Tentang Histerektomi (2): Pertemuan dengan Dokter

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)
Denver, Juli - Agustus 2017

Saya kembali ke Denver pada hari pertama bulan Juli 2017. Saya sungguh bersyukur bahwa meskipun saya pendarahan hebat di Indonesia, pendarahan tersebut berhenti pada saat saya akan terbang kembali ke Amerika. Saya hanya sakit batuk pilek berat sampai suara saya hilang, dan ini menambah kehebohan ketika penerbangan saya dari Hong Kong ke Los Angeles dipindah ke penerbangan sehari berikutnya.

Penerbangan saya ke LA mengalami penundaan selama 3 jam, dan ini akan membuat saya ketinggalan penerbangan dari LA ke Denver. Karena itu, maskapai penerbangan memutuskan saya bermalam di Hong Kong dan terbang ke LA keesokan harinya. Dalam kondisi sakit, harus bermalam di Hong Kong bukanlah pilihan yang menarik. Suami saya berkali-kali menelepon maskapai supaya saya dapat tetap terbang ke LA sesuai jadwal, dan terbang ke Denver keesokan harinya. Suami saya punya Tante yang tinggal di LA, jadi saya dapat bermalam di rumah beliau daripada di Hong Kong. Puji Tuhan pengaturan ini dapat dilakukan. Hanya saja, saya perlu bicara dengan petugas maskapai di bandara Hong Kong. Berhubung suara saya hilang total, saya menulis panjang lebar apa yang terjadi dan menyerahkannya ke petugas maskapai. Duh, repot amat ya! Syukurlah semua dapat diatasi dan saya dapat kembali ke Denver. Tambahan lagi, meski sakit dan sangat lelah, pendarahan saya masih dalam batas wajar, bahkan termasuk sangat ringan.

Beberapa hari berikutnya saya istirahat di rumah saja. Suatu malam saya pendarahan sangat hebat; begitu hebatnya saya sampai saya harus memberlakukan "pengobatan darurat", yaitu tindakan yang harus saya ambil kalau pendarahan saya sangat hebat dan tak terkendali. Caranya saya harus minum empat butir pil KB sehari (sekaligus empat sekali minum), keesokan harinya diturunkan menjadi tiga, besoknya menjadi dua, dan akhirnya kembali menjadi satu per harinya. Di Indonesia juga terjadi pendarahan hebat berkali-kali, namun saya tidak sampai memberlakukan pengobatan darurat ini. Pendarahan berkurang sendiri setelah beberapa jam. Bayangkan, dalam kondisi normal seorang perempuan hanya butuh satu butir sehari untuk menghentikan pendarahan, lha saya harus sekaligus empat! Padahal dosis per bijinya sudah tinggi!

Saya segera menelepon klinik perempuan tempat dokter saya praktek dan membuat janji. Jadwal beliau sangat penuh, dan saya baru akan mendapatkan waktu bertemu beliau pertengahan Agustus. Masih sebulan lagi! Ya sudahlah, untuk sementara saya masih punya cukup pil KB kalau-kalau perlu melakukan "pengobatan darurat" lagi. Saya juga akan tetap mengonsumsi tablet zat besi untuk membantu proses pembentukan darah. 

Akhir Juli saya ikut kelompok gamelan Jawa di Denver untuk tampil di acara Festival Perahu Naga Colorado. Pada acara itu saya harus naik turun panggung berkali-kali, karena saya bertugas pada piano, biola dan gamelan secara bergantian. Belum lagi pindah dari satu panggung ke panggung lain yang jaraknya cukup jauh. Rasanya sudah seperti mau pingsan saja. Saya pikir-pikir, waduh, bisa gawat ini. Besok harus cek kadar hemoglobin saya ke dokter!

Dua hari kemudian (awal Agustus) saya sempatkan mampir ke klinik perempuan dekat rumah yang menjadi tempat praktek dokter ObGyn saya. Perawat melakukan tes hemoglobin, dan hasilnya........hemoglobin saya berada di level 7,8!!! Bagi yang kurang familier dengan tes hemoglobin, tes ini dilakukan untuk mengukur kadar protein darah yang disebut hemoglobin, yang memberikan warna merah pada darah dan yang bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Untuk perempuan normal kadarnya adalah 12 - 15. Kadar di bawah 7 harus segera transfusi.

Perawat yang memeriksa saya saja kaget. Kadar hemoglobin saya sudah di ambang batas transfusi. Saya tidak boleh pulang sebelum menemui salah satu dokter di sana. Berhubung dokter saya tidak praktek hari itu, saya ditemui oleh salah seorang kolega beliau. Setelah melihat rekam jejak saya, beliau menyarankan saya untuk minum pil KB dengan formula 4444-333-22-1 (empat butir per hari selama empat hari, dilanjutkan tiga butir sehari selama tiga hari, lalu dua butir sehari selama dua hari, dan kembali satu butir sehari) untuk menghentikan total pendarahan saya dan memberi kesempatan pada tubuh saya untuk menaikkan kadar hemoglobin saya. Beliau juga mengatakan kalau saya merasa pusing, mual, dan pingsan saya harus segera dibawa ke UGD untuk menjalani transfusi darah meski kadar hemoglobin belum mencapai 7.

