Tentang Histerektomi (3): Masa Penantian dan Persiapan Mental

Akhirnya masa penantian yang panjang dimulai. Sebagaimana masa penantian pada umumnya, menunggu operasi pengangkatan rahim juga sangat tidak enak. Saat inilah pikiran saya benar-benar nggak karu-karuan. Sensitifnya minta ampun.

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)
Pada masa ini saya masih juga pendarahan, namun syukur kepada Tuhan kadar hemoglobin masih berada di kisaran sembilan. Ketika saya cek kadar hemoglobin ke Klinik, saya sekalian saja mampir ke staf dokter saya bagian penjadwalan, untuk mendapatkan tanggal pastinya. Hari itu saya mendapatkan hari Rabu, 27 September 2017, pukul 7:30 pagi sebagai tanggal dan jam operasi saya. Seminggu sebelumnya, yaitu Rabu, 20 September 2017 saya akan menemui dokter saya untuk Pre-Op Meeting dilanjutkan Pre-Op Check-up di Rumah Sakit. Saya juga diberi satu paket dokumen yang menjelaskan apa yang harus saya lakukan dan persiapkan sebelum  Pre-Op dan sebelum operasi.

Masa penantian pun dimulai.

Persiapan Mental
Orang yang akan menjalani operasi tentunya akan melakukan persiapan mental, selain persiapan fisik. Persiapan fisik bagi saya hanyalah sebatas menjaga kesehatan, memastikan saya tidak sakit menjelang operasi, karena operasi dapat dibatalkan bila ternyata kondisi saya tidak fit. Yang paling heboh adalah persiapan mental.

Hal pertama yang saya lakukan mengenai persiapan mental adalah bicara dengan suami. Saya tidak pernah menyangka bahwa apa yang kami lakukan ini sangat, sangat membantu. Bagi yang mau operasi angkat rahim, ini bisa dicoba.

Begitu memutuskan histerektomi, saya dan suami duduk bersama. Saya bilang padanya, bahwa masa sebelum dan sesudah operasi akan menjadi masa-masa yang berat bagi saya secara emosional. Saya akan sering menangis. Saya akan sangat sensitif, bahkan mungkin saya akan menjadi orang yang sangat sulit untuk dihadapi. Saya meminta pengertiannya.

Di luar dugaan saya, dia sudah siap. Bahkan, kami sama-sama berpikir bahwa sikap sensitif dan emosi yang kacau ini hanya sementara, hanya sesuatu yang harus kami lalui, bukan sesuatu yang permanen. Kami menekankan pentingnya kesadaran bahwa kami hanya melalui sesuatu, bukan untuk tetap tinggal di dalam situasi itu. Memang kondisi saya akan berubah, yaitu saya tidak akan lagi memiliki rahim, namun itu tidak akan mengubah siapa saya dan kepribadian saya. Saya hanya akan terguncang, namun akan menemukan kembali titik keseimbangan yang baru, yang lebih baik.

Berdiskusi seperti ini membuat saya merasa aman dalam memasuki badai emosi yang akan datang. Suami saya juga siap, sehingga dia tidak akan kebingungan dengan sikap-sikap saya yang mungkin tidak masuk akal pada masa-masa ini. Dia tahu apa yang akan kami lalui, sehingga saya tidak perlu takut bahwa dia akan marah, kecewa, atau lebih buruk lagi.....meninggalkan saya.

Pengamatan Emosi
Jujur nih, begitu saya memutuskan untuk angkat rahim, saya sengaja mengamati perubahan emosi saya sendiri. Tujuannya? Selain untuk memahami apa yang terjadi pada saya (dan membagikannya kepada suami supaya dia juga paham), saya ingin juga bagikan kepada pembaca yang mungkin sedang menghadapi pergumulan yang sama. Saya tahu perjuangan emosional kita tentu tidak akan sama persis, namun setidaknya ini dapat memberikan gambaran apa yang akan kita rasakan sebagai perempuan kalau menghadapi situasi seperti ini.

