Tentang Histerektomi (9): Revolusi Mental

Bukan, bukan.....ini bukan blog politik. Saya hanya meminjam istilah tersebut karena memang itulah yang harus saya lakukan sebelum dan setelah angkat rahim, bahkan hingga saat ini.

Sebagaimana sudah saya sebutkan di seri sebelumnya, saya merasa lega luar biasa setelah sadar dari anestesi. Saya memiliki keyakinan bahwa semuanya akan menjadi lebih baik. Optimis. Tapi apakah lantas rasa sedih, takut, tak berguna dan sejenisnya hilang begitu saja? Ooohh, tidak. Semuanya harus diperjuangkan, menit demi menit!


Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)



Memberi Waktu Pada Diri Sendiri untuk Berduka
Sejak awal saya sudah niat, saya akan memberikan waktu pada diri sendiri untuk berduka. Bagaimanapun, saya baru saja kehilangan. Rahim dan impian saya mati. Sama halnya dengan kehilangan orang yang kita kasihi karena kematian, saya butuh waktu untuk memproses rasa duka yang saya alami.

Pada masa ini saya tidak mencoba untuk berpura-pura bahagia. Iya, memang ada masanya saya optimis dan semangat, seperti ketika baru keluar dari ruang operasi itu. Tapi ada masanya pula saya ingin menangis, garuk-garuk tanah, menyendiri, dan sejenisnya. Kalau memang sedang down, saya biarkan diri saya menangis, menyendiri, dan merasakan sakitnya kehilangan. Kalau memang tidak mood untuk masak atau bersih-bersih rumah, saya juga tidak memaksakan diri. Saya lebih fokus pada penyembuhan jiwa saya, melakukan apa yang perlu supaya luka tersebut bisa perlahan sembuh.

Selain itu, saya juga bicara dengan orang-orang terkasih di sekitar saya bahwa saya masih dalam suasana berduka, jadi mungkin saya masih sangat sensitif. Harus saya akui tidak semua orang paham hal ini! Mereka tidak sensitif akan kebutuhan seseorang yang berduka dan malah mendorong saya untuk tetap punya anak dengan berbagai cara. Saya tahu maksudnya baik, dan mungkin suatu saat nanti saya terpikir untuk melakukannya, tapi tidak di saat saya baru saja pulang dari operasi di rumah sakit! Bagi yang menemani orang terkasihnya melewati masa-masa ini, sangat dimohon pengertiannya untuk tidak memberikan nasihat yang tidak diminta, apalagi terkait masalah anak atau nilai diri mereka. Beri mereka waktu untuk memproses semua yang terjadi.

Berapa lamakah waktu berduka ini? Selama yang diperlukan. Saya tidak mematok waktu saya harus kembali ceria dalam hitungan sekian hari/minggu/bulan. Saya biarkan semua berjalan secara alami. Namun perlu diperhatikan bahwa apabila kita terus menerus merasa sedih, tak berguna atau bahkan memiliki pikiran-pikiran ekstrim seperti ingin menyakiti diri sendiri atau bahkan bunuh diri, sebaiknya segera mencari pertolongan dokter atau orang-orang yang berprofesi di bidang kesehatan jiwa. Perlu digarisbawahi bahwa meminta pertolongan para profesional kejiwaan ini bukan berarti kita gila, tapi bahwa kita butuh bantuan untuk kembali sehat. Sama seperti kita ke dokter kalau kita sakit, atau seorang anak lari ke orang tuanya ketika terluka untuk minta pertolongan. Sesederhana itu. Tidak perlu malu. Kesehatan kita lebih penting daripada omongan orang.


Mengelilingi Diri dengan Orang-orang dan Hal-hal Positif
Berduka bukan berarti diam di kamar sambil menangis terus menerus. Bagi saya berduka itu melewati masa berat dengan jujur pada diri sendiri dan orang lain. Kalau perlu menangis ya menangis. Tapi kalau memang memungkinkan, saya berusaha untuk menerima, menikmati dan mensyukuri besarnya rahmat dan karunia Tuhan pada saya. Salah satu cara saya melakukannya adalah dengan berpositif ria.


Sebelum operasi saya sudah membeli beberapa buku dan pinjam buku di perpusatakaan yang sekiranya dapat membantu saya melewai masa-masa perubahan ini.

