Upacara Adat dan Resepsi Pernikahan: Perlukah?

Berhubung banyak teman penulis menikah akhir-akhir ini, penulis jadi ingin menulis sesuatu tentang pernikahan. Selain latah, penulis ingin sekalian mengenang pernikahan penulis sendiri....hehehehe.... Yang akan saya bicarakan kali ini adalah tentang upacara perkawinan adat dan resepsi pernikahan.

Ketika saya dan suami memutuskan menikah, kedua hal ini juga menjadi pertanyaan kami. Buat kami pribadi sih, yang penting sah secara agama dan negara saja sudah cukup. Bukankah itu yang paling penting? Apalagi upacara adat dan resepsi itulah yang biasanya paling menyerap waktu, tenaga dan biaya dalam suatu acara pernikahan. Bagaimana kami memutuskannya?


Upacara Pernikahan Adat
Begitu saya memutuskan untuk menikah, Ibu saya mengingatkan kembali akan sebuah prinsip yang selalu beliau ajarkan pada kami semenjak kami masih kecil:


"Setinggi-tingginya pendidikan dan karirmu, sejauh-jauhnya kamu merantau, di manapun kamu tinggal di muka Bumi ini, siapapun yang kamu nikahi, tidak akan bisa menghapus fakta bahwa kamu adalah orang Bali. Sebagai orang Bali, kamu terikat pada nilai-nilai moral, adat dan tradisi yang tidak dapat kamu abaikan begitu saja. Dhita, jangan pernah lupa bahwa kamu adalah orang Bali."

Intinya sih, jangan pernah lupa pada akar saya, jangan pernah lupa kacang pada kulitnya. 

Glek!

Keluarga saya cukup unik menurut saya. Ayah dan Ibu saya menanamkan rasa cinta dan hormat pada budaya tradisinonal sejak kami kecil; namun juga menanamkan pikiran yang terbuka dan rasa nasionalisme yang kuat. Perpaduan yang menurut saya sangat bagus. Saya kagum bagaimana mereka bisa melakukannya!!!

Interior rumah kami dipenuhi karya seni dari dua budaya: Bali (ayah) dan Jawa (ibu). Bahkan, atap rumah kami berbentuk joglo (atap rumah tradisional Jawa) yang merupakan perpaduan joglo Jawa dan Bali. Orang tua saya sendiri yang mendesainnya. Selain itu, profesi Ibu saya sebagai perias pengantin dan perencana pernikahan membuat saya sangat familiar dengan prosesi pernikahan adat (berikut filosofinya) dan busana-busana adat seluruh Nusantara.

Ketika saya dan suami akan menikah, pesan Ibu tersebut kembali terngiang. Calon suami saya adalah seorang Warga Negara Asing (WNA), sehingga kalau saya mau, sebenarnya saya bisa saja mengabaikan upacara adat atas nama toleransi pada suami yang berasal dari budaya lain.

Setelah melalui pembicaraan panjang dengan keluarga saya dan keluarga suami, kami memutuskan bahwa kami akan melakukan upacara adat yang diperlukan untuk saya. Apa yang menjadi alasan kami melakukannya?

Saya adalah orang Bali. Itu saja sudah cukup untuk kami melakukan upacara ini. Saya sebagai orang Bali ingin menunjukkan rasa cinta, bangga dan hormat saya pada asal-usul saya, pada tradisi budaya saya, juga pada keluarga besar saya di Bali. Saya ingin melakukan apa yang benar: saya masuk ke dalam keluarga ini dengan baik-baik dan disambut dengan sukacita ketika saya lahir; maka sayapun ingin 'meninggalkan' keluarga besar ini dengan baik-baik dan dihantarkan memasuki kehidupan pernikahan dengan sukacita pula.

Saya sungguh bersyukur keluarga suami pun memiliki pemikiran yang sama. Mereka menyatakan akan mengikuti semua prosesi yang diperlukan untuk meminang saya menjadi menantu mereka. Mereka datang ke desa saya di Bali dan mengikuti semua rangkaian upacara yang diwajibkan. Bahkan Ayah mertua, dengan mengenakan busana Bali, mengajukan pinangan secara resmi kepada keluarga besar saya: kakak laki-laki saya (mewakili Ayah saya yang sudah berpulang), ibu saya, serta para tetua keluarga besar Ayah saya. Menambah kesan haru adalah fakta bahwa semua ini dilakukan di rumah kelahiran dan masa kecil Ayah saya, di sebuah desa di utara Bali.

Dulu saya anggap ini adalah hal yang memang sudah seharusnya kami lakukan. Namun sekarang saya bisa melihatnya dari sisi yang lain. Bali adalah bagian dari identitas saya. Dengan melakukan semua upacara ini, saya sebenarnya sedang menjadi diri sendiri. Respon keluarga suami yang bersedia datang ke sebuah desa kecil di Bali untuk meminang saya dan melakukan seluruh rangkaian upacara, saya pandang sebagai sebuah kehormatan bagi saya dan keluarga: bahwa mereka mengakui, menerima dan menghargai siapa diri saya seutuhnya, termasuk ke-Bali-an saya.

Mungkin ada yang berkata: tapi mbak, adat kan ribet dan mahal.

Tidak saya pungkiri memang demikian adanya. Tapi kalau saya pikir-pikir, adat tercipta bukan hanya untuk satu golongan tertentu (golongan yang mampu), tapi bagi seluruh kalangan masyarakat. Berdasarkan pengalaman saya mendampingi Ibu saya merias pengantin, saya mengetahui bahwa sebagian dari rangkaian upacara adat tersebut sebenarnya bisa disesuaikan dengan anggaran pengantin. Memang dalam kasus saya (dan banyak kasus lain) ada hal-hal yang tidak bisa ditawar-tawar, misalnya perihal sajen atau sesaji untuk upacara. Tapi yang lainnya masih bisa disesuaikan.

Ribet? Memang. Tapi, sekali lagi dalam kapasitas saya sebagai putri seorang perias pengantin, saya mulai bisa melihat filosofi atau makna di balik setiap rangkaian upacara. Maknanya sangat indah dan mendalam loh. Setiap kata dan gerakan dalam upacara memiliki arti dan pembelajaran bagi calon pengantin. Ketika saya sendiri menjalani upacara, saya berusaha untuk memahami apa filosofinya, dan memaknainya bagi perjalanan pernikahan saya ke depan.

Tips dari saya: jangan dilihat ribetnya. Lihatlah maknanya!

Ada manfaat lain loh kalau kita melakukan upacara adat. Kita ikut melestarikan budaya bangsa kita sendiri yang akhir-akhir ini semakin menghilang tergerus arus budaya luar. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya kita, siapa lagi?



Resepsi Pernikahan
Nah ini yang seru. Banyak kisah dan pro-kontranya. Saya tidak akan membahas pro-kontranya. Resepsi pernikahan itu sepenuhnya persoalan pilihan bagi calon pengantin dan keluarganya. Saya hanya mau cerita pengalaman saya memutuskan apakah saya akan mengadakan resepsi atau tidak.

Dulu, saya berkata kepada Ibu saya supaya saya tidak usah dibuatkan resepsi pernikahan. Cukuplah pernikahan secara adat dan agama. Apalagi pernikahan saya kan melibatkan dua negara, ini saja sudah memakan banyak tenaga dan biaya untuk mempersiapkannya. Tapi apa kata Ibu saya?

Beliau menerangkan bahwa tujuan resepsi pernikahan adalah berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kami sekaligus sebagai bentuk penghormatan kami pada mereka yang telah mendampingi dan mendukung perjalanan kami hingga saat itu. Bukan untuk pamer kekayaan atau jor-joran. Selain itu, sebagai seorang ibu beliau ingin menikahkan putrinya dengan layak. Beliau ingin menunaikan kewajiban beliau sebagai orang tua, tentunya sesuai dengan kemampuan beliau untuk melaksanakannya karena beliau adalah orang tua tunggal.

Maka kami tetap merencanakan resepsi pernikahan. Untuk menekan biaya, sebagian besar dari keperluan resepsi saya kami tangani sendiri. Seperti sudah saya ceritakan, Ibu saya adalah seorang perias pengantin sekaligus perencana pernikahan. Maka beliau sudah tahu persis apa yang harus dilakukan.

Baju pengantin dan resepsi saya beliau sendiri yang membuat pola dan memotong kainnya untuk kemudian dijahitkan ke penjahit andalan beliau. Untuk memasang payetnya beliau dan saya sendiri yang mengerjakannya. Suvenir pernikahan kami buat sendiri dengan tangan: setiap malam sepulang kantor saya, ibu dan kakak mulai sibuk memotong kain dan busa untuk membuatnya. Kakak saya yang seorang desainer dan fotografer mendesain undangan pernikahan saya serta menangani semua yang berhubungan dengan fotografi (pre-wedding, fotografi acara dan sebagainya). Paman saya memiliki band yang sering mengisi acara pernikahan, maka beliau mengambil alih urusan musik dan sound system. Rias dilakukan oleh Ibu saya sendiri. Hal ini menambah keharuan dan keintiman proses pernikahan dan resepsi saya, karena Ibu saya sendirilah yang merias saya pada hari pernikahan saya.

Saya sebagai calon pengantin terlibat langsung dalam proses mempersiapkan undangan serta mengantarkan undangan pernikahan. Undangan pernikahan saya didesain oleh kakak, dicetak oleh teman kakak, namun kami sendiri yang harus menghiasnya (menambahkan pita dan koin tembaga), mencetak nama dan alamat penerima serta memasukkannya ke dalam plastik. Sepulang kerja saya diantar teman naik motor keliling kota mengantarkan undangan.

Jadi sebenarnya, resepsi pernikahn sangat bisa disesuaikan dengan anggaran, apalagi kalau kita bersedia menanganinya sendiri meski tidak semuanya. Dalam kasus saya memang kami menangani sebanyak mungkin sendiri, namun tetap ada hal-hal yang harus kami serahkan ke orang lain, misalnya dekorasi, katering, cetak undangan, penjahit, dan rias untuk keluarga besar. Kami juga tidak asal menerima bantuan dari keluarga besar dan teman, kami tetap memberikan sesuatu sebagai ungkapan terima kasih atas bantuan mereka. Asal mau sedikit repot dan rela melakukan resepsi sederhana sesuai kemampuan, bisa kok kita menyelenggarakan resepsi yang berkesan.

Ada pula pasangan-pasangan yang memilih cara berbeda untuk membagi kebahagiaan. Saya pernah membaca ada pasangan pengantin di Kanada yang mendonasikan seluruh anggaran resepsinya untuk para pengungsi konflik Timur Tengah yang menerima suaka di Kanada (baca beritanya di sini.). Meskipun beda bentuknya, motivasi yang mendasarinya tetap sama: berbagi kebahagiaan.



Jadi kesimpulannya bagaimana? Untuk saya pribadi, jawabannya sudah jelas. Untuk pembaca, sesuaikan dengan hati nurani dan kemampuan masing-masing ya!



Comments

Popular Posts