Saat itu pula, beliau menanyakan apa rencana saya dengan kondisi saya yang sudah tidak dapat dikendalikan ini. Saya sampaikan bahwa saya berencana histerektomi pada bulan Desember, supaya bertepatan dengan libur Natal sehingga tidak perlu meliburkan murid-murid saya terlalu lama. Apa yang saya dengar selanjutnya sungguh membuat saya tertegun.

Dokter berkata, bahwa saya tidak punya waktu selama itu untuk menunggu. Tubuh saya tidak akan sanggup! Beliau menyarankan saya melakukan operasi dalam rentang waktu dua minggu!!! DUA MINGGU! Waks! Boro-boro operasi dua minggu lagi, saya baru akan ketemu dokter saya dua minggu lagi! Saya mencoba mencari jadwal dokter saya yang lebih dekat, dan tetap tidak ada. Ya sudah, saya harus menunggu lagi.

Dua Minggu Kemudian
Saya duduk di ruang tunggu dokter dengan perasaan resah. Inilah harinya. Inilah saatnya saya akan mulai menggulirkan rencana pengangkatan rahim saya sendiri. Saya takut!! Saya tidak mau kehilangan rahim! Apakah saya benar-benar serius? Sanggupkan saya berkata pada dokter bahwa saya mau angkat rahim? Aduh, bagaimana perasaan saya nanti setelah semua ini menjadi suatu kepastian?

Saat dokter masuk, beliau menyapa dengan ramah dan mulai melihat rekam medis saya. Beliau menyebutkan kejadian tempo hari ketika hemoglobin saya mencapai bilangan tujuh. Kami membicarakan beberapa alternatif lain selain histerektomi, namun apa yang saya dengar dan pelajari baik dari dokter maupun internet rekomendasi dokter menyatakan bahwa semua itu hanya sementara. Hanya mengurangi gejala. Pengalaman saya dengan berbagai pil KB dosis sangat tinggi selama setahun terakhir sudah cukup memberi tahu saya bahwa terapi hormon tidak berhasil. Kondisi saya malah semakin memburuk dengan berjalannya waktu.

Akhirnya saya berkata: "Dok, saya mau histerektomi saja."

Nah. Sudah terlontar. Dokter memandang saya dengan senyum simpati dan pandangan sedih.

"Itu adalah keputusan terbaik untuk kondisimu saat ini. Kamu sudah hidup dalam kondis anemia sedang-berat selama dua tahun terakhir ini. Ini tidak baik bagi tubuhmu dalam jangka panjang. Saya turut menyesal bahwa harus begini jadinya, namun ini memang yang terbaik dan satu-satunya cara agar kamu bisa kembali sehat seperti sediakala."

Beliau mulai menjelaskan segala sesuatu yang akan saya lalui setelah keputusan ini. Beliau akan menyerahkan formulir pengajuan prosedur histerektomi pada staf beliau untuk mencarikan jadwal yang pas untuk beliau, rumah sakit dan dokter-dokter terkait. Setelah mendapatkan jadwal operasi, seminggu sebelum Hari-H saya akan menjalani Pre-Surgery atau Pre-Op Meeting dengan beliau, dilanjutkan pergi ke Rumah Sakit untuk melakukan Pre-Op Check-Up. Pada Pre-Op Check-Up ini saya akan melakukan serangkaian tes kesehatan seperti tes darah untuk mengetahui kondisi saya, alergi yang ada, obat-obatan yang saya minum yang mungkin memengaruhi prosedur, serta untuk mengetahui apakah saya akan membutuhkan transfusi darah pada hari operasi.

Sehari sebelum operasi dokter spesialis anestesi akan menelepon saya untuk menanyakan beberapa hal, dan ini kesempatan saya untuk menayampaikan dan menanyakan apa saja yang ingin saya tanyakan mengenai anestesi, termasuk kalau saya punya pengalaman operasi sebelumnya.

Beliau berencana melakukan histerektomi saya dengan metode Laparoskopi. Dengan metode ini, perut bagian bawah saya tidak perlu dibuka seperti kalau operasi sesar. Dokter hanya akan membuat tiga irisan kecil: satu di bawah pusar, lalu di kiri dan kanan perut bagian bawah. Melalui ketiga irisan ini, dokter akan memasukkan laparoskop (semacam alat serupa tongkat yang dilengkapi dengan lampu dan kamera) untuk menjadi 'mata' beliau saat operasi. Dua alat lainnya adalah pisau operasi dan grasper/pemegang yang menjadi kepanjangan tangan beliau. Rongga perut saya akan diisi dengan gas karbondioksida untuk menggelembungkannya dan memberikan ruang kerja yang lebih luas bagi dokter. Setelah dipisahkan dari jaringan di sekitarnya, rahim akan ditarik keluar melalui vagina. Intinya, saya akan melahirkan rahim saya sendiri.