Buku karya Holley Gerth dan Buku Pendampingnya
Saya membeli buku berjudul "You're Going to be Okay: Encouraging Truth Your Heart Needs to Hear, Especially on Hard Days" (Anda Akan Baik-Baik Saja: Kebenaran Menguatkan yang Perlu Didengar oleh Hati Anda, Terutama di Masa-masa Sulit) oleh Holley Gerth. Holley Gerth adalah salah satu penulis Kristen favorit saya. Beliau menulis khusus untuk perempuan, dan gaya bahasanya sangat positif, pengertian, dan menguatkan. Membaca tulisannya membuat saya merasa seperti sedang bicara dengan teman dekat yang mengerti semua kondisi saya dan menguatkan saya dengan kebenaran dari Tuhan dan FirmanNya. Selain itu, buku-buku beliau juga sangat praktis dalam arti mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fakta bahwa beliau juga tidak bisa memiliki anak membuat perjuangan hidup beliau (yang juga ditulis dalam buku-bukunya) dan cara beliau menghadapinya membuat saya merasa tidak sendiri, dimengerti, dan dibantu!

Dari perpustakaan saya meminjam buku berjudul "It Ain't Over....... 'Till it's Over: Reinventing Your Life --and Realizing Your Dreams -- Anytime, at Any Age" (Belum Selesai.......Sampai Selesai: Menemukan Kembali Hidup Anda -- dan Mewujudkan Impian Anda -- Kapanpun, Umur Berapapun) karya Marlo Thomas. Buku ini adalah antologi alias kumpulan cerita pendek perempuan-perempuan yang berjuang mewujudkan impian, tidak peduli apapun yang mereka hadapi dan berapapun umur mereka. Mulanya saya skeptis karena cerita pertama adalah seorang perempuan yang berhasil meraup milyaran dolar dari ide bisnis yang diawali dari kecerobohannya dalam menyimpan hal-hal penting seperti kartu kredit, kunci dan telepon genggam. Saya pikir, wah, buku ini hanya menyajikan kisah sukses yang besar-besar, yang bisa meraup miliaran dolar! Tapi setelah saya baca, ternyata tidak demikian. Ada kisah impian-impian yang lebih sederhana dan tidak melulu soal uang, seperti melanjutkan hobi menari di tengah pekerjaan dan keterbatasan fisik, masuk sekolah kedokteran saat usia 50-an dan menjadi dokter di usia 60-an, membuka toko online kerajinan perhiasan setelah suami meninggal mendadak, alih profesi dari kerja kantoran menjadi pilot, membuka toko barang-barang seni dari berbagai negara sesuai kecintaan travling, menemukan desain bra dan baju renang khusus untuk survivor kanker payudara atau perempuan yang melakukan pengangkatan payudara untuk pencegahan kanker, dan sejenisnya. Buku ini dipenuhi kisah bagaimana perempuan menemukan kekuatan, renjana, dan manfaat dari segala situasi dalam hidup mereka. Tentang bagaimana menjadi diri sendiri dan memenuhi panggilan jiwa. Sangat cocok dengan saya yang baru saja mengalami kehilangan dan perubahan besar dalam hidup saya.

Kedua buku tersebut membuat saya berpikir: dengan apa adanya diri saya, apa yang bisa saya kembangkan dan berikan bagi Tuhan dan orang-orang di sekitar saya? Saya menjadi bersemangat untuk mengisi hidup saya dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat. Saya belum habis. Hidup saya masih punya makna dan tujuan meski rahim dan impian saya punya anak sudah tidak ada lagi.

Saya juga kembali bekerja setelah kondisi fisik saya memungkinkan. Pekerjaan saya sebagai guru piano adalah pekerjaan impian saya sejak kecil. Saya menikmati setiap menitnya! Saya ini sebenarnya dibayar untuk senang-senang! Mengajar musik membuat hati saya diliputi perasaan positif seperi senang, semangat, puas, penuh, dan merasa memiliki tempat dan manfaat di dunia ini. Lagipula, murid-murid saya beserta keluarga mereka adalah orang-orang yang sangat positif, pengertian, dan mendukung apapun keputusan yang saya ambil. Tidak pernah sekalipun mereka menanyakan hal-hal yang tidak penting apalagi menekan saya untuk memiliki anak dengan cara-cara lain. Mereka menanyakan kondisi saya, menyediakan minuman dan snack ketika saya mengajar, membuatkan kartu lucu-lucu, membantu saya membawa tas ke mobil, memeluk saya sebelum saya pulang, dan menanyakan apakah mereka bisa membantu dalam hal apapun. Pekerjaan menjadi mood booster yang luar biasa! Selain itu, saya dan salah satu orang tua murid bahkan sempat jalan bareng ke Denver Christmas Craft Fair.  Saya sungguh bersyukur bahwa Tuhan telah mengisi studio piano saya dengan orang-orang baik dan positif.