Emosi yang sangat jelas terasa adalah perasaan takut ditinggalkan. Ini termasuk ditinggalkan secara fisik, maupun ditinggalkan secara emosional (tidak lagi dicintai dan diinginkan). Meskipun saya tidak menganut paham perempuan tanpa anak/rahim adalah perempuan tak berguna, saya dibesarkan di lingkungan yang sebagian masyarakatnya masih berpandangan demikian. Mau tidak mau, ada suara-suara sejenis itu yang terus membisik di telinga saya.

Di seri pertama sudah saya sebutkan bahwa rahim sangat terkait dengan identitas seseorang sebagai perempuan. Kehilangan rahim sama saja dengan kehilangan identitas dan harga diri. Apalagi bagi seseorang seperti saya yang belum memiliki anak. Lha wong bagi yang sudah punya anak saja tindakan angkat rahim sangat menakutkan secara emosional, apalagi bagi yang belum punya anak!

Saat itu, emosi saya berkata bahwa sebentar lagi saya tidak akan memiliki nilai lagi. Orang-orang akan mulai meninggalkan saya. Mereka akan memandang rendah saya. Mereka akan mengucilkan saya. Hal ini membuat saya menjadi sangat sensitif pada perubahan apapun di sekitar saya yang kiranya mengandung sesuatu yang berbau "meninggalkan".

Contohnya ini: Ibu Mertua saya biasanya lebih sering mengirimkan pesan singkat ke saya daripada ke suami saya tentang acara-acara keluarga, karena saya orangnya lebih responsif pada pesan singkat. Saya punya studio piano; karenanya saya harus selalu sigap menjawab telepon, pesan singkat dan surel dari murid dan orang tuanya. Suatu hari, beliau mengirimkan pesan singkat mengenai ulang tahun Bapak Mertua kepada suami. Mereka akan mengadakan perayaan sederhana, dan menanyakan kepada kami jadwal kami supaya mereka bisa mendapatkan hari yang pas. Setidaknya, hari di mana sebagian besar dari anak-mantunya dapat hadir. Di sini saya sudah mulai curiga.....kok saya nggak dikirimi pesan singkat? Kok malah ke suami yang kadang lupa bahwa dia punya telepon seluler? (Ya iyalah, dia kan anak beliau! Gimana sih! Suka-suka beliau saja dong kapan mau SMS anaknya. Hahahahah)

Setelah diskusi dengan segenap anak-mantu, pestanya diadakan pada hari Selasa, tepat pada hari ulang tahun Bapak Mertua. Acara diadakan pada sore-malam hari, di mana saya harus mengajar. Sayalah satu-satunya yang tidak bisa hadir malam itu. Meskipun bagi orang normal hal ini tidak aneh (kan mencari hari di mana sebagian besar, kalau tidak bisa semuanya, anak-mantu bisa hadir!), bagi saya ini adalah upaya terencana alias konspirasi dari keluarga mertua untuk mengasingkan saya. Saya merasa sangat sakit di hati ini, karena apa yang saya takutkan terbukti! Mereka sudah mulai meninggalkan saya! Mereka juga tidak mengirimkan pesan singkat semacam "Thinking of you!!" atau "We're sorry you can't be here!" seperti biasanya. FIX! Mereka berkonspirasi meninggalkan saya!

Pulang mengajar saya tidak makan malam dan langsung naik ke tempat tidur dengan hati yang sakit dan berurai air mata.

Ketika suami pulang, dia heran melihat saya sudah meringkuk di kamar padahal biasanya saya tidur lebih malam daripada dia. Apalagi itu hari Selasa, di mana saya mengajar sejak jam tiga hingga jam sembilan non-stop sehingga tidak ada waktu untuk makan malam. Ibu Mertua mengirimkan berbagai makanan dan kue untuk saya yang tidak bisa hadir, tapi bagi saya itu hanya untuk menutupi. Ibu Mertua memberikan makanan itu ya untuk anaknya! Bukan buat saya! Saya tidak sudi menyentuhnya! Saya dan suami sempat bersitegang mengenai hal ini. Dia berulang kali meyakinkan saya bahwa ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan angkat rahim saya! Tapi saya tetap tidak percaya. Saya yakin suami pasti kesal sekali pada saya, tapi pada saat-saat seperti inilah keyakinan kami bahwa 'kegilaan' saya ini hanya sementara sangat membantu. Sikap semacam ini bukanlah Dhita yang sebenarnya. Sikap ini hanyalah Dhita yang sedang terluka.

(Catatan: besoknya saya makan juga kok! Hahahah......boikot ga niat ya gini ini!)

Kisah di atas hanyalah satu contoh dari banyak kejadian serupa, dan semua orang di sekitar saya tidak luput dari kecurigaan saya. Tapi sekali lagi, ini semua hanyalah saya yang sedang sangat sensitif, saya yang sedang berada di tengah badai, saya yang sedang berusaha mencari dan melindungi identitas saya. Saya sungguh, sungguh, sungguh bersyukur bahwa orang-orang terdekat saya memahami hal ini.

Hal kedua yang saya amati adalah saya menjadi perfeksionis. Saya tidak paham psikologi, tapi yang saya amati adalah ini: saya merasa bahwa sebagian nilai diri saya akan hilang sebentar lagi. Untuk itu, saya harus melakukan hal-hal lain di hidup saya sesempurna mungkin, sehingga mereka tidak memiliki alasan untuk meninggalkan saya. Over kompensasi, kurang lebih begitu.

Satu saja kesalahan kecil, dalam berbahasa Inggris misalnya, saya akan merasa sebagai orang paling nggak bisa bahasa Inggris sedunia, dan sebaiknya saya diam saja. Jangan pernah bicara lagi! Setelah mengajar, saya sering berpikir seperti ini: "Aduh! Tadi harusnya saya nggak berkata begitu! Tadi harusnya saya bisa ngajar dengan pendekatan ini, dan bukan yang itu!" Akhirnya saya merasa sebagai guru terburuk di dunia dan saya sebaiknya segera ganti pekerjaan saja.

Tentu saja kesemua episode itu diikuti dengan acara menangis dan meracau merendahkan diri sendiri yang bikin suami hanya bisa mengelus dada. Tapi sekali lagi, kami tahu bahwa ini hanya sementara. Ini bukan saya yang sebenarnya. Harus kami lalui!

Ada lagi yang menjadi kekhawatiran saya selama masa penantian. Pada masa itu pendarahan saya sempat berhenti untuk waktu yang cukup lama. Ini sungguh aneh! Biasanya tiada hari tanpa pendarahan. Saat itu saya berpikir: jangan-jangan saya menerima mukjizat kesembuhan tapi saya tidak tahu? Bagaimana kalau misalnya setelah diangkat nanti dokter menemukan bahwa sebenarnya telah terjadi kesembuhan adikodrati? Wuih, ngeri banget membayangkannya.

Tapi pada saat yang bersamaan saya juga berpikir, mungkin ini cara Tuhan memulihkan kesehatan saya sehingga saya fit untuk operasi. Tapi yang mana yang benar? Saya stress sekali beberapa hari lamanya. Ketika pendarahan saya datang kembali dua atau tiga minggu kemudian, saya tahu bahwa saya tidak menerima kesembuhan adikodrati. Saya menjadi tenang, tapi emosi akan kehilangan rahim tetap harus dilawan. 


Perlawanan Emosional
Apa pula ini? Ini adalah upaya saya untuk melawan suara-suara negatif tentang harga diri saya sebagai perempuan tanpa rahim. Bagaimana melawannya? Gampang. Dengan suara positif. Dengan cinta dan penerimaan tanpa syarat. Dengan memagari diri kita dengan orang-orang dan situasi-situasi yang positif. Gampang memang saya ngomongnya, tapi dalam pelaksanannya tidak semudah itu!


