Gimana sih Belajar Bahasa Inggris yang Efektif? (Bagian 3 - Habis)

ZAMAN KULIAH DI AMERIKA
Tahun 2006 saya mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat.( Kisah suka duka melamar beasiswa akan saya tuliskan di kesempatan lain.) Dengan rasa bangga dan percaya diri karena berhasil mendapatkan beasiswa yang cukup kompetitif tersebut, saya memasuki ruang kuliah hari pertama. Betapa kagetnya saya ketika para profesor bicara secepat senapan mesin sambil menurunkan rumus-rumus menggunakan integral diferensial dan apalah itu namanya. Skor TOEFL yang cukup tinggi ternyata tidak tercermin di hari pertama kuliah saya. Rasanya langsung down banget.

Tak disangka pula, kampus tempat saya kuliah tempatnya cukup terpencil di ujung utara Negara Bagian Michigan, di tengah hutan, dikelilingi Danau Superior. Hanya ada 6 orang Indonesia di sana, dan kami semua tinggal di tempat terpisah. Rumah kontrakan saya berisi 4 orang Amerika dan saya sebagai satu-satunya orang non-Amerika di rumah tersebut. Pertamanya saya takut sekali. Mereka semua terlihat begitu pintar dan percaya diri. Sementara saya malah mengkerut di kamar saya di lantai 3.

Tapi perlahan-lahan, teman-teman Amerika saya ini membantu saya keluar dari zona nyaman saya. Mereka mulai mengajak saya bicara, mengantarkan saya belanja, memperkenalkan saya pada budaya Amerika dan bahasa-bahasa slang, memasak buat saya, bahkan juga mengajari saya pelajaran di kelas dan membantu memeriksa Bahasa Inggris saya di tugas-tugas atau paper. Kebetulan 2 dari 4 orang Amerika tersebut kuliah di Fakultas yang sama dengan saya. Boleh dibilang saya sangat dimanjakan.

Salah satu hal penting yang saya pelajari adalah bagaimana bertengkar dalam Bahasa Inggris. Ternyata tidak semudah bayangan. Kalau saya emosi, pikiran seringkali tidak selancar kalau saya tenang. Bagaimana mau berpikir kata apa yang mau dipakai bertengkar kalau otak saja sudah kalah sama emosi? Boro-boro memikirkan kata-kata pertengkaran cerdas dan menterjemahkannya dalam Bahasa Inggris, melihat orang yang sedang bertengkar sama kita aja rasanya udah pengen kita lemparin buku segede gaban. Ternyata bertengkar dalam Bahasa Inggris juga perlu skill!!!

Kuliah di luar negeri sudah barang tentu akan meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris saya. Akibat diwajibkan membaca 100 lebih halaman  buku dan jurnal setiap minggu, per mata kuliah (ya, itu per mata kuliah, setiap minggu. Kalau ambil 3 mata kuliah, siap-siap aja semaput kalau anda tidak suka baca) saya menjadi terbiasa dengan Bahasa Inggris Akademik untuk bidang keilmuan saya. Saya jadi terbiasa dengan ekspresi-ekspresi saintifik, yang pada waktunya akan saya gunakan ketika menulis paper atau thesis. Dosen-dosen di Amerika juga mewajibkan setiap mahasiswa untuk aktif di kelas: bertanya, berdiskusi, bahkan presentasi mingguan. Suka-tidak suka, saya harus berani untuk mengemukakan pendapat, harus mempresentasikan paper dan jurnal, harus memimpin diskusi, dan bahkan debat ilmiah.

Setiap kali memulai, saya (seperti kebiasaan orang Indonesia pada umumnya) selalu meminta maaf atas Bahasa Inggris saya dan mendorong setiap orang yang mendengarkan untuk tidak sungkan bertanya kalau saya kurang jelas dalam mengatakan sesuatu. Para Profesor dan rekan sesama mahasiswa tidak pernah keberatan, mentertawakan, atau mengkritik Bahasa Inggris saya. Yang mereka lakukan adalah selalu memuji Bahasa Inggris saya. Kadang mereka bercanda juga:

"Your English is better than my Indonesian."

