Aku dan Adenomyosis (3): Pergumulan Batin

Kira-kira bagaimana kondisi mental dan emosional saya menghadapi semua ini? Bagian 3 dari serial Aku dan Adenomyosis ini akan memaparkan isi hati saya; curahan hati saya sejujur-jujurnya tanpa sensor. Saya berharap hal ini dapat membantu pembaca untuk memahami perasaan seorang perempuan yang mengalami hal yang sama atau yang tidak dapat memiliki keturunan.

Bagaimana Rasanya?
Campur aduk. Saya akan coba menggambarkan beberapa rasa yang dapat saya identifikasi selama saya menghadapinya:


Rendah diri. Saya lahir dan dibesarkan di Indonesia; di dalam lingkungan budaya yang menjunjung tinggi peran perempuan untuk hamil, melahirkan dan membesarkan anak. Seolah-olah peran tersebut adalah kewajiban yang menentukan nilai, harga diri, kelengkapan, kebahagiaan serta kepenuhan hidup seorang perempuan. Tanpanya,diri perempuan dan hidupnya tidak lagi ada artinya.

Begitu saya menerima diagnosis dan mengalami sendiri efek penuh dari adenoyosis, rasa rendah diri langsung muncul di dalam hati. Saya sebenarnya bukan tipe perempuan penganut paham 'tanpa anak perempuan tidak ada nilainya' (bisa dibaca di tulisan saya di sini). Namun karena saya tumbuh besar di lingkungan di mana paham tersebut cukup populer, sedikit banyak ada pandangan-pandangannya yang masuk ke dalam diri saya. Ketika saya lemah, suara-suara negatif paham tersebut mulai terngiang di telinga saya.

Hati saya mulai menuduh saya:

"Kamu perempuan tidak berguna!"
"Kamu tidak akan pernah sebahagia teman-temanmu!"
"Sepintar-pintarnya kamu, setinggi-tingginya pendidikan dan karirmu, sebaik-baiknya kamu jadi orang; tanpa anak semua itu tidak ada artinya!"
"Sekarang hidupmu sudah tidak ada artinya lagi!"
"Kamu itu barang rusak!"

Terdengar kasar? Inilah yang saya hadapi hampir setiap hari. Awalnya saya kuat, tapi lama-kelamaan pertahanan diri saya runtuh. Semua tuduhan ini membuat saya merasa menjadi perempuan yang hina, tak berguna, merana, dan tidak ada seorangpun yang akan mencintai dan menginginkan saya.

Bersalah. Saya merasa bersalah pada suami dan keluarga besarnya; bahwa saya tidak dapat memenuhi harapan mereka untuk dapat menimang anak/cucu. Karena kelemahan sayalah mereka harus melepaskan impian tersebut. Bagaimana pula dengan Ibu dan keluarga saya? Kondisi saya yang seperti ini pasti membuat beliau sedih dan panik karena putrinya menderita, serta kecewa karena saya tidak dapat memberinya cucu. Bagaimana pula pandangan masyarakat akan beliau, bahwa beliau memiliki putri yang tidak dapat memberikan keturunan?

Ada pula satu sisi diri saya yang menuduh saya demikian: bahwa semua musibah ini terjadi karena dosa atau kesalahan saya di masa lalu. Bahwa ini adalah hukuman atas dosa-dosa saya. Bahwa ini adalah akibat perbuatan dan pilihan saya yang salah. Dengan kata lain, hati saya menuduh saya:

"Ini semua salahmu!"

Takut Ditinggalkan dan Dibuang. Saya mengetahui bahwa suami dan keluarga besarnya mencintai dan menerima saya apa adanya. Namun perasaan rendah diri dan bersalah tersebut mau tak mau membuat saya takut. Apakah suami saya akan meninggalkan saya dan menikahi perempuan lain yang dapat memberinya anak? Masihkah keluarganya bisa menerima saya yang telah menghancurkan impian mereka? Bagaimana pula dengan masyarakat, khususnya di Indonesia yang sebagian masih memegang teguh prinsip 'perempuan tanpa anak adalah perempuan tanpa nilai'? Masihkah mereka bisa menerima saya sebagai bagian dari mereka? Ataukah mereka akan membuang dan mengucilkan saya, karena saya dianggap tidak dapat memenuhi standar nilai seorang perempuan?

Kehampaan. Dengan dieliminasinya impian saya untuk memiliki anak, masa depan saya terlihat gelap, kosong dan hampa. Saya tidak tahu lagi apa gunanya saya hidup selain bekerja, bayar tagihan, lalu mati. Tidak ada lagi yang saya tunggu-tunggu, yang saya harap-harapkan.

Setiap kali saya melihat foto mesra teman di media sosial, foto pernikahan, atau foto keluarga, saya merasa hati saya sakit. Mungin ini rasanya 'hati diiris sembilu'. Memang sangat perih, dan seolah perihnya dapat saya rasakan secara fisik. Mereka terlihat sangat bahagia. Mereka yang akan dan baru menikah memiliki harapan yang besar dan cerah akan masa depan mereka. Mereka mengharapkan kebahagiaan berdua, kemudian hamil, memiliki anak, menikmati membesarkan anak dan setiap momen istimewa di dalamnya. Mereka akan memiliki banyak hal yang akan mereka lakukan bersama untuk mewujudkannya dan menjalaninya. Hidup mereka memiliki tujuan dan arti.

Sementara saya? Semua itu telah diambil dari saya. Lalu, apa lagi yang saya harapkan untuk saya wujudkan di masa depan? Agenda masa depan saya kosong melompong. Ketika saya melihat ke depan, yang terlihat hanyalah kegelapan dan kekosongan. Tidak ada harapan.

Berusaha mencari nilai diri. Karena 'nilai diri seorang perempuan yang utama' telah diambil dari saya, saya berusaha membuat diri saya bernilai dan berguna. Seperti orang yang berusaha untuk tidak tenggelam menggerakan tangan dan kakinya kesana kemari di dalam air sambil mengangkat kepalanya, saya dengan panik berusaha melihat apa yang saya miliki atau kegiatan-kegiatan saya yang dapat memberi nilai pada saya. Semua upaya saya itu berteriak tanpa suara:

"Saya punya ini, saya bisa ini, saya melakukan ini, tolong akui bahwa saya masih memiliki nilai dan hidup saya masih memiliki arti!!"

Anda merasa hal ini sangat menyedihkan? Memang sangat menyedihkan. Ngenes. Saya saja merasa sangat sedih menuliskan ini. Ngomong-ngomong, maaf sedikit out of topic, kira-kira ada nggak ya orang-orang yang secara tersembunyi meneriakkan hal yang sama melalui berbagai post mereka di media sosial?

Mengasihani diri sendiri. Setelah dibombardir dengan tuduhan-tuduhan hati yang tidak ada henti-hentinya, saya mulai memercayai semuanya itu. Akibatnya, saya selalu memperkatakan hal-hal yang negatif pada diri saya dan membuat saya kasihan pada diri saya sendiri.

"Kamu memang tidak berguna. Kasihan ya, hidupmu jadi merana begini."
"Kamu kan sudah rusak, sudah jangan berharap ada yang mau mencintai dan menerimamu."
"Terima saja nasibmu memang begini. Apa lagi yang bisa kamu lakukan?"


***


Mentok Emosional di Malam Setelah Transfusi
Berhubung saya tidak tahu terjemahan yang baik dari frase bahasa Inggris "hitting rock bottom" maka saya pakai kata mentok. Intinya adalah bahwa saya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya, tidak bisa jatuh lebih rendah lagi.

Transfusi darah saya di rumah sakit hanya berlangsung sekitar 4-5 jam saja dan setelah itu saya diperbolehkan pulang. Malam itu Ibu saya menelepon saya. Beliau  menyatakan bahwa beliau sedih dan khawatir dengan kondisi saya. Meskipun beliau kecewa saya tidak jadi pulang, beliau tetap bersyukur bahwa semua itu terjadi untuk kebaikan saya; bahwa Tuhan telah mengaturkan semua ini untuk menyelamatkan nyawa saya dan menjaga kehidupan saya.   

Selesai berbicara dengan Ibu, saya menangis. Kata-kata beliau tersebut membuat saya meneriakkan protes keras saya kepada Tuhan:

"Tuhan, saya tahu apa yang Ibu saya katakan itu benar adanya; bahwa Engkau telah mengatur segalanya untuk menyelamatkan nyawa saya. Tapi Tuhan, Engkau tahu bahwa kecil kemugkinan saya untuk memiliki anak. Hidup saya sudah tidak ada artinya lagi. Mengapa Engkau masih menyelamatkan nyawa saya? Untuk apa Engkau menjaga hidup saya? Mengapa tidak Engkau biarkan saja saya sehingga saya dapat pulang ke rumahMu?"

Saya bukannya suicidal atau ingin bunuh diri di sini. Saya hanya menyampaikan kondisi saya saja yang, dalam logika saya yang sudah compang-camping dihajar badai mental-emosional yang saya ceritakan di atas, seharusnya sudah dibolehkan pulang ke rumahNya karena sudah tidak ada tugas lagi di dunia. Bukankah itu inti pandangan 'perempuan tanpa anak adalah perempuan tanpa nilai'? Ibarat produk gagal atau cacat di pasaran, bukankah saya ini seharusnya di-recall (ditarik kembali) oleh Produsen Agungnya?

Malam itu saya tidur dalam deraian air mata.


(bersambung)



Comments

Popular Posts