Keluarga saya tentu saja menjadi pendukung utama saya di masa-masa sulit. Seluruh keluarga besar suami ikut mendukung dan menjaga saya selama penyembuhan. Keluarga di Indonesia mendukung lewat sesi chat atau telepon. Kalau saya menangis, mereka selalu ada di samping saya untuk menghibur dan menguatkan, meski hanya sebatas mendengarkan dan memeluk saya. Tapi justru itu yang saya perlukan!

Bintang Laut Warna-warni di Denver Aquarium
Teman-teman juga tidak ketinggalan. Salah satu sahabat saya dan suami sejak zaman kuliah S2, Julie, akan pindah ke negara bagian lain mengikuti suaminya. Sebelum berangkat, dia mengajak kami berdua jalan-jalan ke Denver Aquarium dan makan malam bareng. Berhubung saya belum bisa jalan jauh, suami meminjamkan kursi roda milik kakeknya (kakeknya sudah tidak memerlukan karena sudah tinggal di Pusat Perawatan Jompo). Jadilah kami lari-lari dan keliling Denver Aquarium dengan saya didorong di kursi roda, foto-foto dengan ikan-ikan dan bintang laut warna-warni, melihat pertunjukan putri duyung, dan basah disiram efek air! Hal sesederhana ini membuat saya merasa dicintai dan diterima apa adanya. 

Saya dan Suami di Denver Aquarium

Berbaikhatilah Pada Diri Sendiri
Be kind to yourself, atau berbaikhatilah pada diri sendiri terdengar aneh di telinga saya. Kita selalu baik pada diri sendiri kok! Lha terus, mengapa sampai dijadikan nasihat? Pada masa-masa inilah saya melihat betapa kejamnya saya pada diri sendiri.

Saya menjalani angkat rahim di Amerika Serikat, negara yang sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi. Apapun keputusan kehidupan anda, sebagian besar mereka akan menghargainya dan tidak bertanya-tanya urusan yang amat sangat pribadi. Jadi saya sebenarnya sungguh beruntung dikelilingi orang-orang yang tidak rese' bertanya-tanya urusan pribadi, memberikan nasihat tak diundang, atau malah langsung menekan saya punya anak dengan ancaman nanti tidak lengkap, tidak bahagia, tidak dicintai dan bahkan ditinggal suami.

Tapi bukan berarti saya tidak mengalami semua itu. Saya memang tidak mengalaminya dari orang lain, tapi dari diri sendiri. Dengan kejamnya saya berkata pada diri sendiri "Dasar perempuan tidak berguna!", "Kamu nggak akan bahagia tanpa anak", "Kamu dihukum sama Tuhan. Kamu pendosa besar", "Kondisimu tidak ada bedanya dengan kalau kamu mati; sama-sama tidak berguna", "Kamu akan ditinggalkan suamimu"....dan sejenisnya. Saya pribadi tidak akan pernah mengatakan hal-hal demikian pada orang lain  yang sedang berduka dan menderita, karena itu sangat jahat. Tapi saya bisa mengatakannya pada diri saya sendiri!!

Pelan-pelan, saya mulai sadar bahwa saya sangat keras pada diri sendiri, berbatasan dengan kejam malah. Suara-suara ini seringkali menenggelamkan suara-suara positif yang disampaikan suami dan orang-orang terbaik di sekeliling saya. Akhirnya ya saya makin lama makin merana.

Saya mulai belajar memperkatakan hal-hal positif pada diri saya. Kalau saya lagi down dan benar-benar tidak bisa berkata positif, saya mengutip ayat-ayat Alkitab tentang nilai diri saya di mataNya dan berjuang keras mengimaninya. Kalau perlu dikatakan berulang-ulang dengan keras, bukan hanya dibatin. Saya install aplikasi Alkitab dan renungan harian di telepon genggam saya. Kalau saya drop ketika sedang jauh dari Alkitab fisik saya, kedua aplikasi ini bisa membantu. Tak lupa, blog Holley Gerth juga sering jadi rujukan saya ketika saya down di jalan.

Saya membaca kembali surat-surat cinta lama saya dengan suami, catatan perkataan dan perbuatan manis yang dia lakukan buat saya (ya, saya punya daftar hal-hal manis yang dia lakukan buat saya sejak sebelum pacaran!), mengingat pengorbanannya buat saya dan kesediaannya mencintai saya apa adanya.  Saya katakan pada diri saya "Dia mencintaimu tanpa syarat. Maka cintai dirimu tanpa syarat juga".

Tidak lupa juga, saya merawat diri. Tubuh saya semakin baik dari hari ke hari. Karena tidak lagi kehilangan darah dalam jumlah besar, tubuh saya semakin merasa segar, dan sesuai semboyan mens sana in corpore sano, jiwa saya juga mulai bangkit. Saya makan sehat secara teratur, rajin minum obat dan latihan jalan sesuai saran dokter, mulai melakukan hal-hal yang saya suka seperti main piano dan menulis blog. Saya memanjakan diri sesuai dengan kebutuhan tubuh dan jiwa saya. 


Berani Bahagia Dengan Cara Saya Sendiri
Sejak kecil telah ditanamkan dalam hidup saya definisi hidup bahagia yang diterima oleh sebagian besar masyarakat: sukses dalam karir (punya pendidikan dan pekerjaan mapan), sukses dalam keluarga (mendapatkan suami yang baik pada usia yang tepat dan memiliki anak), dan sukses secara finansial (memiliki tabungan/deposito/investasi, punya rumah, kendaraan, perhiasan, barang bermerk, dan sebagainya). Intinya....apapun yang terlihat mata harus sempurna.

Terus terang, kalau memang itu ukurannya, saya sudah jelas gagal. Saya memang punya pendidikan tinggi, tapi pekerjaan saya saat ini hanyalah paruh waktu dengan penghasilan tidak seberapa. Saya memang mendapatkan suami yang baik, tapi saya menikah pada usia di atas 30 tahun dan tidak bisa memiliki anak. Saya tidak memiliki rumah pribadi, perhiasan mewah, barang bermerk, apalagi deposito yang kata Oppie Andaresta bisa buat tujuh turunan.

Saya sempat stress dengan fakta ini. Apalagi setelah angkat rahim, saya seperti merasa perlu menunjukkan kepada dunia bahwa saya masih bisa sukses dan bahagia di hal lain. Saya jadi sensitif banget soal rumah: kalau ada yang baru beli rumah, saya bisa mendadak panik dan buka buku tabungan, melihat apakah sudah cukup buat uang muka. Meskipun saya sangat mencintai pekerjaan saya dan merasa inilah panggilan hidup saya, saya masih berpikir mungkin saya perlu cari kerja yang penghasilannya lebih besar meski saya tidak menyukainya. Mungkin saya perlu upgrade mobil? Traveling ke tujuh benua? Apa ya yang bisa membuat orang menghargai saya sebagai perempuan sukses dan bahagia?

Suatu hari saya jalan-jalan dengan salah satu teman baik saya sesama guru musik, Elisabeth. Kami bicara soal rumah milik pribadi. Teman saya ini punya rumah superbesar: kamar tidurnya saja lebih dari lima. Kamar mandinya hampir sama banyaknya. Tapi, dia ini mengeluh kecapekan harus mengurus rumah sebesar ini, dengan hanya dia dan suaminya yang tinggal di situ. Anak-anaknya sudah mandiri. Akhirnya, rumah tersebut mereka jual dan mereka menyewa apartemen dua kamar. Dia jauh lebih bahagia karena waktu dan biaya yang tadinya habis untuk mengurus rumah gedong bisa dia gunakan untuk melakukan hal-hal yang dia sukai, seperti latihan biola, menerima lebih banyak tawaran main di acara pernikahan dengan grup musik geseknya, bekerja sukarela di gerejanya mengurus pembangunan fasilitas baru, dan tentu saja, jalan-jalan (termasuk dengan saya!).

Teman saya ini termasuk golongan wanderlust alias orang yang bawaannya ingin traveling terus. Dengan menjual rumahnya, dia dapat uang, dapat waktu untuk cari uang lebih, dan bebas tidak terikat pada satu daerah karena punya rumah di daerah tersebut. Dia bisa pindah kapan saja dia mau, ke mana saja dia suka.

Ketika kami ngobrol soal ini di warung kopi lokal, saya mendadak tersadar. Teman saya ini memilih untuk bahagia dengan caranya sendiri, dan dia benar-benar menikmatinya! Dia tidak peduli dengan apa kata orang soal sudah punya rumah bagus kok malah dijual dan menyewa apartemen. Bagi dia, yang penting dia bahagia, terserah orang mau bilang apa.

Jalan hidup saya sudah jelas beda dari kebanyakan orang. Ada yang karena pilihan, ada yang karena takdir, namun semuanya tak lepas dari kendali dan izin Tuhan. Inilah bagian dan pilihan saya. Bagaimana saya akan menyikapinya?

Apakah dengan keadaan saya yang sekarang saya akan memaksakan diri untuk bisa mendapatkan 'bahagia' versi standar masyarakat dan tentu saja pengakuan mereka, atau saya memilih untuk menerima keadaan dan bahagia apa adanya?

Kebahagiaan itu.......Piano dan Boneka!
Kalau saya lihat-lihat lagi, saya sebenarnya sangat bahagia. Saya memiliki suami yang sangat baik, bertanggung jawab, dan mencintai saya apa adanya. Saya memilih pekerjaan yang saya cintai dan sesuai dengan bakat, minat dan renjana saya. Ketika mengajar, saya seringkali tahu apa yang harus dilakukan menghadapi situasi tertentu dengan murid, padahal tidak ada yang pernah mengajari saya soal itu. Saya diperlengkapi dengan bakat, kepribadian, pengalaman dan dikaruniai kesempatan untuk memberikan sumbangsih bagi sesama dan bagi kemuliaanNya. Dalam kehidupan maupun pekerjaan, saya dikelilingi orang-orang baik.

Saya memang tidak memiliki rumah pribadi, tapi saya mampu menyewa apartemen yang sesuai dengan kebutuhan kami. Kami punya tempat berteduh. Kecil tapi fungsional, dan mudah dibersihkan! Semua kebutuhan saya terpenuhi; dan juga apa yang saya inginkan bisa saya dapatkan. Saya masih bisa berinvestasi pada diri sendiri dengan les piano.  Saya tidak menerima karunia anak, tapi saya menerima karunia waktu, uang, dan tenaga ekstra. Siapa sih yang tidak ingin istirahat ekstra, bermalas-malasan di pagi hari, membaca buku dengan tenang, punya uang dan waktu lebih buat jalan-jalan atau mudik atau sekadar ngopi dan makan siang dengan teman baik? Semua itu kalau dinikmati juga enak dan bikin bahagia kok!

Akhirnya saya memutuskan bahwa saya akan bahagia dengan cara saya sendiri. Saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya miliki sudah cukup dan saya bahagia. Bahwa apa yang saya terima dariNya adalah yang terbaik, dipilihkan olehNya yang Maha Bijaksana dan Maha Kasih. Saya tidak bisa memaksa orang lain untuk percaya, tapi saya bisa mengubah paradigma kebahagiaan dalam pola pikir saya. Mungkin dengan melihat buktinya dalam diri kita, orang lain bisa mulai percaya bahwa kebahagiaan tanpa sesuatu yang kita inginkan atau disyaratkan oleh standar sosial itu nyata!

Count your blessings (hitung berkat-berkatmu), kata pepatah. Kalau saya boleh menambahkan, saya akan berkata count your blessings, be thankful for them and enjoy!! (Hitung berkat-berkatmu, berterimakasihlah untuk semua itu dan nikmatilah!).

Jangan sampai, karena kita terlalu fokus pada satu karunia yang tidak diberikan oleh Tuhan, maka kita menjadi buta akan sejuta nikmat dan anugerah yang sudah dilimpahkan buat kita! (referensi: Is God Keeping Something from You?)

Jangan sampai juga, kita tidak tahu siapa diri kita, nilai diri kita, renjana kita, dan kebahagiaan kita. Karena bila kita tidak tahu, maka orang lainlah yang akan menentukannya buat kita. Bayangkan tujuh milyar orang menetapkan standar sendiri-sendiri untuk kebahagiaan kita? Kita akan sibuk memenuhi standar mereka dan dijamin tidak sempat bahagia!


Jalani Hidup Sehari Saja Setiap Kalinya (Bahasa Keren: Take It One Day at a Time)
Hari Minggu kedua di bulam Mei adalah Hari Ibu di Amerika Serikat dan sebagian negara di dunia. Sebagai orang yang baru saja kehilangan rahim dan impiannya memiliki anak, saya menjalani hari-hari menjelang Hari Ibu tahun ini dengan kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. .

Saya bukannya sedih karena tidak ada anak dalam hidup saya. Saya sedih karena Hari Ibu adalah hari yang dikhususkan untuk menghargai para Ibu. Mereka memiliki sesuatu yang istimewa sehingga dirayakan dengan satu hari khusus. Saya merasa tidak istimwa, kurang, tidak lengkap, tidak perlu dihargai dan dirayakan. Saya merasa tersisih. Saya merasa tidak cukup baik untuk orang lain menghargai saya.

Seminggu sebelumnya, saya sudah rontok. Saya menangis seharian, termasuk di gereja. Teman-teman saya di tim musik pujian sampai heboh mengelilingi saya, bergantian memeluk saya, menunjukkan foto kucing dan anjing lucu sebelum pastor musik utama memberikan konseling dadakan buat saya. Itupun tidak membuat hari-hari saya setelahnya menjelang Hari Ibu lebih mudah! Semakin dekat, semakin stress saya. Untungnya saya punya pengalih perhatian, yaitu resital piano murid-murid saya sehari sebelum hari Ibu.

Sialnya, setelah selesai resital saya mendapat kabar adanya tiga ledakan bom di Surabaya. Salah satunya di gereja yang berada persis di sebelah sekolah keponakan saya, tempat kakak saya dan saya sendiri biasanya menunggu dia pulang sekolah. Apanya nggak copot jantung ini!

Hari Ibu tiba, dan saya benar-benar lumpuh. Saya hanya bisa menangis dan berbaring di tempat tidur sehari penuh. Saya tidak menghadiri acara Hari Ibu di rumah mertua karena saya tidak sanggup. Sejak hari itu, butuh waktu sangat lama, kisaran dua hingga tiga minggu, untuk saya bisa kembali normal dan bersemangat.

Lambang Asrama Hufflepuff di Tas Saya
Tuhan berfirman, "Sebab itu, janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari" (Mat 6:34). Saya terlalu fokus pada apa yang akan saya rasakan pada Hari Ibu nanti, sampai-sampai seminggu sebelumnya saya sudah mulai menangis. Gila nggak? Tapi saya anggap ini adalah bagian dari perjalanan menuju kesembuhan mental yang harus saya jalani. Semuanya memiliki pembelajaran buat saya, dan buat pembaca yang mungkin akan mengalami hal yang sama.

Sekarang kalau saya mulai merasa berat membayangkan masa depan, saya cukup melihat hari ini. Apa yang bisa saya lakukan hari ini, jam ini, menit ini, detik ini? Mungkin hanya hal-hal kecil seperti membersihkan dapur, memasak, persiapan mengajar, membalas email, bekerja seperti biasa. Saya cukup memikirkan hari ini. Tidak perlu khawatir besok perasaan saya bagaimana atau mau mengerjakan apa atau apa pandangan orang. Masalah besok ya besok saja ngurusnya. 

Newt Scamander dari film Fantastic Beasts and Where to Find Them berkata: "Worrying means you suffer twice" (Khawatir itu berarti kita menderita dua kali). Tidak cuma dua kali, saya menderita sebulan penuh hanya karena khawatir akan perasaan saya di Hari Ibu. Nggak lagi-lagi deh! Sebagai sesama Hufflepuff harus saling mengingatkan! (heheh, saya tes asrama di Pottermore.com dan masuk Hufflepuff, asrama yang sama dengan Newt Scamander!)

Nikmati hidup apa adanya, sehari saja setiap kalinya!!!!






 












Comments

Popular Posts