Tentang Histerektomi (7): Pasca Operasi di Rumah Sakit



Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)

 Rabu, 27 September 2017, setelah operasi
 Meski sudah di kamar, ternyata saya tetap tidak bisa tidur tenang. Sesekali saya terbangun dan masih merasa sangat pusing dan mual karena masih dalam pengaruh obat bius. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa Tim Operasi saya melakukan berbagai pengecekan setiap jam sekali sepanjang hari. Mereka melakukan pemeriksaan segala tanda vital (vital signs) seperti suhu badan, tekanan darah sampai infus, kateter dan luka operasi.

Setiap kali mereka masuk kamar saya untuk memeriksa, saya selalu terbangun meski baru saja tertidur. Sebel banget kadang, sudah mulai bisa tidur dan melupakan mual, eh, harus bangun dan menjawab pertanyaan para perawat dan membiarkan mereka memeriksa saya. Karena saya harus membuka mata, mengikuti pergerakan mereka di sekitar saya, saya semakin pusing dan kadang perut saya bereaksi dengan refleks muntah, meski tidak ada apapun yang keluar mengingat perut saya sudah kosong melompong sejak sehari sebelumnya. Untungnya sejak saya masuk kamar mereka sudah menempatkan sebuah wadah plastik di tangan saya, supaya sewaktu-waktu saya muntah, saya tidak mengotori tempat tidur atau kamar.

Saya diberitahu oleh perawat bahwa luka laparoskopi saya yang kecil (sekitar 1-2 cm saja di tiga tempat) tidak dijahit, namun ditutup dengan lem kulit. Lem ini kedap air, jadi saya tetap bisa mandi seperti biasa, dan luka tidak akan terkena air. Setelah luka sembuh, lem ini akan lepas dengan sendirinya. Saya tidak perlu ke dokter untuk lepas jahitan, karena memang tidak ada jahitan di permukaan perut saya. Jahitan hanya ada di dalam, di ujung vagina. Inipun akan luruh sendiri setelah lukanya sembuh. Canggih banget.

Dokter ObGyn saya sempat datang dan memeriksa kondisi saya sambil menanyakan beberapa hal seperti apa yang saya rasakan, tingkat rasa sakit di perut bagian bawah, dan sejenisnya. Beliau juga menjelaskan kepada saya dan keluarga bahwa meskipun hasil analisa patologi rahim saya belum keluar, beliau mengatakan bahwa beliau yakin rahim saya memang menderita adenomyosis dari strukturnya yang seperti spons ketika beliau memegangnya.

Bunga dari Suami dan Ibu Mertua
Melihat kondisi saya yang masih "mabuk" berat akibat pengaruh obat bius, beliau menyarankan saya rawat inap semalam di Rumah Sakit. Reaksi setiap orang pada obat bius berbeda-beda, dan rupanya saya termasuk golongan sensitif pada obat bius sehingga butuh waktu lebih lama untuk pulih. Seandainya saya tidak pusing dan mual seperti itu, mungkin saya sudah boleh pulang sore harinya!

Diantara siklus tidur-bangun setiap jam ini, suami dan Ibu Mertua saya menunjuk ke rangkaian bunga di meja kamar saya. Bunga anyelir warna oranye dengan pita oranye dan boneka beruang kecil yang bergelayut di vasnya. Rupanya Ibu Mertua dan suami saya benar-benar mengenal saya: saya memang fans berat boneka binatang dan apapun yang lucu-lucu dan imut-imut! Sungguh senang melihat bunga dan warna-warni di ruang rumah sakit yang warnanya cukup monoton!

Setelah itu suami saya bilang bahwa mereka punya hadiah buat saya. Suami saya mengangkat sebuah tas hadiah kecil jernih dengan kertas tisu warna oranye juga, kemudian mengeluarkan sebuah boneka kucing kecil berwarna abu-abu loreng dari dalamnya. Saya senang sekali dan langsung menjulurkan tangan saya untuk menerima boneka itu. Setelah melepaskan labelnya, suami saya memberikannya ke saya, yang langsung saya peluk di dekat kepala saya. Selain kelembutan boneka tersebut membuat saya tenang dan nyaman, si kucing juga berfungsi sebagai penyangga kepala saya sehingga tidak terlalu banyak bergerak, mengurangi pusing dan mual. Bagi yang belum tahu, saya ini pecinta kucing. Boneka kucing adalah hadiah paling pas untuk pecinta kucing dan boneka!

Si Boneka Kucing Kecil. Foto diambil di rumah.
Malam harinya, perawat kamar saya memberitahukan bahwa mereka akan berganti shift, dan beliau memperkenalkan perawat yang akan menangani saya untuk shift malam. Pemeriksaan saya juga berubah dari setiap jam menjadi dua jam sekali, dan setelah tengah malam menjadi empat jam sekali. Tentu saja saya bisa memanggil perawat kapan saja dengan menekan tombol di tempat tidur saya, kapanpun saya membutuhkan mereka.

Ibu Mertua pulang, sementara suami saya tinggal di kamar saya untuk menemani saya malam itu. Dia membawa komputernya, jadi dia bisa kerja sedikit ataupun rekreasi dengan berselancar di internet. Pihak rumah sakit menyediakan bantal dan selimut ekstra untuk tidur di sofa kamar saya. Suami saya hanya meninggalkan kamar saya ketika dia harus cari makan malam. Itupun saya dijaga Ibu Mertua. Jadi saya tidak pernah ditinggalkan sendirian di kamar saya.

Dengan berjalannya waktu, pengaruh obat bius semakin berkurang, dan menjelang tengah malam saya merasa sudah lepas sepenuhnya dari pengaruh bius. Saya tidak lagi merasa pusing dan mual, dan pikiran saya terasa jauh lebih jernih. Saya juga mulai berceloteh. Saya mulai mengamati sekeliling saya dengan lebih cermat. Kamar saya ini hanya untuk satu pasien (tidak berbagi dengan pasien lain). Di sebelah kanan saya ada jendela besar, dan di bawahnya ada sofa untuk pengunjung atau penjaga. Ada sebuah TV di tembok atas di depan tempat tidur saya. Kamar mandi terletak di dekat pintu masuk. Fasilitas rumah sakit di sini tergolong mewah untuk ukuran saya.

Mungkin ada yang nanya, lho mbak, sudah seharian di kamar kok belum bisa mengamati kamarnya sendiri? Iya, soalnya saya masih mabuk obat bius. Jangankan mengamati sekeliling, membuka mata saja kadang pusing dan mual sampai muntah. Kalaupun mengamati benda-benda dekat saya, saya tidak pakai kacamata, jadi semua juga blur. Mungkin karena semua pengaruh di atas, sebuah benda biru yang tenyata adalah alat kesehatan (saya lupa apa) saya lihat sebagai dinosaurus kecil. 

Saya ingat, suatu saat di malam itu perawat masuk dan bilang bahwa beliau harus menyuntikkan obat Heparin untuk mengencerkan darah dan mencegah penggumpalan akibat imobilitas (tidak bergerak/kondisi saya yang terus berbaring). Beliau menjelaskan bahwa suntikan Heparin adalah suntikan jenis intramuscular (disuntikkan ke dalam otot atau di antara otot-otot) dan harus dilakukan di perut atau paha atas. Dengarnya saja sudah bikin merinding. Saya minta disuntikkan di paha atas saja, berhubung ada luka di perut dan bagian perut bagian bawah saya habis diobok-obok. Saya bersyukur saya memilih paha atas, karena suntikan ini sakitnya bukan main, baik ketika jarum dimasukkan, obat disuntikkan dan setelahnya!!!! Saya tidak bisa membayangkan seandainya Heparin ini disuntikkan ke perut saya! Untungnya, rasa sakit itu hanya berlangsung mungkin satu menitan setelah suntikan. Tapi tetap saja sakiiittt!!

Setelah pemeriksaan tengah malam, saya minta tolong suami untuk membantu saya ganti posisi dari rebahan ke posisi miring.  Setelah seharian berbaring telentang, punggung saya capek juga. Saya sudah bertanya pada perawat apakah saya boleh tidur miring, dan beliau bilang boleh saja. Meski terasa sakit ketika bergerak, akhirnya saya bisa juga berbaring posisi miring ke kanan. Tentunya segala macam kabel dan selang juga menyesuaikan. Saya pikir saya tidak akan bisa tidur karena sudah tidur seharian, tapi ternyata bisa! Sialnya, mesin infus saya sering banget bunyi ketika cairan infusnya habis. Lagi enak-enak tidur tanpa diganggu perawat yang melakukan pemeriksaan, eh gantian si mesin infus yang bikin kehebohan. Akhirnya harus panggil perawat juga untuk mengganti kantong cairan infus yang kosong dan mematikan suara mengganggu mesin itu.

Oh ya, saya ingin menambahkan catatan mengenai sakit di bahu kanan terkait gas karbondioksida yang digunakan untuk menggelembungkan rongga perut saat operasi. Dokter sudah mengingatkan bahwa ada peluang bahu kanan saya akan sakit setelah operasi, sebagai akibat tekanan sisa gas karbondioksida yang belum terlepaskan ke luar tubuh. Penjelasannya bisa dibaca di Seri 2. Secara umum, saya tidak merasakan sakitnya, kecuali ketika saya tidur miring ke kanan. Sore hari saya sempat mencoba tidur miring, tapi terasa sedikit sakit di bahu kanan, maka saya kembali tidur telentang. Pada saat saya minta suami membantu saya pindah ke posisi miring ke kanan setelah tengah malam, sakit itu sudah hilang. Saya bahkan tertidur pada posisi ini hinggal pukul 4 pagi.


Kamis, 28 September 2017
Sekitar pukul 4 pagi saya terbangun. Sebentar lagi perawat akan datang untuk melakukan pemeriksaan. Satu hal yang saya rasakan, saya merasa perlu buang air kecil. Tapi saya kan masih pakai kateter, bagaimana mungkin kandung kemih saya penuh? Apa kantongnya penuh? Saya minta suami periksa, dan ternyata tidak penuh. Ketika perawat datang untuk melakukan pemeriksaan rutin, kami menanyakan hal tersebut. Beliau bilang mungkin ada selang yang tertekuk sehingga alirannya tidak lancar. Beliau memposisikan selang tersebut untuk melancarkan aliran urine sambil berkata bahwa saya harus mulai berjalan dan buang air kecil sendiri ke kamar mandi. Hah? Apa? Jalan?

Benar, saudara-saudara. Pasien angkat rahim metode laparoskopi memang sudah diminta latihan jalan sehari setelah operasi. Luar biasa.

Setelah dua kali kateter saya mampet dini hari itu, akhirnya perawat memutuskan untuk melepas kateter saya. Beliau menyarankan, begitu saya mulai merasa perlu buang air kecil, saya harus memanggil perawat untuk membantu saya berdiri dan jalan ke kamar kecil. Beliau juga meminta saya untuk mengamati apakah saya sudah kentut atau belum. Ini untuk memastikan bahwa sistem pencernaan saya berfungsi normal setelah operasi dan bius. Kalau tidak salah, mereka tidak akan membolehkan saya pulang sebelum saya kentut.

Saya penasaran juga, mengapa begitu. Maka hari ini (hari penulisan) saya tanya mbah Google. Ternyata penjelasannya begini: ketika kita menerima anestesi/bius, sistem pencernaan ikut 'tidur' bersama kita. Pergerakannya melambat/berhenti. Setelah kita keluar dari efek bius, dokter harus memastikan bahwa sistem pencernaan juga 'bangun' dan kembali bergerak untuk memproses makanan yang masuk. Kentut adalah tanda pertama bahwa sistem pencernaan kita mulai bangun. Kalau sistem pencernaan tidak bangun, kita bisa kena kondisi yang disebut PostOperative Ileus (POI), yang tingkat keparahannya bisa ringan (lambat dalam memproses makanan) sampai parah yang membutuhkan penanangan medis.

Terlebih lagi saya, yang harus menjalani bowel cleansing alias pembersihan saluran pencernaan sebelum operasi. Saluran pencernaan saya kosong melompong, dan baru akan bisa buang air besar beberapa hari setelah operasi dan makan. Kentut adalah indikasi awal bahwa sistem pencernaan saya berfungsi normal. Karena itu, penting bagi kita yang menjalani operasi untuk kentut. Jangan malu-malu untuk melaporkan kentut pada perawat!

Beberapa saat setelah kateter saya dilepas, saya mulai merasakan bahwa kandung kemih saya penuh. Kami memanggil perawat yang segera datang dan membantu saya berdiri. Semua peralatan yang terhubung ke saya dilepas, kecuali infus. Posisi paling menyakitkan adalah ketika saya bergerak dari posisi berbaring ke posisi duduk. Setelah berdiri saya bisa merasakan bahwa satu sisi perut saya, yaitu sisi kanan, lebih sakit dari yang sisi tengah dan kiri. Perawat memang sudah memberitahu saya bahwa satu sisi akan lebih sakit dari yang lain. Saya pikir, mungkin karena sisi kanan ini adalah tempat dimasukkannya alat yang paling aktif/banyak digerakkan, sehingga otot di sekitarnya ikut terobok-obok dan lebih sakit daripada yang dimasuki alat yang tidak terlalu aktif (kamera, misalnya). Tapi, tempat di mana rahim saya sebelumnya berada tidak terasa sakit berlebihan, masih sebatas dilep sedang.

Jujur saja, saya kagum bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam semenjak operasi saya sudah bisa jalan ke kamar mandi, duduk di toilet, buang air kecil, dan berdiri kembali sendiri! Sakitnya juga tidak seberapa. Termasuk ringan atau sedang saja.

Setelah kembali ke tempat tidur, perawat segera keluar, dan kembali ke kamar saya sambil mendorong alat medis. Ternyata mereka harus melakukan tes USG pada kandung kemih saya, untuk memastikan bahwa saya bisa mengosongkannya setiap kali saya buang air kecil. Saya tidak tahu persisnya kenapa mereka sampai perlu memantau seperti ini, tapi mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa rahim dan kandung kemih itu tetangga dekat, dan bisa jadi otot-ototnya berkaitan. Hilangnya rahim tentunya memiliki pengaruh pada kandung kemih, meski saya tidak tahu detilnya. Saya nurut saja.

Tes USG pertama ini menunjukkan saya belum mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Pada perjalanan saya kedua ke kamar kecil sekitar 1-2 jam setelahnya, mereka melakukan tes USG lagi, dan mereka senang saya sudah berhasil mengosongkan kandung kemih. Setiap kali saya ke kamar kecil setelahnya, mereka selalu tes USG dan hasilnya konsisten bahwa saya sudah bisa mengosongkannya. Lebih membahagiakan lagi, saya berhasil kentut pagi itu. Perawat bilang saya hanya tinggal menunggu dokter datang dan melakukan pemeriksaan akhir sebelum saya diperbolehkan pulang. Horeeeee!!!!!!!

Perawat menyarankan saya untuk makan. Malam sebelumnya saya sudah disarankan makan, tapi berhubung masih mabuk berat, saya tidak berani makan. Bisa muntah-muntah nanti. Tapi pagi itu, saya merasa jauh lebih baik dan lapar. Suami saya menelepon layanan kamar Rumah Sakit dan memesankan makanan buat saya dari daftar menu yang tersedia di kamar. Astaga, ini Rumah Sakit apa Hotel sih, sampai ada layanan kamar segala? Setelah makanan datang (telur dadar dengan bawang dan jamur, ditemani jus apel), saya makan sambil nonton TV dan ngobrol dengan suami.

Oh ya, suatu saat di pagi itu saya masih harus menerima satu suntikan Heparin yang supermenyakitkan itu. Ditambah pula, saya ditawari suntikan vaksin flu. Berhubung saya belum vaksin, saya iyakan aja. Tapi begitu saya melihat cara peawat ini menyuntikkan vaksin, saya ketakutan. Bagaimana tidak, jarumnya bukannya ditusukkan dengan hati-hati tapi seperti gaya menikam. Hadeeeeehhhhhhhh!!

Menjelang siang, Ibu Mertua datang. Beliau senang sekali melihat kondisi saya sudah jauh lebih baik dari malam sebelumnya. Beliau mulai membantu suami saya mempersiapkan kepulangan saya dengan mengumpulkan barang-barang dan mengepaknya di tas saya. Saya juga sudah mulai bisa menggunakan telepon genggam, jadi saya mulai chatting dengan keluarga di Indonesia. Perawat sudah memperbolehkan saya untuk berganti pakaian. Ketika dokter saya datang menjelang tengah hari, saya sudah duduk manis dengan baju batik ala kondangan yang saya pakai sehari sebelumnya.

Beliau senang melihat perkembangan saya sesuai dengan harapan. Beliau juga menerangkan bahwa ketika rahim saya diangkat, beliau melakukan pemeriksaan kondisi rahim saya. Selain struktur yang dirasa seperti spons di bagian depan (Adenomyosis), beliau menemukan fiborid/myom di sebelah kiri atas. Tidak terlalu besar, tapi jelas memiliki kontribusi untuk membuat pendarahan saya jauh lebih buruk. Tidak mengherankan! Pendarahan saya memang luar biasa hebat; saya bersyukur saya masih bisa bertahan sampai hari operasi!

Dokter akhirnya memberikan persetujuan untuk saya pulang. Perawat memberikan satu folder penuh berisi intstruksi apa yang harus, boleh dan tidak boleh saya lakukan selama penyembuhan, kapan melakukan kontrol dokter, apa yang harus diamati dan diwaspadai, obat apa saja yang diresepkan berikut resepnya, dan sebagainya. Sangat lengkap dan menyeluruh.

Saya pulang dengan wanti-wanti dari dokter dan perawat untuk segera mengunjungi dokter keluarga saya karena tekanan darah saya tinggi sejak operasi (bahkan sejak sebelum operasi juga sudah naik). Mereka berpesan pada suami dan Ibu Mertua saya untuk membeli alat pengukur tekanan darah supaya dapat memantau tekanan darah saya sepulang dari Rumah Sakit. Kalau dalam beberapa hari ke depan belum turun juga, atau malah naik melewati 160/120, saya harus segera ke dokter keluarga untuk mendapatkan obat penurun tekanan darah. Mereka tidak memberikan saya obat hari itu, karena masih dalam batas wajar untuk orang yang baru saja melewati operasi dan mereka adalah tenaga kesehatan spesialis ObGyn. Mereka menyarankan agar saya mendapatkan obat tersebut apabila diperlukan dari dokter yang lebih berwenang. (Ujung-ujugnya mereka juga yang memberikan obat penurun tekanan darah, karena tekanan darah saya melambung tinggi melewati 160/120 sehari setelah pulang dan dokter keluarga saya sedang konferensi di luar negara bagian dan tidak bisa dihubungi. Saya menelepon dokter ObGyn saya yang juga sedang di luar kota tapi bersedia meresepkannya langsung ke apotik saya secara online. Saya tinggal ambil saja ke apotek.)

Akhirnyaaa! Perawat memasuki ruangan dengan mendorong kursi roda untuk mengantar saya ke zona penjemputan Rumah Sakit. Suami saya sudah mendahului ke parkiran untuk mengambil mobil. Saya didorong oleh perawat menuju lift, ditemani oleh Ibu Mertua yang membawakan beberapa barang saya.

Sambil menunggu lift, saya memandang dinding di sebelahnya, penuh dengan boneka beruang berwarna biru dan merah muda dan berbagai hiasan lainnya yang senada. Maklum, lantai 3 Rumah Sakit ini memang dikhususkan untuk urusan kewanitaan mulai kehamilan, melahirkan sampai segala urusan rahim. Saya merasakan ada rasa sakit di hati saya, perih sekali. Lebih sedih lagi, begitu memasuki lift, masuklah pasangan suami istri dengan bayi yang sepertinya baru saja dilahirkan oleh si istri. Saya pandangi bayi itu. Ah, dunia ini memang tidak adil, kalau tidak bisa dibilang kejam.

Namun saya segera alihkan pandangan saya ke Ibu Mertua, kemudian ke rangkaian bunga dengan vas yang digelayuti boneka beruang di tangan saya dan boneka kucing kecil yang diberikan suami saya. Saya alihkan pikiran saya ke orang-orang yang mendukung penuh keputusan saya: keluarga Indonesia dan keluarga Amerika, suami yang mencintai tanpa syarat, teman-teman hingga murid serta keluarganya....dan Tuhan. Saya mengeratkan pegangan saya padaNya, membisikkan bahwa saya percaya semua ini sudah diatur olehNya, bagi kemuliaanNya, bagi kebaikan saya dan sesama. Saya mencoba tersenyum. Ternyata senyum membuat saya merasa lebih baik!

Setelah keluar dari gedung Rumah Sakit, kami menunggu mobil suami saya. Begitu mobil sudah dekat, saya berdiri dan mengucapkan terima kasih pada perawat yang mendorong kursi roda saya. Suami saya langsung turun, membukakan pintu buat saya, dan membimbing saya berjalan ke mobil dan duduk pelan-pelan. Saya bisa melihat suami saya mengemudi dengan sangat hati-hati, memastikan kami tidak melewati jalan bergeronjal yang guncangannya bisa membuat saya kesakitan.

Begitu sampai ke apartemen, suami saya memegang tangan saya, dan membantu saya berjalan dan menaiki tangga ke apartemen kami di lantai 2. Oh ya, saya sudah bisa naik tangga loh, hanya 24 jam setelah operasi. Saya segera berganti pakaian dan berbaring di tempat tidur, ditemani boneka kucing kecil abu-abu saya. Akhirnya, bagian perjalanan medis terberat sudah terlewati. Saya sudah pulang. 






Referensi:
- Flatulence or Passing Gas After Surgery : https://www.verywellhealth.com/passing-gas-after-surgery-3156880








Comments

Popular Posts