The Four Musketeers (4): Masa Perkuliahan

Persahabatan Jarak Jauh
Setahun kemudian, Rian kembali mengikuti UMPTN, dan kali ini dia diterima di Teknik Informatika ITB. Kami tidak sedikit pun pernah meragukan kalau dia akan bisa masuk ke jurusan yang konon paling sulit ditembus di Indonesia. Hanya masalah waktu saja sih.

Akhirnya The Musketeers sekarang terbagi dua sama rata: divisi Surabaya dan Bandung.  Kuliah di tempat yang berbeda bukan berarti kami putus kontak. Meski sudah tidak bisa belajar bersama lagi karena jarak dan bidang yang berbeda, kami masih rajin komunikasi dan berbagi berita, termasuk saling membantu di mana bisa.

Sejak tahun pertama kuliah, saya dan Phian rutin berkirim surat. Iya, surat lewat pos yang harus dimasukkan amplop dan ditempeli perangko itu loh. Saat itu email belum sepopuler sekarang. Jadinya kami sudah kayak orang pacaran jarak jauh gitu. Isi pembicaraan bervariasi mulai soal kampus, kuliah (dia bahkan menjelaskan apa itu diagram tulang ikan), kos-kosan, teman baru, sampai gebetan. Kadang dia ngirimin saya stiker STT Telkom. Ini buktinya cowok-cewek bisa bersahabat tanpa ada naksir-naksiran, bahkan ngomongin gebetan masing-masing! Di akhir surat pasti ada gambar ikon dia dan ikon saya. Biasanya ikon saya digambarkan terbantai secara brutal. Kami semua terlatih loh menggambar ikon masing-masing, dan berlomba secara kreatif membantai ikon sebelah. Ngoahahahahah...

Berhubung saya sama Lucky masih sekota, kami masih sering pergi bareng. Komunikasi juga lebih gampang karena tinggal telepon tanpa perlu khawatir bayar telpon interlokal (sekali lagi, generasi milenial yang kurang tahu apa itu tarif interlokal, silakan cek dengan mbah Google). Kami mempertahankan tradisi ulang tahun meski kadang hanya berdua. Catat ya, berdua tapi murni teman. Kebetulan juga ulang tahun kami berdekatan, Januari-Februari, jadi ya kami ngerayain sendiri tanpa Phian dan Rian. Suatu hari dia datang menjemput saya untuk nonton bareng. Saat itu saya ada masalah di kulit lengan saya: kemerahan dan gatal di satu area kulit. Saya khawatir kalau saya garuk terus nanti malah luka dan menyisakan bekas luka yang tidak bisa hilang. Saya cerita ke Lucky soal ini, dan dia minta izin memeriksa lengan saya. Buat yang belum baca episode sebelum ini, saya hanya ingin memberi tahu kalau Lucky ini sekolahnya di jurusan kedokteran. Setelah memeriksa, dia bilang ke saya soal diagnosisnya (saya lupa apa, eksim kalo ga salah), kemudian menuliskan sesuatu di secarik kertas.

"Nanti kamu ke apotek terus beli obat ini ya. Oleskan ke kulitmu yang bermasalah itu", kata Lucky.

Besoknya saya ke apotik beli obat yang dituliskan Lucky dan merawat masalah kulit saya sesuai anjuran. Beberapa hari kemudian langsung hilang, sembuh!  Lucky juga banyak membantu keluarga saya soal kesehatan. Pas ibu saya sakit, saya telepon Lucky dan bertanya apa yang harus dilakukan atau obat apa yang pas. Meski masih mahasiswa, saran-saran dia selalu tepat. Enak ya punya sahabat (calon) dokter, punya dokter pribadi! Ngoahahahah..........

Setiap kali Phian dan Rian pulang kampung, kami selalu usahakan untuk berkumpul. Mereka biasanya mudik pas liburan semester, jadi pas dengan tradisi perayaan ulang tahun kami. Kadang meski tidak lengkap, kami tetap kumpul.

Suatu hari saya, Phian dan Lucky pergi bareng nonton film "The Matrix". Rian saat itu tidak bisa pulang. Setelah nonton, Phian nyeletuk "Eh, aku tahu kenapa Rian ga bisa ikut kita nonton hari ini". Kami semua tahu sih, tapi heran sama celetukan si Phian.

"Emang kenapa?"

"Lha itu tadi dia main film yang kita tonton"

Memang kalau dilihat-lihat, wajahnya Rian emang mirip-mirip Keanu Reeves. Sudah gitu bidang dia komputer-komputer gitu, jadi emang cocoklah dia jadi Neo. Hahahahaha........

Terkait dengan komputer, ini kisah pemalakan selanjutnya. Phian mulai menggunakan email untuk bersurat-suratan dengan saya. Saat itu, saya memberi dia alamat email kakak saya. Jadi kalau ada email dari Phian, kakak saya yang akan panggil saya dan memberi waktu pada saya untuk membalas. Ketika semua warga Musketeers punya email pribadi kecuali saya, Phian mulai protes.

"Dhi (panggilan sayang mereka ke saya...hahahah), kamu bikin alamt email sendiri dong"

Kalau dipikir-pikir, mungkin sudah waktunya ya. Saat itu saya juga punya sahabat pena di Amerika, Mira. Kalau bisa kontak lewat email kan komunikasi akan jadi lebih mudah dan cepat. Berhubung saya buta komputer, siapa lagi yang dipalakin untuk bikinin alamat email kalau bukan.......Riiiaaaaannnnnn!!!!! Padahal saya punya kakak kandung (cowok) yang juga sangat fasih berkomputer di rumah sendiri. Tapi gimana-gimana "kakak" yang di Bandung lebih gampang dipalakin.

Maka saya kontak Rian, minta bantuan untuk dibuatkan alamat email pribadi saya dengan kriteria khusus. Berhubung sahabat pena saya di Amerika memanggil saya dengan nama Cinde (nama tengah saya), saya meminta Rian untuk memasukkan elemen nama tersebut ke alamat email saya. Maksud saya supaya mudah buat Mira untuk mengenali bahwa itu alamat email saya. Nggak pakai lama, Rian mengirimkan email berisi informasi email pribadi saya: alamatnya dan kata sandinya. Alamat email itu menggunakan dua elemen nama saya: Cinde dan Dhita

Saya nggak ingat persis apa kami akhirnya punya mailing list. Sepertinya sih ada. Sejak itu, komunikasi jadi lebih asyik dan cepat lewat email, meski nggak bisa lagi saling membantai ikon masing-masing. Harga yang harus dibayar demi sebuah teknologi...........


Bala Bantuan Tugas Akhir
Memasuki semester kedelapan, saya mulai menyusun Tugas Akhir (TA). TA saya ini berupa studi literatur (stulit) bertema penipisan lapisan ozon. Berhubung jurusan Teknik Lingkungan ITS memiliki titik berat pada pencemaran air, dosen pembimbing saya menyarankan saya mencari materi buku dan jurnal ke Institut Teknologi Bandung (ITB), yang jurusan Teknik Lingkungannya memiliki penekanan pada pencemaran udara. Beliau juga punya seorang kolega di jurusan Meteorologi ITB yang beliau sarankan untuk menjadi co-pembimbing saya. Lapisan ozon berada di lapisan udara kedua (stratosfer), sehingga saya juga perlu memahami aspek meteorologinya.

Maka saya mulai merancang misi ke ITB. Saya mendapatkan surat khusus dari kampus yang secara resmi meminta dosen Meteorologi ITB tersebut untuk menjadi co-pembimbing saya. Saya sertakan juga proposal TA saya. Ada tiga lokasi yang wajib untuk saya kunjungi: Jurusan Teknik Lingkungan, Jurusan Meteorologi, dan Perpustakaan Pusat ITB.

Mbak, memangnya kamu tahu ITB? Enggak. Saya cuma tahu Aula Barat dan Aula Timur yang dipakai untuk Festival Paduan Suara ITB yang sudah saya ikuti sejak zaman SMU dulu. Sisanya saya nggak tahu sama sekali. Tapi, saya kan punya koneksi di ITB. Siapa lagi kalau bukan....Rian!

(Kasihan betul Rian dipalakin terus sama saya.....)

Saya segera menghubungi Rian untuk merencanakan perjalanan studi saya. Saya tahu sih dia juga harus kuliah, tapi setidaknya dia bisa menunjukan di mana lokasi jurusan dan perpustakaan yang perlu saya kunjungi. Kalau kampus ITB sebesar dan seruwet ITS, bisa tersesat kalau tidak tahu mana-mana.

Saya tidak ingat persis runtutan perjalanan secara kronologis. Yang saya ingat adalah bahwa saya dan Rian bertemu di parkiran motor, dan dia mengantar saya keliling dan menunjukkan lokasi yang saya perlukan. Saya segera menemui dosen tersebut, dan bersyukur luar biasa ketika beliau menyatakan kesediaannya menjadi co-pembimbing saya. Beliau bahkan menyarankan saya mencari buku teks jurusan Meteorologi di toko buku kampus yang memiliki banyak informasi tentang atmosfer. Di perpustakaan jurusan Meteorologi saya menemukan banyak jurnal yang sangat saya perlukan, dan pustakawan yang bertugas juga sangat membantu dalam membuatkan fotokopi jurnal yang saya butuhkan.

Di jurusan Teknik Lingkungan saya juga mendapatkan beberapa jurnal, meski tidak sebanyak di jurusan Meteorologi. Terakhir, saya mengunjungi perpustakaan pusat. Di situ saya dibantu Rian lagi menemukan buku-buku dengan topik yang saya butuhkan. Beberapa saya hanya perlu sedikit (satu bab atau bahkan beberapa halaman saja) sehingga saya bisa langsung fotokopi di tempat. Tapi ada dua buku tipis (tipis relatif ya) yang saya butuhkan secara keseluruhan, alias butuh fotokopi satu buku. Berhubung saya harus segera kembali ke Surabaya, saya tidak akan punya waktu untuk menunggu fotokopi 2 buku penuh.

Akhirnya Rian juga yang membantu saya di sini. Dia menawarkan akan meminjam kedua buku tersebut atas namanya, membuatkan fotokopi kedua buku dan akan mengirimkannya ke saya di Surabaya. Sebagai mahasiswa lokal ya tentunya tahu lokasi-lokasi fotokopi mahasiswa yang murah meriah. Oke deeehhh!

Sekembalinya ke Surabaya saya mulai menggarap TA dengan bahan-bahan baru. Lucky tidak lupa saya libatkan untuk menjelaskan ke saya istilah-istilah medis yang terkait dengan dampak penipisan lapisan ozon. Tak berapa lama, saya dapat kiriman dari Rian di Bandung. Gila bener, bukunya dijilid soft cover bagus banget! Padahal buat saya yang penting isinya, mau dicopy terus dijepret biasa juga ga masalah. Asli shock.

Saat menuliskan ucapan terima kasih di laporan TA, nama-nama The Musketeers juga saya sebutkan di dalamnya. Mereka punya peran besar dalam perjalanan studi saya, mulai dari mempersiapkan saya untuk kuliah, memilih jurusan, hingga bisa lulus.

Hasilnya? Mantab jiwa! TA saya mendapatkan nilai A!!! Saya lulus kuliah Teknik Lingkungan 8 semester (dengar-dengar saat itu saya lulusan tercepat dalam 14 tahun sejarah Teknik Lingkungan ITS), dengan Index Prestasi yang memuaskan, lulusan terbaik jurusan periode wisuda tersebut, dan gelar tak resmi "Lulusan Nyaris Cumlaude". Ya, IPK saya kurang 0,09 untuk bisa Cumlaude. *melas*

Yaaayyy lulus! Lanjuuuuuttttt!!!





























Comments

Popular Posts