Aku dan Adenomyosis (4): Cahaya dalam Gelap

Catatan Penulis: Tulisan ini bercerita tentang bagaimana saya menghadapi gejolak mental dan emosional sepanjang proses diagnosis hingga saat ini. Karena saya seorang Kristiani, maka saya menghadapinya sesuai dengan iman Kristiani saya. Meskipun demikian, saya berharap pendekatan yang saya lakukan dapat diterapkan sesuai dengan iman pembaca.


Satu hal yang saya syukuri dalam diri saya adalah karakter saya yang cenderung memberontak dan ngeyel. Karakter 'pemberontak' sering dianggap negatif, tapi dalam situasi ini karakter inilah yang membuat saya bertahan! Saya tidak akan menyerah sebelum memberikan perlawanan habis-habisan untuk apa yang saya yakini. Dalam hal ini saya meyakini bahwa diri saya berharga dan dicintai apa adanya saya. Maka, segala rasa dan suara negatif dalam diri saya harus bersiap-siap menghadapi serangan balik dari saya!

Mencari Kebenaran
Saya meyakini bahwa tidak semua yang kita dengar dan rasakan itu benar. Saya harus benar-benar mengujinya dengan fakta di lapangan dan Kebenaran Yang Sejati, yakni Firman Tuhan. Karena saya seorang Kristiani, maka saya bersandar pada kebenaran Alkitab. Ternyata metode ilmiah bisa juga ya diterapkan di hal-hal seperti ini!

Fakta pertama yang ingin saya ungkap kebenarannya adalah pendapat suami, keluarganya dan keluarga saya akan kondisi saya. Setelah saya tanya dan telaah secara pribadi dan mendalam, mereka semua menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak mempermasalahkan kalau sampai saya tidak dapat memiliki anak. Selain melalui perkataan, cinta kasih mereka pada saya bersinar begitu terang dan indahnya di masa-masa tergelap saya: ketika pertama kali datang ke dokter, ketika mendapatkan diagnosis, ketika pendarahan hebat di UGD, masa-masa pemulihan ketika saya bed rest, ketika harus transfusi dan membatalkan penerbangan, ketika saya menangis dalam kesunyian. Cinta, penerimaan dan perlakuan mereka pada saya tidak berubah sedikitpun.

Mereka juga menegaskan bahwa saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya tidak pernah memilih untuk menderita adenomyosis. Saya tidak pernah memilih untuk tidak memiliki anak. Semua itu terjadi karena hal-hal di luar kendali saya. Suami saya menegaskan bahwa ia tetap mencintai saya apa adanya dan tidak akan meninggalkan saya. Kedua keluarga besar mengatakan bahwa kesehatan dan kebahagiaan kami berdua lebih penting bagi mereka daripada keinginan menimang cucu. Mengenai omongan orang, saya tidak punya kendali juga atas hal itu. Yang dapat saya kendalikan adalah respon saya. Anjing menggonggong, khafilah berlalu.


Nilai Diri
Pergumulan saya yang paling berat adalah soal nilai diri. Saya harus berjuang melawan paham 'perempuan tanpa anak, perempuan tanpa nilai'. Seringkali, terutama pada malam hari, saya tidak tahan menghadapi gempuran tuduhan batin saya tersebut. Yang dapat saya lakukan hanyalah mengambil Alkitab saya, masuk ke dalam ruang ganti baju, menutup pintunya, kemudian berlutut dan menangis sejadi-jadinya.

Tanpa saya sadari, inilah peperangan saya yang sesungguhnya. Senjata saya hanyalah iman dan Firman (Ef. 6:10-18).

Saya berkata padaNya secara jujur dan blak-blakan, bahwa saya mengalami perasaan hancur dan rendah diri karena saya tidak memiliki anak. Saya merasa bahwa karena kondisi tersebut saya tidak lagi memiliki nilai sehingga orang akan mencintai dan menginginkan saya.

Tak lama setelah curhatan saya, saya diingatkan bahwa meskipun saya tidak punya anak, Tuhan telah memberikan Putra TunggalNya untuk mati bagi saya, untuk menebus dosa dan kesalahan saya (Yoh 3:16). Saya? Yang tidak bernilai karena tidak punya anak? Tuhan masih mencintai saya dan menganggap saya sangat berharga sampai putraNya diutusnya untuk mati bagi saya? Beneran?

Meskipun ajaran tersebut saya dengar di gereja setiap minggu, hari itu saya seperti mendapatkannya dalam format yang lebih pribadi, khusus ditujukan untuk saya. Cinta dan penerimaan tanpa syarat tersebut telah menyentuh hati saya, bagaikan air yang mengaliri tanah yang kering dan retak-retak.


Identitas
Ketika saya sedang mencari identitas, saya teringat akan salah satu acara televisi, yaitu "Long Island Medium". Acara tersebut menampilkan seorang medium atau orang yang dapat berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Episode yang kebetulan saya tonton menampilkan seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya karena kecelakaan. Sang Ibu ingin mengetahui apakah anaknya baik-baik saja di alam sana.

Kata-kata sang Ibu tidak akan pernah saya lupakan.

"Sejak kepergian anak saya, saya tidak kenal lagi siapa diri saya. Saya adalah ibu si A; itulah identitas saya. Setelah kepergiannya saya benar-benar kehilangan jati diri."

Seperti itulah kira-kira yang saya rasakan ketika saya divonis adenomyosis. Saya tidak kenal diri saya lagi. Saya tidak lagi punya visi, misi, impian, dan semangat dalam menjalani hidup. Saya dengan panik mencoba mencari identitas dan nilai diri yang baru dari segala yang saya miliki dan kegiatan-kegiatan saya, namun perkataan ibu tersebut selalu mengingatkan saya bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Bila kita meletakkan identitas dan nilai diri kita pada hal-hal duniawi yang dapat diambil dari kita dalam sekejap mata, maka hilanglah juga identitas dan nilai diri kita.

Manusia dapat mati atau berubah hati. Tubuh kita akan menua dan mengalami sakit penyakit. Proyek akan berakhir. Pekerjaan dapat hilang. Harta dapat musnah. Nama baik dapat menjadi nama buruk dalam sekejap. Bencana alam dapat memporak-porandakan hidup kita dalam hitungan detik. 

Maka saya bertanya kepada Tuhan, "Lalu, di mana atau kepada siapakah seharusnya identitas dan nilai diri saya ini saya letakkan, Tuhan?"

Jawabnya sudah jelas kan? Pada sesuatu atau Pribadi yang abadi, yang bersifat tetap dan tidak pernah berubah, yang tidak akan dapat diambil dari kita.

Tuhan sendiri.

Siapakah saya di dalam Dia? Saya adalah mahakaryaNya, yang diciptakanNya dengan penuh kasih, diciptakanNya secara khusus untuk suatu tujuan yang mulia demi kemuliaanNya sendiri. Saya adalah putriNya, yang dicintaiNya, dipeliharaNya, dilindungiNya, dididik dan didisiplinkanNya, didampingiNya ke manapun saya pergi dan apapun yang saya lakukan atau hadapi. Saya adalah hambaNya, diciptakan untuk melakukan kehendakNya demi kebaikan saya dan kemuliaanNya. Saya adalah umatNya, yang ditebusNya dengan darahNya yang mahal.

Saya adalah milikNya.

Saya tidak punya anak? Saya tetap milikNya dan tetap diterima olehNya. Saya tidak lulus ujian? Saya tetap milikNya dan dikasihiNya. Saya gagal menahan amarah/iri hati/dengki/nafsu (makan)? Saya tetap milikNya, diampuniNya dan dibimbingNya menjadi lebih baik. Saya tidak punya uang dan harta? Saya tetap milikNya dan tetap dipeliharaNya dengan caraNya sendiri. Saya menangis bombay di dalam ruang ganti baju? Saya tetap milikNya dan dihibur sendiri olehNya. Identitas ini tidak akan pernah berubah bagaimanapun kondisi saya.


'Kosong'
Sejak diagnosis saya, masa depan saya terlihat kosong. Agenda masa depan tidak ada isinya sama sekali. Maka saya bawa masa depan yang kosong ini ke hadapanNya.

"Tuhan, masa depan saya kosong. Tangan saya kosong. Hati saya kosong. Hidup saya kosong."

Kelembutan Ilahi menyelimuti hati saya, dan saya merasakan damai yang tidak dapat saya jelaskan. Saya heran juga: sejak kapan masa depan yang 'kosong' menjadi sesuatu yang baik dan membuat kita merasa damai? Namun hari itu saya mengerti, justru dengan kosongnya masa depan dari rencana-rencana, agenda-agenda, keinginan dan impian saya, Tuhan akan lebih leluasa untuk mengisinya dengan rencanaNya, agendaNya, keinginan dan impianNya untuk kebaikan saya. Syaratnya hanya satu: bahwa saya menyerahkan kekosongan tersebut padaNya.

Tangan saya yang kosong akan diisiNya dengan hal-hal yang Dia ingin saya kerjakan. Hati saya yang kosong akan diisiNya dengan hatiNya bagi saya dan sesama manusia. Hidup saya yang kosong akan diisiNya dengan Sang Hidup, yakni diriNya sendiri.

Saya seperti dibebaskan dari beban untuk mengisi masa depan dan hidup saya; dari perjuangan, kengototan dan gemeretak gigi untuk mencapai masa depan sesuai dengan keinginan saya. Saya merasa bahwa masa depan saya itu bukan untuk dicapai (achieved), tapi untuk diterima (received) dari Sang Maha. Hanya dengan kekosonganlah saya dapat menerima masa depan yang telah direncanakanNya bagi saya.


"Mengapa Engkau Menyelamatkan Nyawa Saya?"
Pertanyaan ini saya lontarkan pada malam setelah transfusi darah. Suami saya, yang mendengarkan tangisan saya dan mengetahui pergumulan saya, hanya menjawab bahwa pasti ada alasannya. Saya akhirnya tidur sambil berurai air mata.

Saya secara pribadi tahu bahwa Tuhan pasti punya rencana. Namun dalam sakitnya tubuh dan hati saya hari itu, saya tidak dapat mengimani hal ini. Saya terus saja mempertanyakan alasan Tuhan menyelamatkan nyawa saya.

Seusai kebaktian Natal, saya berbicara dengan salah satu pastor musik sekaligus tetua di gereja saya. Beliau mengetahui kondisi saya karena saya melayani di gereja dalam tim musik di bawah pimpinannya. Kami berbicara banyak, dan perkataan-perkataan kebenaran dari beliau membuat saya akhirnya menangis di gereja.

Intinya, Tuhan menyelamatkan saya karena Dia mengasihi saya. Dia punya rencana yang indah buat saya dan buat orang-orang yang ditempatkanNya di sekeliling saya. Pastor saya tersebut meminta saya untuk melihat mata, senyuman bahkan pelukan murid-murid saya yang datang dengan sukacita untuk belajar musik, untuk melihat umat yang kami pimpin dalam puji-pujian, untuk melihat suami yang mencintai saya tanpa syarat, untuk melihat wajah ibu dan keluarga saya...........di sanalah saya akan temukan sebagian alasan mengapa Tuhan menyelamatkan saya. Selama masih ada nafas di dalam dada saya, selama itu pula Tuhan menginginkan kehadiran saya di Bumi. Selama itu pula kehidupan di Bumi membutuhkan kehadiran saya.

Saya pikir, perkataan beliau sungguh luar biasa. Benar, saya memang tidak memiliki anak, tetapi saya memiliki sepasang lengan yang siap untuk memeluk. Saya memiliki sepasang telinga yang siap untuk mendengarkan keluh kesah mereka yang membutuhkan tanpa menghakimi. Saya masih punya tangan untuk berkarya, memberikan pertolongan dan melayani. Saya masih punya mata untuk melihat penderitaan orang lain. Saya masih punya kaki untuk berjalan berdampingan dengan sesama. Saya masih mempunyai mulut dan lidah untuk memperkatakan hal-hal yang positif, menghibur, menguatkan, mendorong, dan menginspirasi. Saya masih punya otak untuk berpikir dan berkreasi. Saya masih punya hati untuk mengasihi, bersimpati dan berempati. Tidak ada seorangpun yang tidak berguna di dunia ini.  Siapapun yang berkata sebaliknya harus mempertanggungjawabkan perkataan tersebut di hadapan Sang Hakim Agung.

Di akhir pembicaraan kami, pastor berdoa untuk saya.


 "Jadilah Padaku Menurut Perkataanmu Itu"
Perjalanan rohani saya yang panjang ini akhirnya membawa saya berlutut di hadapanNya dan berkata kepadaNya, mengutip kata-kata Maria ketika ia menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel:

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk 1:38)

Saya menyatakan bahwa saya memercayaiNya sebagai Tuhan dalam hidup saya. Saya mempercayakan masa depan saya ke dalam tangan kasihNya; saya percaya bahwa Dia akan merencanakan masa depan yang baik bagi saya. Saya menyatakan bahwa saya bersedia menerima jalan hidup yang Dia pilihkan buat saya; karena saya tahu bahwa Dia akan berjalan bersama saya di dalamnya. Yang saya inginkan dalam hidup saya adalah kehendakNya. Dengan maupun tanpa anak, saya berkomitmen untuk terus bercahaya bagiNya.


Saya Percaya Mukjizat
Ya, saya percaya mukjizat. Saya percaya bahwa Tuhan berkuasa untuk melakukan kehendakNya, meskipun di mata manusia hal tersebut tidaklah mungkin.

Saya percaya Tuhan sanggup memberikan kami anak meskipun saya menderita adenomyosis dan usia saya sudah cukup 'lanjut' untuk hamil dan melahirkan. Saya juga selalu berdoa meminta kesembuhan dan karunia anak.

Namun saya juga percaya bahwa Tuhan sanggup melakukan mukjizat lain yang tidak kalah hebatnya. Saya percaya Tuhan sanggup membuat hidup kami diwarnai cinta kasih, damai, bahagia, penuh, bermakna dan bermanfaat meskipun tanpa kehadiran seorang anak.

Seringkali saya berpikir bahwa mukjizat Tuhan itu berarti kita mendapatkan apa yang kita inginkan meskipun situasi berkata sebaliknya. Sekarang saya diingatkan bahwa kekuatan dan kedamaian di tengah badai kehidupan serta kebangkitan saya dari kehancuran batin juga merupakan mukjizatNya.

Mukjizat manapun yang Tuhan pilih untuk saya, saya siap menerima.


Dua Sisi Adenomyosis
Adenomyosis adalah musibah, namun ia juga adalah karunia. Jujur saya tidak (belum) bisa berkata dengan tulus bahwa adenomyosis adalah karunia. Karunia model apa yang mengecilkan peluang saya punya anak, membuat saya pendarahan sampai masuk UGD, dan akan menyiksa saya seumur hidup baik fisik maupun mental-emosional?

Namun diakui atau tidak, adenomyosis adalah jalan saya untuk menemukan kembali jati diri saya, untuk bertumbuh dalam kedewasaan, kebijaksanaan, dan pengenalan akan Tuhan. Melalui adenomyosis pula saya belajar untuk dapat melihat karunia-karunia luar biasa yang telah dikaruniakanNya dalam masa-masa sulit saya.

Adenomyosis juga telah memberikan platform bagi saya untuk berbicara pada sesama kaum perempuan (dan juga laki-laki) tentang apa itu fibroid, apa itu adenomyosis, bagaimana perasaan kami para perempuan yang tidak dapat memiliki keturunan di tengah budaya 'perempuan tanpa anak, perempuan tanpa nilai', dan bagaimana kami dapat menemukan jati diri yang sejati. Saya berharap pengalaman saya ini dapat menguatkan, menginspirasi, dan membuat perbedaan.

Justru dalam kegelapan yang paling gelaplah cahayaNya akan bersinar dengan gemilang.



***



Terima kasih kepada mas Aan P. Nirwana yang telah menuliskan kaligrafi kutipan favorit saya dan mengizinkan saya menggunakan fotonya di tulisan ini.





















Comments

Popular Posts