Mereka tahu bahwa bahasa ibu kita bukan Bahasa Inggris. Mereka memahami bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa kedua (sebenarnya sih, dalam kasus saya, bahasa ketiga setelah Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa) para mahasiswa internasional. Mereka kagum bahwa saya mampu menguasai 3 bahasa. Jadi akhirnya saya mulai mengurangi kegiatan meminta maaf ini. Tanpa saya sadari, hal ini membuat saya semakin percaya diri dengan kemampuan Bahasa Inggris saya. Mungkin karena saya tidak lagi meminta maaf, yang mengindikasikan bahwa secara psikologis saya sendiri tidak percaya diri akan kemampuan saya. Perlu dicoba tuh.

Ketika kuliah inilah saya bertemu suami saya. Mulanya biasa saja (mengutip Trio Libels), tapi lama-lama naksir juga! Kalau kata orang Jawa: witing tresno jalaran saka kulina. Ketemu jodoh karena terbiasa. Pacaran ternyata memberikan kesempatan belajar Bahasa Inggris yang tidak kalah dengan kuliah. Saya belajar bagaimana mengekspresikan cinta, bagaimana menetapkan batas (catat ya, yang masih pada single, tetapkan batas ketika pacaran!!) dan menyampaikannya, bagaimana berkompromi dan mencari jalan tengah, menyelesaikan konflik, dan tentu saja.....bertengkar dalam Bahasa Inggris! Kesalahpahaman karena kurangnya kemampuan Bahasa Inggris adalah salah satu pemicu konflik dalam hubungan beda bangsa seperti saya ini. Karena itu saya juga tidak ragu untuk meminta pacar saya itu untuk terus mengajari saya, mengoreksi saya, atau menegur saya bila saya menggunakan kata-kata Bahasa Inggris yang menurut konteks budayanya berpotensi menyinggung orang lain. Lumayan kan? Les gratis.


PENUTUP
Begitulah sekilas kisah saya belajar Bahasa Inggris. Sekilas tapi panjang ya? Semoga tulisan ini bisa membawa manfaat.

Mungkin ada di antara pembaca yang berpikir, susah amat. Apa tidak ada cara yang lebih cepat? Sayangnya, tidak ada proses pembelajaran yang instan. Bayi saja ketika lahir tidak langsung bisa lari, tapi harus dimulai dari belajar mengangkat kepalanya sendiri, belajar memutar tubuhnya, belajar merangkak, belajar berdiri, belajar berjalan, baru belajar lari. Prosesnya tidak mudah juga, tapi melibatkan proses terbentur, jatuh bangun, bahkan terluka. Bayi juga tidak lahir sebagai orang dewasa. Tidak, semua itu butuh proses. Pertanyaan yang lebih tepat adalah, maukah anda bertahan di dalam proses pembentukan anda?

Selamat belajar!!!












Comments

  1. Hua panjaaang hahaha.. Eh mbak, berarti dikau tuh ga pernah les ya? Kalo aku, inget banget. Sempat hampir selalu nangis kalau ngerjakan PR bhs Inggris saat SMP, titik balikku adalah setelah kursus di YPIA Manyar, kebetulan dpt guru top bgt.. Dan kyknya krn basic yg ditanamkan guru itu sgt kuat, langkah2 selanjutnya terasa mulus utkku..

    ReplyDelete
  2. Hahha....iya panjang. Maklum, suka nggedabrus. Betul, aku tidak pernah les. Aku lebih banyak belajar dari terjun langsung menggunakan Bahasa Inggris. Syukurlah kalau dirimu punya guru yang keren yang memberikan dasar yang kuat. Bagaimanapun, dasar itu penting. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts