"Maukah Kamu Mati Untuk Aku?"

Sejak zaman saya masih kecil, saya paling trenyuh kalau membaca buku atau nonton film di mana salah satu tokohnya harus berkorban untuk orang yang dia cintai. Tidak harus dalam setting romantis, bisa dalam setting persahabatan, orangtua-anak, atau kakak-adik. Salah satu contohnya adalah di film Hocus Pocus, di mana seorang kakak mengorbankan dirinya untuk adiknya. Ceritanya sederhana dan filmnya ringan bergenre horor-komedi, tapi buat saya so sweet banget (duh bahasanya dobel-dobel, hahahah). Silakan tonton sendiri deh, saya tidak akan kasih detailnya di sini. Di tempat saya tinggal, film ini wajib putar di televisi menjelang atau pas hari Halloween.

Hal ini tentu saja membuat saya berpikir, mengapa ya kok saya selalu melt kalau ada kisah-kisah pengorbanan seperti ini? Rasanya pengen segera lari memeluk orang yang sudah rela berkorban tersebut, ingin melindunginya, ingin membahagiakannya setelah semua rasa sakit yang ia alami.

Setelah melalui berbagai pemikiran, saya sampai pada kesimpulan bahwa buat saya pengorbanan adalah bentuk tertinggi dari cinta. Mengapa demikian? Karena berkorban itu tidak enak, berkorban itu sakit. Mana ada orang mau merasakan sakit yang amat sangat kalau ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk menanggungnya?

Saya sendiri menggunakan filter ini ketika mempertimbangan calon suami. Saya tidak meminta dia berkorban buat saya, tapi saya amati bagaimana dia bersikap dan bertindak dalam kesehariannya, terutama yang menyangkut saya atau orang-orang terkasihnya. Apa yang saya lihat turut berperan dalam keputusan saya untuk menikah dengannya.

Meski saya kenal betul karakter suami yang memang sangat sayang dan protektif pada orang-orang terkasihnya, saya sering jahilin dia juga. Suatu hari saya bertanya padanya:

"Brendon, maukah kamu mati untuk aku?"

Dia hanya menatap saya dengan pandangan jenaka nan curiga, terus nanya balik,

"Hmm.....kamu lagi bikin rencana apa, heh?"

Dia tahu saya rajin menyimak serial dokumenter Forensic Files yang isinya mengungkap kasus-kasus pembunuhan. Semua dibahas, mulai bagaimana mendapatkan bukti, menganalisa bukti, dan mengambil kesimpulan. Dia bilang (bercanda, tentu saja) kalau hobi saya yang satu ini bikin dia nervous, karena bisa-bisa saya jadi tergoda untuk bunuh dia.

"Nggak ada rencana apa-apa. Aku cuma ingin tahu apa kamu cukup mencintaiku untuk mati untukku."

Saya kira dia akan mulai mbanyol lagi, tapi dia menjawab dengan cukup serius, meski tentunya masih dengan senyumnya yang alamak bikin saya klepek-klepek,

"I want to live for you, darling." (terjemahan: "Aku mau hidup untukmu, sayang.")

Saya tidak ingat persis apa dia yang menjelaskan ini ataukah saya sendiri yang memikirkannya, tapi saya memahami bahwa mati itu (relatif lebih) gampang, hidup itu sulit. Kalaupun dia mau mati buat saya, matinya hanya sekali, dan setelah itu dia tidak ada urusan lagi dengan saya. Kalau ia mati, selesai semuanya.

Kita semua tahu hidup itu tidak mudah. Banyak tantangan, penderitaan, dan tangisan di sela-sela kegembiraan dan sukacita. Dengan mengatakan bahwa dia ingin hidup buat saya, dia mengambil jalan yang lebih sulit daripada mati untuk saya. Dia mau menanggung beratnya hidup bersama saya yang tidak sempurna ini, bekerja keras untuk kehidupan kami, mengutamakan diri saya daripada dirinya sendiri......intinya dia mau menanggung sakitnya berkorban setiap hari untuk saya. Kok mau-maunya sih menanggung derita buat saya? Ya karena dia sayang saya. Dia ingin saya bahagia. Sesederhana itu.

Saya yakin suami saya mau mati buat saya kalau memang situasinya menuntut demikian. Saya bisa yakin begini karena dalam kehidupan keseharian dia tidak pernah ragu untuk berkorban buat saya, sesuai dengan apa yang sudah dia katakan. Buat saya, berkorban "nyawa" tidak harus berarti kehilangan nyawa alias mati secara fisik, tapi mematikan keinginan dirinya sendiri untuk orang yang dikasihi.

Bagaimana saya merespon ini? Seperti yang sudah saya tulis di atas, saya sungguh ingin selalu meringkankan bebannya, membahagiakannya, tidak menuntut, ingin nurut, ingin memeluk dan melindungi dia agar dia tidak perlu berkorban begitu besar buat saya. Saya juga ingin bisa berkorban untuknya, meski saya akui saya belum bisa melakukannya setaraf yang dia lakukan.

Semoga tulisan pendek ini bisa menjadi renungan buat kita semua ya.............



"Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." ~ Yohanes 15:13




Comments

Popular Posts