Pesan Ibu: Ukuran Sukses

Bulan Juni 2017 yang lalu saya berkesempatan untuk mudik ke kampung halaman, Surabaya. Tujuan utama mudik tentu saja untuk berkumpul bersama keluarga, apalagi kepulangan saya kali ini bertepatan dengan Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Jadi sekali mudik bisa bertemu dengan keluarga besar yang juga sama-sama mudik ke Surabaya.

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)
Tapi kepulangan saya ini membawa misi lain. Seperti yang sudah saya tulis di serial "Aku dan Adenomyosis", saya menderita suatu kondisi di rahim yang menyebabkan saya pendarahan hebat hampir setiap waktu. Dokter sudah menyatakan bahwa satu-satunya penyembuhan buat saya adalah angkat rahim. Apalagi saya pendarahan terus menerus meski sudah diberi pil KB untuk menguranginya. Saya sudah setahun terakhir hidup dalam kondisi anemia sedang-berat. Dokter mengatakan bahwa ini tidak baik untuk kesehatan saya jangka panjang, dan bisa membahayakan. Karena itulah, pada kesempatan mudik kali ini saya ingin mendiskusikan langkah apa yang harus saya ambil selanjutnya: membicarakan operasi angkat rahim.

Sejak awal kedatangan saya, saya langsung membicarakannya dengan keluarga besar. Saya sungguh bersyukur bahwa mereka semua mendukung penuh keputusan saya untuk angkat rahim. Ironisnya, ketika saya sedang membicarakan masalah ini dengan keluarga, saya mengalami pendarahan hebat sehingga kursi tante saya basah oleh darah saya. Melihat ini, mereka semakin mendukung keputusan saya.

Suatu hari, ketika sedang sendirian, saya merasa sangat sedih dan depresi. Kalau rahim saya diangkat, apa lagi nilai diri yang saya punya? Saya sedih membayangkan bahwa dalam hidup saya tidak ada apapun yang bisa saya banggakan seperti kekayaan (rumah/mobil/uang/penghasilan), jabatan/pekerjaan mentereng, anak, acara jalan-jalan dan foto-foto mesra bersama pasangan. Ya, segala kebutuhan saya memang tercukupi dan saya boleh dibilang hidup bahagia, tapi entah kenapa rasanya belum ada apa-apanya kalau belum bisa dibanggakan, terutama di media sosial dan arisan-arisan keluarga (heheheh).

Tidak kuat menanggung rasa, saya pergi ke kamar Ibu yang kebetulan sedang bersantai. Sambil menangis saya ceritakan apa yang saya rasakan, betapa dalam hidup saya tidak ada yang bisa dibanggakan, apalagi nanti setelah saya mengangkat rahim. Bukankah ukuran sukses seseorang itu kalau dia berhasil dalam keluarga, karir, memiliki harta yang banyak, serta jabatan dan pekerjaan mentereng? Kemudian saya bertanya kepada Ibu saya sebuah pertanyaan yang menghantui saya selama ini:

"Bu, apakah Ibu malu memiliki putri seperti aku yang tidak bisa melahirkan anak? Memiliki anak boleh dibilang adalah kewajiban dan sesuatu yang menjadi nilai utama seorang perempuan, apakah Ibu malu memiliki putri yang gagal dalam mengandung dan melahirkan anak? Bukankah ini adalah aib buat keluarga kita?"

Saya terus meracau bahwa hidup saya ini biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak ada yang istimewa. Kalau mau dibandingkan dengan saudara-saudara saya dan teman-teman di Facebook, ya hidup saya sangat tergolong biasa. Adem ayem. Apalagi tanpa anak. Saya boleh dibilang adalah perempuan yang gagal. Perempuan yang tidak bernilai dan pantasnya dibuang saja.

Ibu saya menatap saya dan langsung menjawab: "Oalah Nak, kenapa Ibu harus malu? Ukuran keberhasilan, ukuran sukses buat Ibu itu sama sekali bukan pada apa yang kamu punya atau tidak punya!"

Beliau kemudian menjelaskan dengan sabar, dimulai dari pengalaman kami bersama di tahun 1994. Bagi beliau, memiliki suami/anak, pekerjaan/jabatan, harta kekayaan dan berbagai kemewahan lainnya bukanlah ukuran sukses, karena semuanya itu adalah pemberian dari Sang Maha. Kita sama sekali tidak punya kendali atas semua itu, dan semua itu dapat hilang dalam hitungan detik. Bila Sang Maha menghendaki hari ini kita kaya besok kita tidak punya apa-apa, maka hal itulah yang akan terjadi.

Beliau mengingatkan saya akan apa yang kami alami di tahun 1994. Saat itu ayah saya, suami beliau, menduduki jabatan tinggi dan terhormat di tempat kerja beliau. Beliau adalah orang terpenting ketiga di Instansi beliau, dalam skala Nasional. Penghasilan tentu saja mengalir deras. Rumah kami yang sederhana sedang direnovasi untuk menambah lantai kedua di mana saya dan kakak-kakak saya akan memiliki kamar sendiri dengan kamar mandi masing-masing. Kami memiliki beberapa mobil. Ayah kami juga sangat menyayangi Ibu kami dan kami semua. Beliau adalah seorang family man. Kami adalah keluarga sukses, sempurna, dan bahagia menurut standar dunia.

Lalu, terjadilah yang tidak pernah kami pikirkan. Ayah kami mendapat serangan stroke pada pukul 6 sore, dan pada pukul 10 malam dokter menyatakan bahwa Ayah kami telah mati batang otak. Dalam hitungan jam kami kehilangan Ayah, suami, satu-satunya pencari nafkah di keluarga kami, jabatan tinggi serta kehormatan yang menyertai, penghasilan yang tinggi, serta harapan kami untuk masa depan. Dalam hitungan jam kami berubah dari keluarga sukses dan bahagia menjadi keluarga yang "menyedihkan".

Ibu saya melanjutkan "Bagi Ibu, sukses bukanlah memiliki jabatan, harta, suami atau anak. Bagi Ibu, sukses adalah bila kamu mampu menghadapi apapun yang kehidupan ini lemparkan ke hadapanmu dengan baik." 

Hal ini membuat saya tertegun. Beliau menjelaskan, apapun yang kehidupan berikan bagi kita bisa merupakan ujian atau cobaan, baik itu kemalangan maupun keberuntungan. Yang menjadi ukuran sukses adalah bagaimana kita menyikapi keberhasilan/keberuntungan/kebahagiaan dan juga kemalangan/kesedihan/penderitaan.

Apa kategori "dengan baik" menurut beliau?  Menghadapi kehidupan dengan baik berarti menghadapinya sesuai dengan iman dan kepercayaan, pengetahuan dan pemikiran mendalam, dengan nilai-nilai moral dan kebenaran, dengan ketegaran dan keberanian, dengan keikhlasan dan ketabahan, dengan kerendahan hati, dengan ucapan syukur, dengan penerimaan namun pantang menyerah (bahasa Jawa yang beliau gunakan adalah semeleh). Tidak sombong dan takabur ketika diberi berkat melimpah, tidak pula bersedih dan menyalahkan Tuhan jika kehidupan tidak berjalan sebagaimana yang kita inginkan. Mempertahankan karakter dan jati diri di lingkungan manapun kita berada, serta mampu memfilter pengaruh yang buruk. Kuat dan tegar namun tetap lemah lembut dan sabar.

Salah satu contoh ujian dalam berkat adalah anak. Ibu saya berkata, anak adalah karunia besar, namun memiliki anak saja bukanlah ukuran sukses yang sebenarnya. Bagaimana pasangan suami istri menyikapi karunia tersebut: bagaimana membesarkannya, bagaimana mendapatkan penghasilan yang cukup untuk biaya hidup dan pendidikannya (dengan cara yang halal tentu saja), bagaimana menanamkan nilai-nilai keimanan, keagamaan dan moral, bagaimana menumbuhkan karakter yang kuat dan pantang menyerah, itulah yang akan menjadi ukuran sukses seseorang yang menerima karunia anak.

Contoh pertama yang beliau berikan adalah kakak saya sendiri. Salah satu anaknya mengalami keterlambatan bicara. Begitu kakak saya dan suaminya mengetahui hal ini, mereka langsung mengambil tindakan. Kakak saya keluar dari pekerjaannya untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu sehingga bisa mendampingi kedua anaknya bertumbuh, terutama anaknya yang berkebutuhan khusus. Tiap hari dia pontang-panting mengantar anak sekolah, terapi, les, mengajari mereka di rumah, dan ini belum termasuk mengurus urusan rumah tangga sehari-hari seperti bersih-bersih dan memasak. Tapi kakak saya tidak mengeluh, dan keponakan saya sekarang sudah mengalami kemajuan besar dan mampu berkomunikasi dengan baik. Bagi kakak saya dan suaminya, ini adalah tanggung jawab sebagai orang tua yang menerima karunia besar berupa anak: membesarkan, mendidik, dan membekali mereka untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas, berkarakter dan mandiri.

Beliau juga mencontohkan saya. Kondisi kesehatan saya sudah jelas sangat tidak kondusif untuk saya menjadi seorang perempuan, istri, guru, teman, anak, dan berbagai fungsi saya yang lain. Keadaan saya boleh dibilang menyedihkan bagi perempuan manapun, namun keputusan saya untuk angkat rahim adalah sikap yang benar. Bagi Ibu saya, saya telah melakukan apa yang benar: melakukan apa yang saya bisa, mempelajari kondisi saya, mencoba semua alternatif, berpikir logis dan mendalam, berdiskusi dengan dokter dan keluarga serta orang-orang bijak, dan dengan keberanian dan ketegaran mengambil keputusan untuk angkat rahim. Keputusan ini tentu menyakitkan buat saya, tapi saya telah mengambil apa yang terbaik bagi saya, bagi keluarga, bagi teman-teman, bagi murid-murid berikut keluarganya, dan bagi semua orang di sekitar saya. Bagi beliau, itulah kesuksesan saya dan kebanggan beliau.

Contoh terakhir adalah kami sekeluarga. Kami ditinggal Ayah secara mendadak, namun kami semua, dengan cara kami masing-masing, mampu menghadapinya dan tetap tegar. Kami bisa menjadi seperti sekarang ini semua karena didikan dan bimbingan Ibu kami, serta tentu saja apa yang ditanamkan pada kami sejak kecil dan kemauan kami yang keras untuk tetap bertahan. 

Beliau kemudian mengingatkan saya bahwa meskipun saya tidak (dan tidak mau) membanggakannya di media sosial, saya memiliki banyak hal yang bisa saya banggakan. Namun Ibu saya berpesan, kebanggan tersebut tidaklah perlu diumumkan ke seluruh dunia, cukuplah dibawa dalam sujud kita setiap kali kita berdoa, untuk dipersembahkan kembali kepada Sang Maha dalam bentuk ucapan syukur. Itulah yang selalu beliau lakukan atas kesuksesan anak-anaknya menghadapi kehidupan. Ya, beliau menganggap kami anak-anaknya sukses dalam hal ini dan selalu membawa rasa bangga tersebut dalam setiap sujud beliau setiap kali beliau sholat. Mungkin anda heran, hah, ibu mbak sholat? Meskipun saya Kristen, ibu saya adalah Muslim. Kakak-kakak saya Hindu. Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya!

Ukuran sukses bukanlah pada hal duniawi yang dapat diambil kapan saja Sang Maha menghendakinya, tapi pada karakter dan hati yang akan melekat hingga hari kita menghadapNya.

Terima kasih, Ibu!






Comments

Popular Posts