Tentang Histerektomi (4): PraOperasi

Semakin mendekati tanggal operasi, emosi saya semakin campur aduk. Kadang positif, kadang negatif. Emosi negatifnya pun semakin berlebihan, dipenuhi asumsi-asumsi yang tidak sehat sama sekali. Rasanya seperti memasuki sistem augmented reality, alias kenyataan yang ditambah-tambahi dan dibesar-besarkan, tapi yang dibesar-besarkan adalah sesuatu yang negatif dan tidak nyata.

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)
Contohnya nih: perasaan saya yang takut ditinggalkan memasuki fase baru, yaitu berandai-andai. Apa yang akan terjadi kalau sampai suami saya meninggalkan saya? Saya teringat salah seorang teman saya yang pernah menanyakan hal yang sama ketika ia sedang dalam proses perceraian. Dia khawatir kalau setelah cerai nanti tidak ada laki-laki yang mau mencintainya. Namun begitu dia cerai, dia sendiri bercerita pada saya bahwa para pria di tempat kerjanya mengantre untuk dapat mendekati dia dan mengajak kencan. Saya tidak heran, dia memang cantik dan modis. Kalau saya? Cantik juga tidak. Rahim bakalan tidak punya. Modis? Waduh, jauuuuhhhh! Kalau meminjam istilahnya Raditya Dika, saya termasuk kategori gembelnista: perempuan yang ga bisa dandan, tidak bisa mix-and-match baju, dan kriteria saya akan baju untuk tiap acara adalah "asal tidak gatal". Mau kotak-kotak dipadu bunga-bunga, saya tidak akan tahu bagus atau jeleknya. Sudah begitu, saya masuk kategori nerd juga......itu loh, kelompok orang-orang kutu buku yang kadang sulit bersosialisasi dan dianggap aneh. Yang sukanya sains kelas berat. Kalau sampai suami menceraikan saya, siapa yang mau sama saya?

Saya ceritakan pemikiran ini pada suami. Dia hanya tertawa, dan justru bilang bahwa kalau di Amerika sini banyak yang mau loh dengan yang tidak bisa punya anak, karena banyak laki-laki yang tidak mau punya anak! Dia bilang bahwa dia tidak akan menceraikan saya, dan kalau sampai ada apa-apa dengan dirinya (aduh, nggak mau mikirin, tapi maksudnya adalah kalau sampai dia meninggal), dia yakin akan ada laki-laki lain yang mau mencintai saya, dan bahwa saya akan baik-baik saja.

Untuk pandangan Indonesia, saya ngobrol dengan sepupu di Jakarta mengenai topik yang sama. Saya bertanya padanya bagaimana kira-kira prospek saya mendapatkan suami di Indonesia kalau terjadi apa-apa dengan pernikahan saya. Catat ya, saya tidak cantik, tidak bisa punya anak, tidak tahu urusan rumah tangga semacam masak, dandan dan menjahit, serta punya gelar master di bidang teknik. Jawaban dia? "Peluangmu suram mbak! Cari bule lagi saja" Hahahahahah.................Saya jawab, semoga saya tidak perlu mencari laki-laki lain, yang sekarang saja sudah baik banget! Sekali lagi, menertawakan situasi ternyata bisa membuat beban emosional kita lebih ringan dan situasi kita tidak terlalu menakutkan.

Ketakutan lain yang mengganggu saya adalah penyesalan. Bagaimana kalau nanti setelah angkat rahim saya menyesali keputusan saya? Bagaimana kalau ternyata ada prosedur lain atau obat-obatan yang ternyata bisa menyembuhkan adenomyosis tanpa angkat rahim? Banyak loh di internet obat-obatan herbal maupun prosedur yang mengklaim bisa menyembuhkan adenomyosis. Ini termasuk tantangan paling berat. Benarkah ada prosedur lain? Benarkah ada obat penyembuh? Saya pribadi percaya pada dokter-dokter saya dan sains, dalam arti kalau ada yang memberikan klaim kesembuhan harus bisa memberikan bukti saintifik melalui pengujian obat sesuai prosedur yang berlaku dan harus ada jurnal yang direview oleh para profesional di bidang yang sama (peer-reviewed). Kesembuhan yang terjadi pun harus dapat diduplikasi pada pasien lain dengan kondisi yang sama. Saya pernah mengambil kursus Asisten Apoteker di sini (benar-benar kurang kerjaan, hahaha), jadi saya cukup paham prosedur yang harus dilalui sebelum obat mendapat persetujuan untuk diujicobakan pada manusia, apalagi untuk pemakaian massal. Jadi kalau ada klaim penyembuhan tapi mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana obat/prosedur itu menyembuhkan, saya tidak akan mudah percaya. Dalam hal ini, kita sendiri yang harus memutuskan untuk tatag atau mantap dengan pilihan kita, dan tidak memercayai informasi-informasi yang kurang jelas baik isi maupun sumbernya. Mantan peneliti ya gini ini!


Kunjungan PraOperasi
Tanggal 20 September 2017 pagi saya bersiap-siap untuk menemui dokter dan pemeriksaan praoperasi di Rumah Sakit. Saya sempatkan membaca "berita" di Facebook. Lha kok ya pada pagi itu saya membaca cerita yang konon katanya kisah nyata (tapi buat saya nggak masuk akal). Dikisahkan, ada seorang perempuan yang karena sibuk mengejar karir akhirnya telat menikah. Ketika ada yang mau menikahinya, calon ibu mertuanya membatalkan pernikahan itu. Alasannya? Karena si perempuan sudah berusia 30-an, di mana peluangnya punya anak sudah sangat kecil sementara sang ibu mertua sangat mengharapkan cucu. Bagaimana hati nggak jungkir balik membaca kisah model begini di saat saya harus pemeriksaan praoperasi? (Catatan: jauhi media sosial menjelang operasi!!!)

Hari itu saya diantar Ibu Mertua. Di perjalanan ke dokter saya ceritakan kisah Facebook tersebut pada beliau dan betapa marah sekaligus takutnya saya akan respon sebagian masyarakat Indonesia akan kondisi saya ini. Saya jelaskan juga pandangan budaya yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat kita bahwa perempuan yang tidak dapat memiliki anak sudah tidak ada artinya dan tidak ada yang mau mencintai dan menikahinya. Jawaban beliau benar-benar tidak saya duga:

"Kalau begitu, tugasmulah untuk mendidik bangsamu. Kamulah yang harus menunjukkan pada mereka bahwa perempuan itu lebih daripada sekadar melahirkan dan membesarkan anak."

Eaaaaaa......

Sampai di klinik, kami ditemui oleh dokter ObGyn saya. Pada pertemuan ini beliau kembali menjelaskan rencana operasi saya. Saya akan menjalani operasi Total Laparoscopic Hysterectomy (TLH) atau Histerektomi Total secara Laparoskopi. Karena ukuran rahim saya sudah di ambang batas maksimal yang bisa dilakukan secara laparoskopi, beliau akan didampingi seorang ahli bedah, kalau-kalau saya harus menjalani pembukaan perut bagian bawah ala operasi sesar untuk mengangkat rahim saya.

Bagian dari rahim saya yang akan diangkat meliputi rahim, leher rahim (serviks), serta tuba falopii (saluran penghubung ovarium/indung telur dengan rahim). Tujuan pengangkatan serviks adalah sebagai bentuk pencegahan kanker leher rahim. Demikian juga dengan pengangkatan tuba/saluran falopii. Kanker ovarium umumnya dimulai dari tuba falopii, jadi diangkatnya organ ini juga adalah sebagai bentuk pencegahan kanker. Dengan demikian, saya tidak perlu lagi melakukan prosedur pap-smear (untuk mendeteksi kanker serviks) setahun sekali! Cukup check-up ObGyn tahunan biasa.

Ovarium (indung telur) saya dinilai sehat dan akan dipertahankan (tidak diangkat) agar saya tetap mendapatkan hormon kewanitaan sehingga saya tidak mendadak menopause, serta untuk mendapatkan perlindungan terhadap osteoporosis (kerapuhan tulang) sampai usia sekitar 65 tahun.

Seperti yang telah saya jelaskan, dokter akan membuat tiga irisan kecil: satu di bawah pusar dan dua di sisi kiri-kanan perut bagian bawah. Alat akan dimasukkan melalui ketiga irisan tersebut, untuk menjadi kepanjangan tangan dan mata bagi dokter. Rongga perut saya akan diisi dengan gas karbondioksida untuk menggelembungkannya dan memberi ruang kerja yang lebih luas bagi dokter. Setelah dipisahkan dari jaringan disekitarnya, rahim akan dikeluarkan melalui vagina. Setelah itu, ujung dalam vagina (yang merupakan perbatasan dengan rahim) akan dijahit sehingga tertutup rapat.

Setelah semua prosedur pengangkatan rahim selesai, dokter akan memasukkan alat dengan kamera ke dalam kandung kemih saya untuk memeriksa aliran urine. Karena posisi rahim yang sangat dekat dengan ureter (saluran dari ginjal menuju ke kandung kemih) dan kandung kemih, beliau harus memastikan bahwa tidak terjadi lukaan pada sistem ginjal-kandung kemih pada saat proses pemisahan rahim dari jaringan di sekitarnya. Kamera tersebut akan memperlihatkan aliran urine ke dalam kandung kemih. Apabila alirannya lancar, maka dapat disimpulkan tidak terjadi luka pada ureter.