Dokter juga mengatakan bahwa beberapa jam setelah operasi saya kemungkinan akan merasakan nyeri di bahu kanan. Hal ini disebabkan oleh gas karbondioksida yang digunakan untuk mengisi rongga perut saat operasi. Gas tersebut umumnya akan dikeluarkan dari tubuh melalui paru-paru, namun kadang ada yang 'nakal' dan naik ke wilayah bahu, menyebabkan tekanan pada saraf dan menimbuklan rasa sakit. Tapi ini normal, jadi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Penyembuhan operasi metode laparoskopi jauh lebih cepat daripada metode pembukaan rongga perut. Hanya butuh 3 minggu sebelum saya dapat kembali beraktivitas, termasuk mengemudi.

Sebelum saya pulang, dokter melakukan pemeriksaan untuk mengetahui ukuran rahim saya. Kalau rahim saya terlalu besar (karena Adenomyosis) saya harus menjalani operasi dengan metode sesar. Setelah memeriksa dokter mengatakan bahwa ukuran rahim saya ini berada di batas maksimal yang dapat dilakukan dengan laparoskopi. Beliau mengatakan akan meminta seorang ahli bedah lain untuk hadir mendampingi beliau saat operasi nanti, untuk jaga-jaga kalau ternyata rahim saya tidak dapat dikeluarkan secara laparoskopi. Tapi beliau cukup yakin bahwa beliau akan bisa melakukannya dengan laparoskopi. Setelah itu saya diperbolehkan pulang.
 
Saya meninggalkan tempat praktek dokter dengan gontai. Sudah terjadi. Sudah saya putuskan. Proses sudah mulai berjalan.  Saya menahan emosi saya, dan mulai mengemudi. Berhubung saya belum sarapan, saya mampir ke kedai roti favorit saya. Sambil menunggu pesanan saya mengirimkan pesan pendek dan Whatsapp ke Ibu Mertua dan kakak saya, untuk memberikan update pada mereka. Mereka berdua sangat menguatkan saya, mendukung penuh dan meyakinkan saya bahwa inilah yang terbaik.

Setelah pesanan datang, saya mencoba menikmati sarapan favorit saya ini: telur,  bacon dan keju berikut sayuran dalam setangkup croissant, dipadu dengan minuman jus mangga segar. Sambil makan, saya berpikir......ini sudah terjadi. Saya akan menjadi perempuan tanpa rahim. Mimpi saya untuk memiliki anak biologis bersama suami sudah mati. Mungkin saya akan menghadapi celaan dan pandangan mata penuh kasihan. Saya akan dianggap perempuan tak berguna. Bagaimana jadinya hidup saya setelah ini? Mengapa harus saya yang mengalami ini? Apa dosa saya? Mengapa saya tidak dapat memiliki kehidupan yang normal? Tak terasa air mata saya mulai mengalir. Saya berusaha menahannya sekuat tenaga, berhubung saya hanya sendirian dan saya di tempat umum.

Sampai di apartemen saya sudah capek sekali. Memang begitulah kehidupan saya sebagai seorang yang anemik: saya harus istirahat seharian sebelum mengajar sore harinya. Kadang saya harus tidur siang supaya memiliki tenaga cukup untuk mengajar. Saya segera membaringkan tubuh di tempat tidur, memeluk bantal, lalu mulai berbicara kepada Sang Maha. Saya sampaikan apa adanya.

"Tuhan, aku sedih."
"Tuhan, rahimku akan diangkat."
"Aku takut, Tuhan. Apa jadinya hidupku setelah ini?"
"Mengapa saya yang harus mengalami ini?"
"Aku tahu Engkau baik, Tuhan......Engkau tetap sayang aku, meskipun nanti aku sudah tidak punya rahim lagi. Aku percaya aku tetap berharga di mataMu meskipun seandainya seluruh dunia memandangku sebagai aib."
"Kalau ini yang Engkau kehendaki bagi saya, jadilah padaku seturut kehendakMU. Engkau punya rencana dan tujuan bagi hidup saya, dan semua itu baik. Engkau tidak akan mencelakai saya. Engkau tidak akan menghancurkan hidup saya, karena Engkau mengasihi saya."
"Kiranya hidupku, biarpun menyakitkan dan tidak sempurna di mata manusia, boleh membawa kemuliaan bagi namaMu."

Saya berusaha mengungkapkan isi hati mulai dari apa yang saya rasakan, sampai memperkatakan apa yang saya percaya: kebenaran yang saya tahu tentang Tuhan. Saya mengucapkan setiap kata sambil menangis, memeluk bantal, hingga akhirnya saya tertidur. 
















Comments

Popular Posts