Saya dengan sengaja mengatakan pada diri saya sendiri perkataan-perkataan positif yang memang saya yakini. Dengan maupun tanpa rahim, saya tetap berharga. Saya memiliki potensi yang dapat saya gunakan untuk memberkati orang lain. Saya tetap perempuan meski tanpa rahim. Apa dengan kehilangan rahim kita berhenti menjadi perempuan? Ya nggak lah! Kalau kita berhenti jadi perempuan, jadi apa dong kita? Laki-laki? Nggak mungkin. Perempuan jadi-jadian (Werewoman)? Bolehlah. Setidaknya kita punya nama keren pas Halloween. Hahahah!!!!!

Oh ya, ini juga salah satu senjata emosional loh.......TERTAWA. Menertawakan situasi (catat: situasi ya, bukan menertawakan diri kita) membuatnya tidak lagi menakutkan. Persis seperti bagaimana dunia sihir Harry Potter menghadapi Boggart, makhluk yang selalu berubah bentuk sesuai ketakutan terbesar orang yang dihadapi. Mantranya Ridikkulus (saya duga mantra ini dari kata 'ridicule' yang kurang lebih berarti  menertawakan/mempermalukan), dan menertawakan Boggart adalah cara untuk mengalahkannya. Silakan dicoba! Contoh lain menertawakan situasi: beberapa hari lalu (sembilan minggu pascaoperasi) saya browsing situs Etsy, di mana para penggemar arts and crafts menjual karya-karya mereka. Di situ saya melihat boneka rahim setan. Rahimnya berwarna merah tua, dengan mata yang jahat tapi jahil, lengkap dengan tanduk dan ekor setan. Pembaca bisa lihat di sini. Saya sampai tertawa ngakak melihatnya, dan saya jadi ingin beli. Ini cocok sekali buat saya!!!

Contoh lain lagi: saya memang tidak akan bisa punya anak. Tapi saya bisa mengajari anak orang lain main piano. Jadi biar mereka saja yang punya anak, nanti kalau sudah besar kirim ke saya untuk belajar piano. Saya jadi dapat duit! Hahahah!!

Senjata saya yang lain adalah perkataan dan sikap orang-orang terkasih di sekitar saya. Di luar dugaan, mereka menunjukkan sikap yang penuh kasih dan penerimaan tanpa syarat. Suami saya tentu saja menjadi supporter saya yang nomor satu. Cintanya pada saya tidak berkurang sedikitpun. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah menikahi saya untuk memiliki anak. Dia menikahi saya karena dia mencintai saya dan ingin bisa bersama dengan saya dalam suka dan duka. Dia tidak akan meninggalkan saya; karena baginya, dengan ataupun tanpa rahim saya tetaplah Dhita yang dia cintai.

Keluarga saya juga sangat membantu. Ibu saya, meski dari jauh selalu menanyakan perkembangan kesehatan dan prosedur operasi. Ibu mertua juga, bahkan sering ikut mengantar ke dokter. Kakak dan adik suami juga semua turun tangan, yang akan saya ceritakan lebih lagi nanti di serial selanjutnya. 

Murid-murid dan orang tua murid juga sungguh luar biasa. Begitu mengetahui kondisi saya, mereka mengirimkan surel dan kartu menunjukkan dukungan penuh. Salah satu murid saya memberikan reaksi yang paling menyentuh. Dia duduk di kelas 4 atau kelas 5 SD, dan suatu hari inilah percakapan kami ketika les:

Murid     : Miss Dhita, anda akan operasi apa sih?
Saya       : Saya akan operasi histerektomi.
Murid     : Oh, saya turut sedih mendengarnya Miss.
Saya       : Saya tidak akan bisa punya anak, tapi nggak papa. Saya kan punya kalian, murid-murid
                 saya, anak-anak musikal saya.
Murid     : (memeluk saya) Yes, Miss Dhita. You have us. (Ya, Miss Dhita. Anda akan selalu memiliki
                 kami)

*meleleh*

Lihat betapa tulusnya hati anak-anak! Mereka tidak terbebani stereotip perempuan harus punya anak biologis!

Ada pula seorang murid saya yang kebetulan berada di spektrum Autisme. Dia pun menanyakan hal yang sama. Meski dia tidak bereaksi dengan kata-kata yang menyentuh, tapi sudah beberapa kali ini setiap selesai les dia selalu memeluk saya. Saya tidak tahu apakah ini karena operasi saya atau karena dia merasakan kedekatan dengan saya sebagai gurunya...........yang manapun, hal-hal seperti inilah yang membuat saya yakin masih ada yang membutuhkan saya di dunia ini. Masih ada yang bisa saya berikan bagi orang lain untuk memberkati mereka, dengan apa adanya diri saya. Sebagai perempuan yang punya sifat dasar mengayomi, merawat, menuntun......sifat yang tidak akan hilang meski rahim saya tidak ada lagi.

Tentu saja, jangan lupa, dengarkan apa kata Tuhan tentang diri kita. Saya selalu mengingatkan diri saya akan hal itu, dan bahwa Tuhan menganggap saya adalah mahakaryaNya, anakNya, dan umat yang dicintaiNya. 

Jadi, Ladies, kita bisa melawan!


MUKJIZAT!
Saya percaya mukjizat. Dulu, saya percaya mukjizat itu berarti kita mendapatkan apa yang kita inginkan meski keadaannya sudah tidak mungkin lagi. Mukjizat bersifat adikodrati, kadang menerabas hukum-hukum alam. Dalam kasus saya, tentu saja mukjizat yang saya harapkan adalah kesembuhan rahim saya dan saya mendapatkan anak.

Tapi tentu saja mukjizat adalah otoritas penuh Sang Maha Kuasa. Bentuk mukjizat juga tidak selalu yang kita inginkan, tapi yang kita butuhkan. Saya mengalami mukjizat kesembuhan jiwani, yang luar biasa! 

Suatu hari saya mengajar murid dewasa saya. Saya baru saja memutuskan histerektomi. Seperti biasa sebelum pelajaran kami berbagi perkembangan kehidupan kami. Kebetulan kami seiman dan sering berbagi kisah dan berdoa bersama sebelum dan setelah les. Hari itu saya ceritakan bahwa saya sudah memutuskan histerektomi dan sedang menunggu tanggal dari dokter. Ketika saya tanya kabar dirinya, dia menjawab: "Saya hamil!"

Coba sekarang pembaca bayangkan: pada saat yang bersamaan anda harus kehilangan rahim, teman anda yang juga mengalami kelainan di rahim mendapatkan karunia kehamilan! Bagaimana anda akan bereaksi? Yang lumrah ya pasti kita akan merasa sakit, sedih, dan marah pada Tuhan. Kok tega-teganya Tuhan memberikan kabar baik orang lain pada kita ketika kita menyampaikan kabar buruk pada orang itu? Kok Tuhan memberikan kehamilan buat dia, namun tidak buat saya?

Jangankan mendengar kabar orang lain hamil. Saya membaca di internet orang yang tidak dapat memiliki anak menjadi sangat sensitif. Melihat popok di supermarket saja bisa menangis. Apalagi melihat orang hamil!

Tapi bukan itu yang terjadi pada saya. Sayalah yang justru bersorak dan melompat-lompat kegirangan mendengar kabar kehamilannya. Terlebih lagi mendengar tanggal perkiraan lahir si bayi yang bertepatan dengan ulang tahun saya! Saya merasa sangat bahagia, seolah-olah saya sendiri yang hamil! Saking bahagianya, kasir supermarket yang saya kunjungi setelah mengajar sampai mengomentari sikap positif saya ini. Orang lain saja bisa melihatnya!

Sejak saat itu, saya menyadari bahwa keinginan saya untuk memiliki anak telah hilang. Saya tidak lagi iri melihat orang lain memiliki anak. Saya akui tidak 100%, kadang masih ada setitik rasa sakit ketika mendengar ada yang hamil, tapi rasa itu sangat tipis dan hilang dalam hitungan jam. Sisanya saya menjadi ikut bahagia dengan kehamilan orang lain.

Kalau ini bukan mukjizat, lalu apa? 

Terpujilah nama Tuhan! Dia baik!

 

CATATAN: Berhubung di atas ada cerita mengenai seorang anak yang menderita Autisme, saya ingin sekalian mengajak pembaca untuk tidak mengolok-olok orang lain (yang kita anggap bodoh/salah/kurang tepat) dengan menyebutkan nama kebutuhan khusus ini. Autisme adalah kondisi medis yang nyata, jadi tolong jangan dijadikan bahan olok-olok. Perjuangan mereka sudah berat. Terima kasih.















Comments

  1. Dear Mba Dhita,

    Terimakasih banyak sudah sharing mengenai pengalamannya dengan Adenomyosis dan Hysterectomy. Nama saya Grace, berusia 23 tahun saat ini dan divonis Adenomyosis 2 tahun yang lalu setelah selama ini salah diagnosa. Saya sudah mengalami prolonged and heavy bleeding sejak usia saya sekitar 15 tahun. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali saya harus keluar masuk rumah sakit untuk transfusi darah. Sampai tahun lalu saya memutuskan untuk mengikuti terapi hormone berupa suntik tapros (semacam Lupron) selama 6 bulan, dan hasilnya menstruasi aman terkendali selama 3 bulan saja :) metode lain juga sudah saya tempuh seperti konsumsi obat2an hormonal, tapi hasilnya hanya membuat saya naik berat badan tanpa menyembuhkan.

    Membaca curhatan Mbak Dhita tidak terasa saya sampai menitikkan airmata saking miripnya pergumulan dan "penderitaan" Adenomyosis yang dialami dengan yang saya lalui juga.

    Saya berharap Mbak Dhita akan terus menulis postingan mengenai post-hysterectomy, proses recovery dan progress apa saja yang dirasakan pasca melalui operasi pengangkatan rahim. Siapa tahu bisa menjadi referensi bagi saya dikemudian hari :)

    Terimakasih banyak sudah berbagi, Mbak Dhita.


    Salam hangat,
    Grace

    ReplyDelete
  2. Dear mbak Grace,
    Terima kasih mbak Grace berkenan membaca dan meluangkan waktu untuk menuliskan pesan di blog saya. Sungguh saya bersyukur bahwa tulisan saya dapat menjadi berkat buat orang lain, terutama perempuan yang sedang menghadapi pergumulan yang sama.

    Menderita Adenomyosis memang sangat berat, apalagi kalau kita mendambakan anak. Saya mendoakan semoga mbak Grace bisa tetap sehat ya. Semoga ada jalan keluar yang terbaik untuk mbak Grace.

    Saya akan lanjutkan tulisan ini kok mbak, hingga nanti post-hysterectomy. Ditunggun ya.

    Salam,
    Dhita

    ReplyDelete
  3. halo kak dhita,
    sy senang akhirnya ad orang yang dengan lengkapny menceritakan pertarungan melawan adenomyosis.
    sy Selly, 24 thun, sy mulai mengalami heavy bleeding dan sakit luar biasa semenjak sy umur 18 th. pernah pingsan karena anemia.
    dan akhirny di vonis adenomyosis selama kurang lebih 1 tahun trkhir. tahun2 sebelumnya sy di sebut memiliki kista.
    sy mengikuti saran dokter mengikuti terapi hormonal dgn cara mnum pil KB, tetapi hnya bertahan 2 bulan (shrusny 3 bulan), lalu msih tetap bleeding walaupun rutin knsumsi pil KB.
    reading ur story made me cry. really cry like a big baby.
    sy harap, kt smua para pejaung adenomyosis bs sharing dlam 1 group, untuk pling tidak saling menguatkan dan merasa tidak sendirian,
    kalau kak dhita gk kbratan, sy boleh mnta wa ato line untuk sharing?
    makasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts