menikah pada bulan Oktober 2010. Saat menikah, usia saya sudah di atas 30 tahun, cukup 'terlambat' untuk ukuran masyarakat Indonesia. Sebagaimana layaknya kepada orang yang baru menikah, rekan-rekan kerja saya tentunya memberikan semangat agar kami segera memiliki momongan. Akhirnya pada bulan ketiga pernikahan saya hamil.

Namun sayang, pada bulan Januari 2011 saya harus kehilangan janin saya. Saya harus menjalani kuret. Tidak perlu saya ceritakan betapa sedih dan sakitnya hati saya, betapa hancurnya saya ketika harapan yang begitu indah harus terhempas di depan mata. Namun, sakit dan sedihnya keguguran masih tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang terjadi selanjutnya. Lebih sakit lagi, yang melakukan semua itu bukanlah suami saya, keluarga saya atau keluarga mertua saya. Tapi orang lain di luar lingkaran keluarga.

Saya disalahkan atas peristiwa tersebut. Mulai dari cara saya berjalan sampai makanan yang saya makan ketika hamil dianalisa dan dikritik. Padahal, para ahli saja hingga saat itu belum mampu menjelaskan secara medis sebab-sebab kondisi kehamilan yang saya alami sehingga harus dikuret. Saya ditekan untuk segera hamil lagi dan segera memiliki anak. Hanya seminggu atau dua minggu setelah saya keguguran saya sudah disodori brosur klinik kesuburan. Saya 'diancam': katanya kalau saya tidak segera memiliki anak, maka suami saya akan meninggalkan saya. Katanya kalau saya tidak punya anak saya tidak akan lengkap atau sempurna sebagai seorang perempuan. Kalau saya tidak memiliki anak maka saya tidak akan pernah bahagia. Katanya perempuan itu tidak ada nilainya kalau dia tidak bisa melahirkan anak.

Saya ditanya setiap hari apakah saya sudah hamil atau belum. Ketika berat badan saya naik akibat perawatan pasca-kuret, saya dikritik lagi: "Kamu ini gemuk tapi kok nggak (bukan karena-penulis) hamil ya". Bahkan ada yang meskipun mungkin maksudnya bercanda, tapi cukup 'merendahkan' suami saya juga: "Kok belum hamil, bukannya kalau WNA itu tokcer ya?". Ada pula seorang bapak yang tanpa tedeng aling-aling, dengan nada tinggi, berkata "Kamu ini sudah menikah berapa lama sih, kok belum hamil-hamil juga?"

Bisa dibayangkan perasaan saya setiap hari. Mereka tidak tahu mengapa kami tidak memiliki anak. Sampai saat inipun saya tidak memiliki anak. Mengapa, mungkin anda bertanya. Saya mohon maaf, untuk urusan yang satu itu biarlah hanya saya, suami saya, dan Tuhan saja yang tahu. Tulisan ini saya buat untuk berbagi pengalaman saya menghadapi beratnya tekanan untuk hamil yang akhirnya membawa saya pada perjalanan menemukan nilai diri dan jati diri saya yang sejati.

Tekanan, hinaan, dan ancaman orang membuat saya semakin stress. Melihat orang hamil membuat saya ingin menangis. Ditanya sudah punya anak atau belum membuat saya murka dan defensif. Melihat ke belakang, saya sungguh kasihan melihat suami saya. Dia sungguh mencintai saya dan tidak pernah mengharuskan saya punya anak. Sikap dia adalah pasrah, kalau diberi ya dirawat dengan penuh kasih sayang, kalau tidak ya mari menikmati hidup apa adanya. Namun saat itu saya begitu terobsesi untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan saya mengabaikan dia dan keluarga besar saya. Kata-kata suami saya untuk belajar melihat hal-hal yang kami miliki bersama untuk disyukuri dan dinikmati, dan bukannya melihat ke hal-hal yang tidak kami miliki hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Betapa menyedihkannya saya saat itu.

Ketika saya pindah ke Amerika, tekanan sungguh jauh berkurang. Orang Amerika sebagian besar menganggap pertanyaan soal anak dan kehamilan adalah pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Bertanya, apalagi sampai main tekan main ancam seperti rekan-rekan saya tersebut dianggap sudah mencampuri ranah pribadi seseorang dan melanggar batas privasi. Saya masih menerima beberapa pertanyaan "Sudah hamil belum?" dari teman-teman di media sosial yang sesekali chatting dengan saya. Biasanya mereka langsung kena gamparan saya. Maaf ya, teman-teman yang merasa. :)

Berada di lingkungan yang jauh lebih tenang, dikelilingi cinta dan penerimaan dari keluarga terutama suami saya sendiri, membuat saya mulai mencari nilai diri saya. Saya masih merasa bahwa sebagai perempuan, sebagai istri, saya belum sempurna tanpa anak. Saya belum membuktikan nilai diri saya sebagai perempuan. Maka, mulailah perjalanan ini melalui doa, perenungan, hingga riset.

Siapakah Saya?
Hal pertama yang saya cari adalah tentang diri saya sendiri. Siapakah saya? Mulanya, pola pikir negatif saya yang berbicara. Saya perempuan tidak berguna. Saya perempuan tidak bernilai. Saya perempuan yang tidak punya anak. Saya tidak punya ini....saya tidak bisa itu....dan sejenisnya. Sungguh pola pikir yang membuat stres!!!

Suatu hari ketika sedang membersihkan dapur dan membuat sarapan, saya merasa dibimbing oleh Sang Maha Bijak untuk mulai mengatakan hal yang positif tentang diri saya. Saya sehat. Saya cukup manis juga. Saya memiliki tingkat intelegensia yang cukup tinggi, bahkan memiliki gelar master dan telah memiliki beberapa penelitian/karya ilmiah. Saya memiliki bakat musik: piano, organ, biola, dan vokal. Saya memiliki bakat mengajar. Saya menguasai 3 bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris. Saya memiliki kemampuan interaksi sosial yang cukup baik sehingga orang merasa nyaman bersama saya. Saya suka memberikan motivasi kepada orang lain. Saya bisa memasak, meski hanya sebatas survival saja. Saya memiliki kemampuan administrasi yang baik (kok semakin lama semakin kedengaran seperti surat lamaran kerja ya? hahahahaha).

Perenungan tersebut berlanjut ke hal yang lebih esensial. Saya adalah putri dari orang tua saya. Anak yang mereka cintai sebagaimana adanya saya, meski sudah tak terhitung berapa kali saya membuat mereka sedih, sakit dan kecewa. Saya adalah istri dari suami saya, yang meskipun mengetahui bahkan hal-hal terburuk dalam diri saya, tetap memilih untuk mencintai saya setiap hari. Terlebih lagi, saya adalah putri dari Sang Maha Tinggi. Saya adalah ciptaan-Nya, mahakarya-Nya, kebanggaan-Nya, yang diciptakan-Nya dengan penuh kasih, penuh perhitungan, dan penuh dengan rencana dan misi bagi kemuliaan-Nya. Mahakarya yang tiada duanya. Diciptakan untuk melakukan misi khusus di dunia, yang hanya saya seorang yang bisa melakukannya.

Begitu indah dan mulianya saya!! Bukan karena apa yang bisa saya kerjakan, bukan karena performa saya, bukan karena fisik saya, tapi hanya karena saya adalah saya. Orang tua saya mencintai saya sejak saya dalam kandungan, bukan karena ketika dalam kandungan saya sudah bisa main Piano Concerto. Mereka mencintai saya bukan karena ketika lahir saya langsung bisa mengerjakan Kalkulus. Mereka mencintai saya meski ketika SMP saya belum bisa menemukan obat kanker. Mereka mencintai saya dan menerima saya bahkan sebelum saya bisa melakukan apapun. Ketika saya remaja dan mulai memberontak, cinta mereka tidak sedikitpun pudar. Karena saya adalah saya, buah cinta mereka. Kalau orang tua saya saja, yang adalah manusia tidak sempurna, bisa mencintai saya seperti itu, bukankah lebih lagi Sang Maha Cinta yang menciptakan saya?

Sebentar. Tunggu dulu. Saya? Mulia? Saya adalah Mahakarya Sang Agung? Saya memiliki tujuan dan misi? Kok bertolak belakang sekali dengan apa yang orang-orang katakan pada saya bahwa tanpa anak seorang perempuan itu tidak ada artinya? Sebentar, sebentar. Kok sepertinya ada yang nggak beres di sini?

Then it hits me. Mereka menilai harga diri saya dan nilai diri saya hanya dari fungsi sebuah organ tubuh. Mereka menilai harga diri seorang perempuan hanya dari rahimnya. Mereka tidak melihat potensi seorang perempuan seutuhnya, potensinya sebagai seorang manusia yang utuh dan lengkap. Secerdas apapun seorang perempuan, sehebat apapun prestasinya di luar kehidupan domestik, sebesar apapun sumbangsihnya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia, sebijak apapun dia memimpin keluarga, organisasi atau bangsa, bagi mereka perempuan tanpa anak tetap perempuan tanpa nilai. Tetap perempuan tanpa guna. Layak ditinggalkan dan dibuang.

Saya merinding. Bukan karena saya takut dinilai seperti itu, tapi karena saya sendiri mempercayai pandangan tersebut. Saya telah merendahkan Mahakarya Sang Penjunan Agung. Ibaratnya, tanah liat yang dibentuk menjadi sebuah bejana menghina Penjunannya, dengan mengatakan "Gimana sih, Engkau berkata Engkau adalah Penjunan, tapi kok membentuk saya aja tidak becus?!?!?!? Saya ini harusnya dibentuk menjadi sebuah poci!! Soalnya kalau saya bukan poci, saya ini nggak berguna!!! Masa begitu saja Engkau tidak tahu?? Mana kemampuan-Mu sebagai penjunan yang Engkau bangga-banggakan itu?" Saya saja merasa gerah, tidak nyaman, dan merasa sangat melecehkan Tuhan dengan menuliskan kalimat itu. Tapi saya tidak menyadari bahwa itulah yang saya katakan pada-Nya melalui tindakan saya mempercayai hal-hal yang bukan berasal dari kebenaran-Nya dan merendahkan nilai diri saya sendiri. Langsung saya memohon ampun atas kesalahan saya, dan memohon bimbingan-Nya untuk mencari nilai diri saya yang sebenarnya.


Perempuan yang Berharga
Pengalaman tersebut telah membuka mata saya. Ya, saya berharga. Saya dicintai. Saya memiliki tujuan dan misi di dunia ini. Tapi (setidaknya untuk saat ini) bukan melahirkan dan membesarkan anak. Lalu apa?

Seperti telah saya sebutkan, saya berharga, dicintai, dan diterima oleh DIA, oleh keluarga dan suami bukan karena performa saya. Tapi karena saya adalah saya, apa adanya. Saya adalah mahakarya, putri, dan cinta dari Sang Maha. Itu saja sudah cukup untuk menjadi alasan bahwa saya berarti dan berharga. Saya mulai belajar untuk menerima cinta-Nya dan cinta orang-orang di sekeliling saya yang tanpa syarat. Entah mengapa, sulit bagi saya menerima cinta tanpa syarat. Entah mengapa, sepertinya sudah tertanam di alam bawah sadar saya bahwa saya harus memenangkan cinta. Harus perform dan unggul untuk dicintai. Harus ada alasan bahwa saya layak dicintai. Sungguh melelahkan hidup yang demikian!

Sekarang saya menggali diri saya sendiri. Saya berkolaborasi dengan Sang Penjunan, suami, keluarga, dan teman-teman terkasih untuk mencari dan mengembangkan bakat, passion, dan hal-hal yang bisa saya lakukan untuk berbagi cinta dan apa yang ada pada diri saya untuk orang lain. Mencari jalan hidup saya. Menemukan misi dan tujuan saya diciptakan ke muka Bumi ini.

Jawabannya sederhana ternyata: menjadi diri sendiri. Sekecil apapun yang saya lakukan dengan menjadi diri saya, saya telah memenuhi tujuan Sang Penjunan saya membentuk saya seperti apa adanya saya. Saya ditempatkan menjadi anak dari orang tua saya di Indonesia, maka jadilah anak yang baik. Saya menjadi istri dari suami saya, maka saya akan menjadi istri terbaik yang saya bisa. Saya adalah menantu dari mertua saya, maka saya berjuang menjadi menantu terbaik yang saya mampu. Saya dilahirkan sebagai orang Indonesia, maka di Amerika sini saya aktif memperkenalkan budaya Indonesia kepada orang-orang Amerika. Saya diberi kemampuan intelektual dan mencintai Astronomi, maka saya membagikan ilmu melalui kerja sukarela di Denver Museum of Nature and Science dan sesekali menulis artikel/podcast Astronomi untuk membantu perkembangan Astronomi Indonesia.

Saya suka mengajar dan memiliki bakat musik, maka saya mengajar piano, main piano di panti jompo dan ikut serta memajukan pendidikan musik di tempat di mana saya tinggal melalui keanggotaan Music Teachers National Association. Sang Maha Guru telah mempercayakan beberapa ciptaan-Nya untuk saya didik secara musikal. Untuk memperbaiki kualitas saya sebagai pianis dan guru, saya tidak segan les piano lagi, ikut seminar dan masterclass sana sini. Saya ditempatkan di Colorado, maka saya berbaur dengan masyarakat lokal. Saya melayani di gereja lokal baik sebagai pemain keyboard maupun sebagai mentor remaja gereja. Apapun yang ada pada saya, saya bagikan ke siapa saja yang membutuhkan.

Kalau Tuhan memutuskan untuk tidak memberi saya anak, tentunya DIA memiliki rencana dan tugas lain buat saya.  Ibaratnya warga Surabaya mau ke Jakarta, banyak cara yang bisa ditempuh. Ada yang karena urusan bisnis harus cepat, memilih untuk naik pesawat paling pagi. Ada yang karena tidak terburu waktu tapi tidak ingin capek, memilih pesawat agak siang. Jenis pesawat yang dipilih pun beragam pilihannya, baik maskapai maupun harga. Ada juga yang karena sesuatu dan lain hal memilih untuk naik kereta. Yang lain lagi ingin mampir ke keluarga di Jogja dan Bandung, jadi membawa kendaraan sendiri sekalian tour.  Ada yang naik bis. Ada pula yang naik sepeda sebagai bagian kampanye maupun kompetisi. Apakah yang naik pesawat akan menghina yang naik mobil dan mampir-mampir? Apakah yang memang ingin naik kereta lantas bilang yang naik pesawat itu hanya pamer? Tidak kan? Demikian pula hidup kita. Jalan hidup kita berbeda-beda, tugas dan rencana-Nya bagi kita berbeda-beda, orang-orang dan situasi yang membutuhkan kita berbeda-beda, namun pada akhirnya kita semua akan menuju kepada-Nya.

Saya berharga. Ya, saya adalah perempuan yang berharga, berguna, berarti dan dicinta!!


The Battle Continues
Peperangan dalam menggapai nilai diri tidak hanya terjadi antara perempuan dengan anak vs perempuan tanpa anak. Perang terjadi di antara para ibu yang memiliki anak: melahirkan normal vs operasi caesar, ASI vs susu formula, ibu rumah tangga vs ibu bekerja, parenting, dan seabreg peperangan lainnya. Saya tidak tahu apa persisnya yang melatarbelakangi semua peperangan ini, tapi saya punya sedikit opini.

Mengapa ibu yang melahirkan normal merasa perlu menganggap mereka-mereka yang melahirkan dengan operasi caesar lebih rendah statusnya? Teman saya bahkan pernah berkata ke saya bahwa ada yang mengatakan bahwa ibu-ibu yang melahirkan lewat operasi caesar belum menjadi ibu yang sebenarnya. Menurut orang-orang ini, hanya perempuan yang melahirkan secara normal dengan kesakitan tanpa bius epidural adalah ibu yang sejati. Busyet. Saya yakin hal yang sama terjadi di pertempuran lain yang saya sebutkan di atas. Yang satu merasa lebih unggul dibanding yang lain.

Karena saya di luar sistem, boleh ya saya beropini. Menurut saya, ibu-ibu tersebut bersikap begitu karena mereka merasa perlu untuk menunjukkan keunggulan, kehebatan, keistimewaan, kebijaksanaan, dan betapa mereka 'lebih' dari yang lain. Kenapa? Karena dengan demikian mereka memiliki peluang lebih besar untuk diperhatikan, disanjung, dihargai, dihormati, yang ujung-ujungnya........diterima dan dicintai.

Tidakkah ini menyedihkan? Kita semua membutuhkan penerimaan dan cinta yang tanpa syarat. Tapi mengapa kita harus merendahkan sesama kaum kita agar kita bisa diterima dan dicintai? Mengapa kita harus saling 'membunuh'? Mengapa kita tidak menebarkan cinta, penerimaan, dukungan, dan pengertian kepada sesama kaum kita, lalu mendidik generasi penerus kita untuk melakukan hal yang sama?


Denver, 15 Januari 2016
Dalam kenangan anak kami yang telah berpulang ke Rumah Penjunan Sejati, 28 Januari 2011













Comments

  1. Aku masih bertanya2 sambil baca..dan sampai pada kalimat "ketika kami pindah ke Amerika..." ..and it becamr crystal clear for me, hahaha!! Aku kira kejadian2 sblmnya itu di Amrik, aku sempet penasaran sopo neng Amrik usil takon ngunu... Haha..

    Btw, kurasa sdh saatnya aku mengajakmu berkeliling, berkenalan dg blogger2 lainnya dan saling kunjung mengunjungi blog mereka. Insya Allah menyenangkan dan bisa saling berbagi. Nggak sedikit yg juga sdg menunggu kehadiran anak.

    Btw krn aku lg lewat hp, g bs terlalu bebas searching2. Tapi ada 1 yg aku ingat, yaitu denald.com, blog mb Deny, anak Stat ITS 99 yg menikahbdg org Belanda. Aku pertemukan kalian di page "about"nya dia ya? :)

    ReplyDelete
  2. Hahaha.....kalau di Amerika sini nanya begitu itu tabu! Boleh ajak saya berkeliling, ayuukkk! Kenalin aja sama teman-teman blogger, meski aku masih rada malu-malu karena masih pemula dan lapaknya sederhana sekali. Thanks ya!!

    ReplyDelete
  3. Mampir perdana Mbak Dhita :)
    Mudah-mudahan dengan berbagi lewat tulisan, apa yang bisa dibagi, jadi agak lega ya :) Kalau aku waktu hamil itu memang dalam kondisi belum siap mental. Jadi sewaktu keguguran pertama jujur sedih tapi itu ga berlangsung lama karena justru aku lega. Aku belum siap untuk hamil. Buatku, punya anak dari rahim sendiri itu pilihan, bukan kewajiban. Suami santai2 aja, karena dia tahu bahwa peran ibu itu sepanjang umur, jadi ga bisa dipaksakan kapan siapnya. Kami ga menunda ataupun memprogram, sedikasihNya saja. Dan aku selalu percaya bahwa Tuhan akan menitipkan sesuatu pada saat yang tepat, tidak datang terlalu cepat maupun tidak datang terlampat.
    Tentang battle, aku menyimpulkannya bahwa itu datang dari keinginan untuk diakui. Iya, sebuah pengakuan dari lingkungan. Kalau mereka nyaman dengan pilihannya, ga perlu rasanya battle. Tapi kalau mereka merasa inginnya sebuah pengakuan, maka mereka akan tercebur dalam battle. Kalau aku sih dari sejak jaman SMA sampai sekarang pengennya kalau punya anak melahirkan secara caesar. Alasannya sederhana : karena aku takut melahirkan secara normal :)
    Mbak ini kok ga ada pilihan Name/URL ya dibagian Comment as

    ReplyDelete
  4. Selamat datang, mbak Deny! Terima kasih telah berkenan mampir di blog sederhana saya. Iya mbak, ternyata menulis memberikan sedikit kelegaan, setidaknya bisa 'meledakkan' beban yang selama ini tersimpan dalam-dalam. Kalau bukan karena dukungan teman-teman sesama blogger, saya mungkin tidak akan pernah memiliki blog. Salah satu dari teman luar biasa tersebuta dalah Vita, yang rajin mendukung saya.

    Soal pilihan Name/URL, coba saya tanya sama ahlinya, Vita. Soalnya saya sendiri masih sangat baru di sini, masih nyoba-nyoba segala macam settingan. Semoga bisa segera saya perbaiki bagian itu.

    Salam kenal mbak, semoga pertemanan kita semakin kuat dalam berbagi pengalaman.

    ReplyDelete
  5. Easy going sj mb ..pernan jg kosong meski cuman 6 bln ..tp esmosi mmg ..sampe cemburu sm gelandangan hamil, he he ..Skrg punya anak 3, yg ke2 special needs mb .., meski dikasih 7 asal cewek sy mau ..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts