Dirimu Satu! (3) : Perjuangan Bagi Indonesia

Lelah 'ku berjalan
Entah untuk apa
Kudustai diriku pula 
Di dalam gelap terjatuh daku
Semuanya semu!


"Dirimu Satu" ~ Perjuangan Pianis
Hari pertama latihan, kami diberi partitur lagu-lagu yang akan menjadi lagu andalan kami di 1998 International Youth Chorus Festival. Dalam festival tersebut, setiap tim harus membawakan dua lagu: satu lagu populer, satunya lagi lagu daerah/folk song negara bersangkutan.


Kami disodori partitur lagu "Dirimu Satu" sebagai lagu andalan utama. Melihat pergerakan chord-nya saja saya sudah mau nangis. Modulasi di mana-mana. Belum lagi mengeluarkan style reggae-nya. Saya melihat adik-adik juga pada stress melihat bagian masing-masing. Lagu ini sulitnya tingkat dewa baik buat penyanyi maupun pianis!

Lagu kedua kami adalah sebuah medley tiga lagu daerah: Mariam Tomong (Aceh), Cublak-cublak Suweng (Jawa Tengah) dan Tardigadingdangdo (Sumatera Utara). Sebagai pianis saya harus memikirkan iringannya berikut transisi dari satu lagu ke lainnya, termasuk pergantian kuncinya. Gimana nggak mau nangis?

Sebagai catatan, saya ini berlatar belakang organ/electone. Meskipun saya sudah sering mengiringi paduan suara di piano sejak SMA, tetap saja saya tidak percara diri. Apalagi saya berada di bawah bayang-bayang pianis-pianis hebat tahun-tahun sebelumnya yang beberapa saya kenal secara pribadi. Mereka semua pianis beneran, alias latar belakangnya memang piano. Saya merasa saya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka semua. Kalau ada satu hal yang katanya adalah kelebihan saya, itu adalah "nurut", alias saya mudah sekali mengikuti pimpinan dan keinginan dirigen serta alur lagu yang dinyanyikan oleh tim. Selain itu, katanya, permainan piano saya, meski mungkin sederhana, sangat berjiwa.

Untuk memperdalam kemampuan improvisasi iringan paduan suara, saya mengambil les pada salah seorang teman yang juga pianis Tim Paduan Suara Remaja Jawa Timur 1994, mbak Patrisna Widuri. Kemampuan beliau yang luar biasa berikut pengalaman beliau di festival yang sama memberikan saya banyak masukan dan insight akan apa yang harus saya persiapkan/lakukan dalam menjalankan peran saya sebagai pianis.

Wajah Perjuangan!
Selain kedua lagu utama, kami mempersiapkan sekitar 23 lagu lain, meliputi lagu daerah, lagu pop, dangdut, hingga lagu dari negara-negara peserta lainnya, termasuk Jepang tentu saja. Saya harus memikirkan semua iringan karena tidak ada satu pun yang ada partitur pianonya!!

Saya harus pandai-pandai mengatur waktu antara latihan 25 lagu dan kuliah saya di bidang teknik yang tidak mudah. Banyak tugas besar yang harus selesai tepat waktu. Saya tidak mau indeks prestasi (IP) saya jeblok lagi, setelah IP mengenaskan semester pertama akibat acara pengkaderan di kampus. Setiap ada waktu luang, saya gunakan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Tidak ada waktu bersantai sama sekali!


Perjuangan Untuk Berlatih
Berlatih di kala negara sedang dalam keadaan kritis bukanlah perkara gampang. Memasuki bulan Mei 1998, kondisi negara semakin tidak kondusif. Demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto semakin marak di seluruh Indonesia, termasuk di Surabaya. Banyak kompleks perumahan menetapkan jadwal ronda, memasang palang penutup di mana-mana. Apalagi setelah terjadinya Kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan pembakaran toko, penjarahan, pemerkosaan hingga pembunuhan terhadap etnis Tionghoa di Jakarta.


Meski saya sudah mahasiswa, saya masih diantar Ibu ke tempat latihan yang cukup jauh dari rumah. Memasuki bulan Mei, seringkali kami berangkat latihan dengan rasa takut dan gentar. Jalanan sangat sepi dan gelap, banyak jalan ditutup sehingga kami harus mencari jalan alternatif yang lebih gelap dan sepi, panser di mana-mana, tumpukan ban, bahkan yang terbakar dapat ditemui di sudut-sudut jalan tertentu, pagar kawat berduri berjejer di pinggir jalan. Kota Surabaya, meski terbilang aman, tetap mencekam juga suasananya. Mirip zona perang. Kami hanya berdua, sama-sama perempuan, harus melawan rasa takut dan menantang bahaya demi bisa berlatih untuk membawa nama negara. Siapa yang tahu kalau di tengah jalan kami dicegat penjarah, atau lebih buruk, diperkosa atau dibunuh? Itu baru berangkatnya ya. Pulangnya lebih malam lagi, dan suasananya lebih ngeri lagi. Saya yakin Ibu saya juga takut, namun beliau tetap menampakkan wajah yang tenang dan pasrah. Niat kita baik, kata beliau. Kita berjuang untuk negara, Tuhan yang akan jaga, tidak perlu takut.

Sehari menjelang mundurnya Presiden Soeharto, kondisi negara semakin kritis. Saya ingat betul begitu belok ke jalan Jagir Wonokromo (di mana kantor dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur berada), nampak deretan bis Damri berusaha kembali ke "markas" mereka, persis di sebelah kantor dinas PDK. Kami nyaris tidak bisa masuk ke halaman kantor. Ini sungguh sangat tidak biasa. Suasana begitu tegang, namun kami harus tetap berlatih.

Ketika akhirnya Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya dan menyerahkan kepemimpinan Indonesia pada wakilnya, B.J. Habibie, pihak PDK meliburkan latihan selama seminggu. Masa-masa mencekam ini membuat kami sendiri tidak yakin apa kami akan bisa berangkat nantinya. Amankah kondisi kota untuk kami kembali latihan? Amankah kondisi negara untuk kami berangkat ke Jepang? Apa bandara akan buka? Apakah tim ini akan dilanjutkan?


(bersambung)

Comments

Popular Posts