The Four Musketeers (3): Antara SMU dan Perguruan Tinggi

Drama UMPTN
Masa-masa antara EBTANAS dan UMPTN adalah masa-masa berat. Lulus juga belum tentu, sudah harus mempersiapkan ujian untuk masuk perguruan tinggi. Pengennya istirahat setelah peras otak, malah harus peras otak lebih keras lagi. Suram sekali.

Kami berempat ikut kursus persiapan UMPTN di lembaga bimbingan belajar dekat sekolah kami. Meskipun demikian, belajar kelompok tetap jalan. Kali ini kami mendapat anggota baru, Dinni. Jadi belajarnya kadang di rumah Dinni, kadang di rumah saya. Setidaknya sementara ini saya tidak jadi cewek sendirian lagi.

Semakin dekat UMPTN, otak saya sepertinya sudah berasap. Jutek sekali. Malam sebelum UMTPN malah saya memilih tidak belajar keras, tapi andok pecel dorang di depan Unair sama kakak dan Ibu. Belajar paling hanya mengerjakan beberapa paket soal saja. Saya malah tidur sore, supaya segar pas esok harinya ketika mengerjakan soal.

Saat mengerjakan UMPTN saya menuliskan jawaban saya ke lembar soal yang memang boleh dibawa pulang. Niatnya sih ingin menghitung skor saya ketika kunci jawabannya keluar esok harinya di koran-koran. Tapi setelah selesai UMPTN hari kedua, saya sama sekali tidak kepingin menghitungnya! Alasannya? Saya tidak ingin tahu kalau skor saya cukup tinggi dan berharap diterima, namun ternyata tidak. Selain itu, saya takut menghadapi kenyataan kalau ternyata skor saya terlalu rendah untuk bisa diterima di manapun. Maka, setelah sampai rumah, gulungan soal-soal UMPTN berikut jawaban saya itu saya selempitkan di belakang rak buku besar, sehingga untuk mengambilnya kembali butuh usaha ekstra.

Setelah UMPTN kami menghadiri acara perpisahan SMU. Saya ingat betul, saya naik eskalator menuju ruang tempat acara berlangsung bersama Rian. Dia menanyakan berapa skor saya. Saya jawab kalau saya tidak menghitung. Tahu nggak apa komentar dia? Kurang lebih begini: "Ah, kamu jangan gocik (penakut/pengecut) gitu dong!"

Saya hanya bisa melotot. "Pokoknya aku ga mau!!"

Tak lama setelahnya kami mengadakan perpisahan kelas. Kami menginap di villa salah satu teman sekelas di pegunungan. Lumayan bisa relaksasi, main kartu, main treasure hunt, bikin teh dan mie instan bareng, jalan-jalan di tengah sawah bersama teman sekelas sekaligus The Musketeers saya. Saya ingat suatu pagi saya bangun di kamar khusus cewek dan membuka jendela untuk melihat gunung disinari mentari pagi. Eh, di luar jendela, sudah berdiri Phian, menyapa selamat pagi. Seingat saya dia lagi minum teh sama beberapa teman cowok. Akhirnya saya ikutan deh.

Di sinilah untuk pertama kalinya kami berempat berfoto bersama. Fotonya ya dandanan anak-anak di rumah gitu, santai, dan saya habis nangis setelah renungan malam bersama teman sekelas. Ada rasa bersalah bahwa saya tidak terlalu dekat dengan teman sekelas, dan lebih dekat dengan paduan suara. Untungnya teman-teman mengerti....wuih pokoknya mengharu biru deh!

Pulang dari acara perpisahan kelas, kakak saya membuat kejuatan. Selama saya pergi, dia menggali kembali soal-soal saya di balik rak buku dan menghitung skor saya! Mau marah ya gimana.....saya paling dekat dengan kakak kedua saya ini (sama-sama cewek sih), dan saya tahu dia melakukannya karena dia sayang. Akhirnya, mau ga mau ya saya tahu skor saya. Harus lapor juga sama Musketeers. Hadeeeeehhhhhh..................

Seperti yang sudah diduga, skor saya terendah diantara kami berempat. Rian, sudah jelas, mendapat skor tertinggi. Bisa dibilang skor dia kurang lebih 2 kali lipat skor saya (burrrrnnnnnn!!!! 🔥🔥Sakitnya tuh di sini 💔💔). Skor Phian dan Lucky berada diantara skor saya dan Rian. Saya berharap bisa diterima, tapi melihat fakta ini saya jadi tidak yakin.

Saya sungguh bersyukur teman-teman Musketeers sama sekali tidak merendahkan saya. Mereka terus berusaha membesarkan hati saya, menghibur saya, mengingatkan saya bahwa kunci jawaban di koran kadang bisa salah juga, dan banyak faktor yang menentukan kita keterima atau tidak selain skor. Pokoknya mereka so sweet banget deh.

Sehari sebelum pengumuman hasil UMPTN, kami berempat berkumpul di rumah saya untuk sekedar saling menguatkan. Kami sengaja berkumpul sebelum pengumuman, supaya kalau ada salah satu atau lebih dari anggota kami yang tidak diterima, dia (atau mereka) tidak akan merasa canggung berkumpul dan bersenang-senang merayakan. Kami merayakan persahabatan dan perjuangan kami sebelum pengumuman hasilnya. Apapun hasilnya, kami tetap berteman. Kami saling berbagi nomor ujian, supaya siapapun yang dapat pengumuman duluan bisa ngecek juga buat yang lainnya. Jujur nih, sekarang, 21 tahun kemudian, saya kagum akan betapa dewasanya pemikiran kami saat itu. Kok bisa ya kami mikir seperti ini?

Malam sebelum pengumuman sungguh tegang. Untuk mengalihkan pikiran saya nonton pertandingan sepakbola final entah liga apa, tapi yang jelas tim kota saya main dan akhirnya juara nasional. Pengumuman biasanya keluar tepat tengah malam, tapi saya berniat tidak pergi ke kampus untuk melihat hasil. Rencana saya hanya menunggu pengumuman di koran saja besok pagi. Saya sengaja tidur sore supaya malam ini segera berlalu.

Pukul 4:00 pagi saya sudah bangun, dan saya tidak bisa tidur lagi. Perlu diingat, ini belum zaman online-online seperti sekarang. Semuanya masih pakai kertas, termasuk pengumuman. Jadi meski bangun jam 4 pagi, saya tidak bisa ngapa-ngapain. Saya berusaha berdoa pagi seperti biasa, tapi tetap saja perut mulas. Nulis ini saja membuat perut saya mulas mengingat betapa tegangnya saat itu.

Pukul 5:00 pagi telepon rumah saya berdering. Wuih, tambah mulas lah saya. Ibu saya mengangkatnya, dan setelah bicara singkat beliau memanggil saya sambil tersenyum. "Phian", kata beliau. Waduuhh.....makin dag-dig-dug saya!

"Selamat yaaa! Kamu keterima di Teknik Lingkungan ITS!!" kata Phian

Hah? Saya keterima di Teknik Lingkungan ITS, pilihan pertama saya? Astaga! Saya sungguh tidak menduga (apalagi dengan skor paling mengenaskan diantara The Musketeers). Saya menanyakan hasil dari teman-teman yang lain.

"Aku keterima di Teknik Sipil ITS, Lucky di Kedokteran Unair."

"Lha Rian?" tanya saya lagi

"Aku belum ketemu nih, coba aku cari lagi", jawab Phian. Meski saya khawatir, saya pikir mungkin karena gelap (masih dini hari juga!!) dan ramai, jadi agak sulit mencarinya. Saya minta dia kabari saya lagi kalau ketemu.

Begitu menutup telepon, saya langsung sungkem sambil menangis ke pangkuan ibu saya yang duduk di sebelah saya . (Catatan: Ibu saya sudah tahu duluan karena beliau yang pertama menerima telepon dari Phian. Sebelum memanggil saya, beliau sudah bertanya sambil bisik-bisik ke Phian, dan Phian sudah memberitahu beliau.) Kakak saya yang mendengar suara telepon yang disusul tangisan langsung lari keluar kamar.

"Ga masuk tah?", begitu kira-kira pertanyaan kakak saya.

"ITS", jawab Ibu saya pendek, sambil membelai kepala saya di pangkuan beliau. Saya masih menangis.....lega banget.

Saya sungguh bersyukur bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Selain kualitasnya, biayanya yang tidak terlalu mahal tentunya akan meringankan beban Ibu saya yang saat itu harus membiayai ketiga anaknya kuliah seorang diri. Setelah bertangis-tangisan, saya kembali ke kamar, melanjutkan doa pagi saya.

Ketika koran pagi datang, saya langsung mengambil halaman khusus pengumuman UMPTN dan mencari kembali nama saya dan ketiga teman saya melalui nomor ujian. Saya bisa menemukan nama saya, Lucky dan Phian, tapi tidak dengan Rian. Biar sudah saya cari berulang kali sampai dibantu keluarga, tidak ketemu juga namanya. Akhirnya saya menyadari: Rian, yang paling cerdas dan memiliki skor tertinggi, justru tidak diterima di pilihan pertama maupun kedua. Padahal, kalau dari sisi skor, Rian bisa dengan gampang masuk di pilihan pertamanya (Teknik Informatika ITB), apalagi pilihan kedua.

Pada masa itu, memang sering terjadi murid-murid yang cerdas dan berprestasi tidak diterima melalui jalur UMPTN. Banyak rumor yang beredar; salah satunya mengenai sistem yang otomatis menggugurkan siswa dengan nilai terlalu tinggi karena dugaan kecurangan. Ada pula teori yang menyatakan sistem penilaian tergantung kebersihan kertas jawaban kita. Kalaupun misalnya kita tidak mengotorinya, tapi kertas tersebut jatuh dan menjadi kotor ketika di-scan, maka hasilnya tidak terbaca. Apapun teorinya, tetap tidak bisa membuat saya menerima kenyataan bahwa saya yang skornya biasa-biasa bisa keterima, sementara teman saya yang sudah terbukti cerdas justru tidak diterima. Tahun itu, bahkan jawara sekolah kami juga tidak diterima.

Saya tidak ingat persis bagaimana saya, Phian dan Lucky membiacarakan hal ini. Yang jelas, saya sempat tidak berani menghubungi Rian sama sekali. Selain saya merasa sedih untuk Rian, saya merasa bersalah. Saya yang paling lemah dengan skor terendah di grup, yang paling bengong, yang paling sering minta contekan PR, yang paling sering diajari sama Rian sampai diprivatin Kimia, yang selalu di-support dan dihibur...........justru saya yang lulus. Seharusnya saya yang tidak diterima, bukan dia. Apa ini ya yang namanya survivor's guilt*?

Akhirnya, suatu sore (saya tidak ingat apakah sore hari pengumuman atau hari lain) saya beranikan diri menelepon Rian. Nggak pake lama, begitu mendengar suaranya di telepon, saya langsung nangis. (Aduh mbak, kamu itu selain bengongan ternyata nangisan juga ya.....).

"Rian, aku sudah dengar....(nangis sesengukan)"

Saya tidak ingat persis kami ngomong apa saja, karena saya lebih banyak sesenggukan. Mungkin saya juga bilang sesuatu tentang harusnya saya yang nggak diterima atau sejenisnya. Tapi yang saya ingat adalah bagaimana dia menjawab tangisan saya dengan suara yang tenang dan lembut banget.

"Dhita, aku nggak papa kok."

Apanya ga tambah nangis saya............

Bayangkan saja, ketika banyak cerita siswa yang bertangis-tangisan sampai pingsan karena tidak diterima UMPTN, ini malah ada yang tidak keterima menghibur yang keterima. Ajaib.

Peristiwa dramatis ini sama sekali tidak mengubah pertemanan kami. Ketika kami berkumpul setelah pengumuman, kami bicara seperti biasa: tanpa menghindari fakta yang ada tapi juga tidak membesar-besarkannya. Saya juga tidak nangis lagi...heehehehehe.......Biasa saja. Kami mengadakan semacam perpisahan sebelum Phian berangkat ke Bandung untuk kuliah ke STT Telkom jurusan Teknik Industri kalau tidak salah (ya, dia tidak mengambil Teknik Sipil ITS-nya). Rian berencana ambil UMPTN lagi tahun depan dan menggunakan setahun yang ada untuk persiapan plus mengambil program komputer setahun di kota kami. Saya dan Lucky juga tetap di kota kami, berhubung kampus kami ya di situ juga.

Akhirnya.......kuliah euy!! Lanjut ke seri 4!






*perasaan bersalah pada mereka-mereka yang selamat dari suatu peristiwa, sementara yang lainnya tidak selamat





 




















Comments

Popular Posts