Tentang Histerektomi (1): Memutuskan Angkat Rahim

Bagi pembaca setia dan teman-teman saya, tentunya anda sekalian sudah mendengar bahwa saya telah menjalani prosedur histerektomi atau angkat rahim pada tanggal 27 September 2017 lalu. Sebuah keputusan yang sangat berat bagi seorang perempuan, apalagi seperti saya yang belum sempat memiliki anak. 

Saya memahami bahwa histerektomi adalah sebuah momok bagi perempuan, termasuk bagi yang sudah punya anak. Tidak akan saya ingkari bahwa rahim merupakan suatu identitas bagi perempuan, jadi kehilangan rahim sama saja dengan kehilangan identitas sebagai perempuan. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi perjuangan saya menjalani semua proses tanpa kehilangan identitas diri sebagai perempuan.

Bagi yang mungkin kurang nyaman dengan topik ini, tidak perlu memaksakan diri membaca. Bagi yang ingin tahu bagaimana prosesnya baik secara medis, fisik maupun psikologis, mungkin tulisan saya ini dapat menjadi sumber informasi.

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)
Indonesia, Juni 2017
Saya sudah menuliskan pada serial Pesan Ibu kedua tentang bagaimana saya dan keluarga besar Indonesia membicarakan langkah yang akan saya ambil pasca diagnosis Adenomyosis. Keluarga besar Indonesia mendukung penuh untuk saya melakukan prosedur histerektomi.

Setelah memutuskan, malamnya saya mulai melakukan riset mengenai histerektomi: apa saja yang akan dilakukan dokter, bagaiman mereka akan mengangkat rahim saya (apakah harus membuka rongga perut seperti operasi sesar ataukah bisa melalui proses laparoskopi yang hanya memerlukan tiga irisan kecil untuk memasukkan alat), berapa lama proses penyembuhan setelah operasi (terkait cuti sakit dari pekerjaan saya mengajar piano), termasuk dampak setelah operasi seperti gangguan hormon hingga masalah hubungan suami istri.

Banyak sekali informasi yang saya dapatkan, yang nanti juga akan saya bagi di serial tulisan ini sedikit demi sedikit. Puas membaca, saya segera mengirimkan pesan singkat pada suami yang kebetulan kali ini tidak ikut pulang. Puji Tuhan, telepon seluler saya dari Amerika dapat dioperasikan di Indonesia dan tidak ada biaya tambahan untuk mengirimkan pesan singkat ke Amerika. Saya bilang ke suami bahwa saya sudah memutuskan untuk melakukan prosedur angkat rahim, dan menanyakan pendapatnya. Jawaban suami saya:

"Aku senang akhirnya kamu dapat mengambil keputusan ini dan mulai bergerak. Nanti setelah semua ini selesai kita akan bisa menikmati hidup kita kembali."

Sedih nggak sih mendengar suami berkata begitu? Betapa hidup kami benar-benar telah jauh dari kata normal sejak saya mengalami pendarahan hebat dan anemia sedang-berat. Dia bisa melihat bahwa saya tidak lagi menikmati kehidupan saya. Saya sungguh dibuat sibuk, panik, dan lemah secara fisik oleh kondisi saya yang hari-hari pendarahannya lebih banyak dari hari-hari tidak pendarahan. Bagaimana mau menikmati hidup, berdiri saja kadang tidak sanggup?

Bagaimana perasaan saya setelah memutuskan? Kebas. Mati rasa. Ada saat ketika kami sedang ada acara buka puasa bersama keluarga besar, saya tidak sanggup keluar kamar. Semua Om, Tante, saudara sepupu berikut suami/istri dan anak-anak mereka datang ke rumah kami. Mendengar tawa bahagia anak-anak dan orang tua membuat saya benar-benar seperti lumpuh di kamar. Saya tidak tahu berapa liter air mata yang sudah keluar!

Saya akhirnya keluar dan berbicara dengan beberapa sepupu. Saya sampaikan apa adanya, dengan berurai air mata. Parahnya lagi, saat itu pula saya mengalami pendarahan hebat yang mengharuskan saya lari ke kamar mandi untuk ganti pembalut. Perlu dicatat, selama saya di Indonesia saya selalu duduk di atas perlak, tidur berlapis perlak, bahkan naik mobil pun bawa perlak. Kalau tidak percaya silakan tanya murid piano saya yang seminggu sekali menjemput saya dengan mobilnya untuk les piano di rumah kakak (yang menyediakan pianonya untuk kami pakai les).