Prosedur operasi akan berlangsung sekitar 2,5 hingga 3 jam, tergantung kondisi rahim saya nanti. Saya akan dibius total. Berhubung operasi saya dilaksanakan pagi hari (pukul 7:30 pagi) dokter berkata bahwa saya bisa pulang sore harinya apabila tidak terjadi komplikasi dan sudah keluar dari efek anestesi. Respon tiap orang pada anestesi bisa berbeda-beda. Ada yang cepat sadar dan tidak merasa mual/muntah terlalu lama, ada pula yang harus menunggu cukup lama sampai efeknya hilang. Kondisi terburuk, mengingat saya sangat sensitif pada obat-obatan berbasis narkotika (turunan opium dan kawan-kawannya) saya bisa meningap semalam di rumah sakit dan pulang keesokan harinya.

Penyembuhan hingga saya bisa beraktivitas normal adalah 8 minggu, namun setelah 2-3 minggu saya sudah dapat mengemudi dan melakukan aktivitas ringan-sedang. Saya tidak boleh berhubungan suami istri selama 8 minggu itu, dan tidak boleh mengangkat beban yang lebih berat dari segalon susu (sekitar 8,6 pound atau 3,9 kilogram). Pada siang hari saya akan merasa lelah dan akan sering membutuhkan tidur siang karena tubuh saya butuh banyak energi untuk penyembuhan.

Dokter mempersilakan kami menanyakan apapun yang kurang jelas. Kami betanya mengenai pengaruh histerektomi pada hubungan suami istri. Secara umum, tidak akan ada pengaruhnya sama sekali. Beberapa pasien beliau bahkan mengatakan bahwa hubungan suami-istri menjadi lebih baik karena mereka tidak lagi kesakitan saat berhubungan karena kelainan di sistem rahim. Ibu Mertua saya menanyakan siapa yang akan melakukan prosedur ini, dan dokter saya menjawab beliau sendiri yang akan melakukannya, namun kalau sampai harus operasi sesar, beliau akan dibantu rekan beliau yang spesialisasinya lebih ke bedah. Nama dokter bedah tersebut sudah tertera di surat-surat persetujuan operasi.

Saya juga menyampaikan kekhawatiran saya mengenai anestesi/bius pada beliau. Dulu ketika saya menjalani kuret karena keguguran, saya ingat bahwa setelah obat anestesi dimasukkan, saya melihat lingkar-lingkar berwarna-warni di mata saya, dan saya ingat betul bahwa saya berpikir! Saya berkata pada diri saya sendiri (dalam keadaan dibius total!) "Oh, mungkin begini ini ya rasanya mati itu." Pada satu titik saya menyadari gerakan orang-orang di sekitar saya meskipun saya tahu prosedur kuretnya belum selesai! Saya sengaja mengeluarkan suara untuk memberi tahu mereka bahwa saya sadar. Sesaat kemudian saya melihat lingkar-lingkar berwarna-warni lagi, yang lama kelamaan berubah bentuk menjadi benda-benda di kamar Rumah Sakit. Saya sangat takut bahwa saya mengalami accidental awareness (Bahasa Indonesianya apa ya? Kesadaran Tak Sengaja?), atau kondisi sadar dan merasakan sakit ketika di bawah pengaruh bius total, di mana pasien tidak dapat memberikan respon fisik dalam bentuk apapun.

Accidental awareness sering digambarkan dengan sangat menakutkan di media. Pada saat bius untuk operasi besar, pasien diberi obat pelemas otot, supaya dokter dapat memasukkan alat bantu nafas ke tenggorokan. Karena adanya obat ini, pasien tidak dapat bergerak atau berbicara (bahkan terlihat tenang seperti sudah terbius), sehingga kalaupun pasien dalam keadaan sadar dan merasakan sakit saat dioperasi, pasien tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa pasien yang mengalami ini ada yang menderita semacam Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), semacam trauma karena peristiwa yang sangat luar biasa. Berhubung saya punya pengalaman semacam ini, meskipun saya tidak merasakan sakit saat itu, saya menjadi sangat khawatir.

Dokter saya memperkirakan bahwa apa yang saya alami sebenarnya adalah proses menjelang saya sadar dari anestesi, jadi bukan sadar sejak awal atau di tengah-tengah operasi. Meskipun demikian beliau berjanji akan menyampaikannya kepada dokter spesialis anestesi. Beliau mengingatkan bahwa sehari sebelum operasi dokter spesialis anestesi ini akan mengubungi saya, dan itulah kesempatan saya untuk menyampaikan pengalaman saya dan ketakutan saya. Sebagai ahli anestesi, beliau akan tahu apa yang terjadi saat kuret saya dulu dan apa yang dibutuhkan oleh tubuh saya supaya saya tidak terbangun di tengah-tengah operasi.

Setelah tidak ada pertanyaan lainnya, saya diminta untuk menandatangani surat-surat persetujuan dilaksanakannya operasi histerektomi. Kemudian dokter bertanya pada saya, "Oh iya, pada saat operasi nanti saya dapat mengambil foto rahimmu dan organ-organ di sekitarnya. Apa kamu ingin saya mengambil foto itu dan memberikannya padamu?"

Anehnya, saya menjawab "Ya".

Siapa coba yang ingin lihat rahimnya sendiri sesaat sebelum diangkat? Siapa pula yang ingin lihat organ-organ dalamnya sendiri? Rupanya rasa ingin tahu saya mengalahkan rasa takut saya akan melihat rahim saya sendiri!

Setelah selesai dengan dokter dan surat-surat, kami menuju Rumah Sakit untuk melakukan pemeriksaan praoperasi. Ibu Mertua saya sangat terkesan pada penjelasan dokter yang sangat mendetail dan lengkap. Beliau bilang bahwa dokter saya ini bagus. Meskipun demikian beliau berkata bahwa ada satu pertanyaan yang beliau tidak tanyakan tadi.

Lho, kan sudah dikasih kesempatan untuk bertanya tadi? Beliau tersenyum dan menjawab: "Yang ingin saya tanyakan adalah di mana dia beli baju yang dia pakai tadi.....bagus dan imut sekali!"

Ealah.......memang sih dokter saya ini modis banget dan mungil, baju-baju pilihan beliau selalu imut dan chic. Nggak heran Ibu Mertua saja sampai ingin tahu bajunya beli di mana! Oh ya, dokter saya cewek loh! Sengaja milih dokter cewek biar ga sungkan kalau harus periksa dalam!


Pemeriksaan PraOperasi di Rumah Sakit
Sampai di Rumah Sakit kami diminta mendaftar di bagian registrasi umum. Setelah itu kami dirujuk ke bagian operasi yang hanya beberapa meter jaraknya dari bagian registrasi umum. Bagian operasi ini memiliki registrasinya sendiri, dan kami langsung mendaftar.

Setelah mengisi berbagai formulir, kami ditemui seorang perawat yang segera mengantar kami ke ruang periksa. Seperti biasa saya menjalani pemeriksaan berat badan, tinggi badan, suhu badan, dan tekanan darah. Tekanan darah saya lumayan tinggi, di kisaran 140/111-an. Di klinik saat pertemuan dengan dokter tadi tekanan darah saya juga sekitar segitu, dan beliau heran karena biasanya saya termasuk normal.

Perawat kemudian melakukan pemeriksaan administrasi. Nama saya yang super njlimet untuk ukuran orang Amerika itu dipastikan sampai berkali-kali.  Setiap huruf dan spasinya harus benar. Mereka juga menanyakan golongan darah, kalau-kalau saya butuh transfusi saat operasi nanti. Meskipun demikian mereka akan tetap melakukan tes golongan darah sebelum operasi nanti. Dulu, ketika transfusi, mereka juga melakukan tes golongan darah sesaat sebelum transfusi padahal saya sudah bilang bahwa golongan darah saya O+. Memangnya golongan darah bisa berubah ya? Saya pernah baca ada  yang berubah, tapi sepertinya itu kasus khusus.

Pemeriksaan berlanjut dengan menanyakan riwayat kesehatan saya seperti penyakit-penyakit yang pernah saya derita, riwayat opname, riwayat operasi, penyakit kronis, obat-obatan yang saya konsumsi saat itu, konsumsi rokok/alkohol/ganja (yup! Penggunaan ganja untuk rekreasi LEGAL di Colorado!), bahkan riwayat keluarga untuk penyakit-penyakit turunan semacam kelainan genetika atau kanker.  Setelah selesai, perawat melakukan pengambilan darah saya untuk pemeriksaan praoperasi.

Sebelum pulang, perawat memberikan satu map berisi informasi tentang operasi: apa yang harus saya lakukan sebelum operasi (puasa makanan padat dan pembersihan saluran pencernaan sehari sebelumnya, mandi dengan sabun khusus malam sebelum dan pagi menjelang operasi berikut instruksinya, dan sejenisnya), pendamping yang harus siap antar jemput (setelah operasi tidak boleh nyetir sendiri, atau naik angkutan umum tanpa pendamping!), barang-barang yang disarankan dibawa dan ditinggal, jam berapa harus datang sebelum operasi (saya harus sampai di Rumah Sakit jam 5:30 pagi!), bahkan apa saja yang harus diamati dan dilakukan setelah operasi. Lengkap banget sampai pusing bacanya.

Saat itulah saya menyadari fakta yang sudah sangat, sangat jelas: yaTuhan, hanya seminggu lagi sebelum operasi saya!!!


















Comments

Popular Posts