Malam itu juga, ada seorang Tante yang melihat saya dan langsung menyapa. Maklum, saya kan tinggalnya jauh, jadi kalau pas kelihatan di Surabaya pasti langsung jadi artis dadakan. Sayangnya, pertanyaannya malah bikin hati hancur:

"Mbak Dhita anaknya berapa?"

"Oh, saya tidak punya anak Tante. Dan memang tidak bisa."

"Ahhh, bukannya nggak bisa. Belum dikasih saja. Sabar saja, nanti juga dapat. "

"Nggak Tante, memang tidak bisa. Rahim saya sudah mau diangkat karena ada kelainan."

"Oh...."

Untung saja percakapan terhenti di situ, karena ada orang lain yang menyapa Tante tersebut. Saya hanya bisa menyingkir ke pojok yang sepi, berusaha untuk tidak menangis. Salah satu sepupu saya mencoba menghibur, dan berkata bahwa mukjizat masih ada, masih ada harapan. Meskipun saya percaya mukjizat, saya tahu juga bahwa Tuhan memiliki otoritas penuh untuk memberikan atau tidak memberikan mukjizat. Atau malah mukjizat akan diberikan dalam bentuk lain. Entah kenapa, obrolan tentang mukjizat ini sama sekali tidak membantu saya malam itu.

Saya mengerti bahwa orang-orang di sekitar saya yang sungguh mengasihi saya tidak bermaksud jahat. Mereka tidak ingin menyakiti saya. Namun mereka mungkin tidak mengerti masalah yang sebenarnya, upaya medis yang telah saya lakukan, doa dan konsultasi rohani, dan segudang hal lain terkait kondisi saya. Kalaupun mereka tahu, mereka tidak dapat memahami seberapa menyakitkan kondisi ini, seberapa dalam duka saya, dan mereka tidak tahu harus berkata apa. Kadang, nasihat atau kata-kata yang dimaksudkan untuk mendukung malah berbalik menjadi menjatuhkan.

Yang ingin saya dengar saat itu hanyalah ini: apapun yang terjadi, kami mengasihi dan mendukungmu. Kami ada di sini untukmu.

Hanya itu! Saya tidak butuh diberi tahu bahwa Tuhan masih bisa bermukjizat memberi saya anak dari rahim sendiri. Saya sudah tahu itu! Saya tidak butuh diberi tahu bahwa saya masih bisa adopsi atau pinjam rahim. Saya sudah dengar itu berkali-kali dari sekian banyak dokter. Saya tidak perlu diceramahi untuk pergi mencari second opinion. Saya sudah dapat lebih dari sekadar second!!!

Ibu saya berusaha menenangkan saya dengan menyampaikan sebuah pesan dari almarhumah Nenek saya, ibu beliau.

"Mereka berkata/bertindak begitu karena mereka tidak mengerti."

Saat itu dalam kemarahan saya, saya menjawab "Kalau tidak mengerti ya tidak usah komentar."
(Padahal tidak masuk akal ya, di era media sosial zaman now ini mana bisa tidak komentar? Ngerti ga ngerti, etis ga etis komentar maju terus bleh! Hahahah.....)

Bisa anda lihat kan, betapa marahnya saya? Judes abis! Orang tidak bisa dipaksa mengerti atau mau mengerti. Kadang, kalaupun mereka mau mengerti, mencari informasi, mendengarkan kita dengan tulus dan sungguh paham akan situasi kita, tetap saja mereka tidak akan mampu memahami kedalaman emosi dan duka seseorang. Tetap ada sebagian yang tidak akan pernah bisa mereka pahami. Tambahan lagi, orang yang sedang sakit dan berduka itu amat, sangat sensitif. Salah kata sedikit saja bisa langsung meledak emosinya.

Dalam kemarahan dan kedukaan yang amat sangat, saya mengasingkan diri ke kamar saya. Saya bergumul, berperang, berargumen, marah-marah, dan protes keras padaNya. Apa salah saya sampai saya harus angkat rahim?

Suatu pagi, ketika saya sedang menyisir rambut saya, akhirnya saya menyerah dan saya berkata kepada Tuhan:

"Tuhan, kalau ini memang jalan yang Engkau inginkan bagi saya, saya terima. Apabila melalui angkat rahim ini kemuliaanMu dapat ditampilkan dengan hebat melalui kehidupan saya dan perkawinan saya, biarlah itu yang jadi. Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku seturut kehendakMu."

Dengan berurai air mata, akhirnya saya dengan lapang dada menerima keputusanNYA bagi hidup saya.










Comments

Popular Posts