Traveling a la Dhita

Setiap orang memiliki gayanya sendiri dalam melakukan kegiatan traveling alias jalan-jalan. Ada yang suka gaya backpaker-an, ada yang suka ikut tour, ada yang suka jalan bareng temen kerja/sekolah/sesama WNI di luar negeri, ada yang suka nyetir keliling negeri, dan sebagainya.

Saya pribadi orangnya tidak terlalu suka traveling. Saya orang rumahan. Tapi ini bukan berarti saya sama sekali tidak ada minat untuk melakukan perjalanan loh ya. Sejak kecil saya ada keinginan untuk suatu hari bisa ke tempat-tempat tertentu seperti Salem (tempat pengadilan orang-orang yang dituduh penyihir) di Massachusetts, Amerika Serikat, Golden Gate di San Francisco, dan sebagainya. Ingin juga saya melihat dan merasakan salju. Ingin merasakan 4 musim. Ingin punya teman dari berbagai negara. Hanya saja, saya bukan tipe orang yang setiap ada libur harus traveling.

Pengalaman saya traveling ke beberapa tempat telah membentuk tipe traveling seperti apa yang paling memberikan rasa puas dan bahagia untuk saya. Seperti apa?

Mengutamakan hubungan dengan orang-orang terkasih
Melihat ke belakang, setiap kali saya melakukan perjalanan ke suatu tempat pastilah ada seorang teman/keluarga yang sangat dekat di sana. Tujuan utama sebagian besar perjalanan saya adalah untuk menemui orang-orang yang dekat di hati saya atau untuk menikmatinya bersama mereka. Misalnya, dulu ke Surabaya dan Bali untuk mengunjungi kakek-nenek, saudara, dan keluarga besar pada umumnya. Keluarga besar kami memang kompak abis. Kadang kami sengaja liburan bersama ke Bali atau Jogja. Dari sini terlihat bahwa fokus utama perjalanan bukanlah tempatnya, tapi bahwa kami menikmatinya bersama.

Saya ke Osaka, Jepang tahun 1998 sebagai duta bangsa bersama tim saya yang tercinta, namun di sanalah saya membangun sebuah persabahatan yang akhirnya membawa saya ke San Francisco, Amerika Serikat. Saya juga berteman dengan rekan kerja dari Inggris di Surabaya, yang akhirnya juga mengundang saya ke negaranya. Sahabat suami saya pernah mengundang kami ke Vietnam untuk menghadiri pernikahan salah satu sepupunya. Jadi bagi saya, bagian terpenting dari traveling adalah orang-orang terkasih.


 Traveling sebagai orang lokal
Saya tidak suka travling sendirian. Selain tidak ada yang diajak berbagi, tidak ada juga yang diajak diskusi. Mungkin juga karena saya takut tersesat...hahahah. Lucunya, meskipun saya tidak mengusahakannya secara khusus, hampir setiap ada acara traveling saya selalu tinggal di rumah penduduk lokal. Jadiya berasa homestay gitu. Ke Jepang, ada program homestay 3 hari bersama keluarga angkat setelah acara Festival Paduan Suara selesai. Ke Inggris, saya tinggal di rumah rekan saya tersebut bersama istrinya. Ke San Francisco, saya tinggal di rumah sahabat pena saya.

Mungkin ada yang berkata, kan bisa kita sekarang tinggal di rumah penduduk lokal melalui layanan AirBnB, misalnya, atau layanan penginapan untuk backpaker (dari backpaker, untuk backpaker, oleh backpaker, semacam itulah). Betul, memang bisa. Tapi saya merasa tidak nyaman untuk langsung menginap di rumah orang yang sama sekali tidak kita kenal, atau kenal hanya lewat pesan internet. Seperti yang sudah saya sebutkan, saya mengutamakan kedekatan hati sebelum saya mau tinggal di tempat orang tersebut. 

Saya merasakan manfaat tersendiri dari tinggal bersama orang lokal dalam setiap traveling saya. Selain ngirit uang penginapan, saya dapat mengalami langsung kehidupan keseharian orang-orang di negara tersebut, sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan kalau kita tinggal di hotel. Ketika saya ke Inggris, betapa kagetnya saya ketika memasuki rumah karena langit-langit rumahnya begitu rendah! Nyaris bikin claustrophobic. Saya juga mengalami sendiri kehidupan rekan saya tersebut, mulai dari beternak lebah (saya ikut belajar panen madu dan wax), membuat selai dan menjualnya di pasar pagi, berkebun, pesta ulang tahun, belanja di supermarket, menghadiri gereja lokal, sampai menikmati masakan rumahan yang dimasak sendiri oleh tuan rumah. Saya juga diajak membeli makanan khas Inggris, fish and chips (ikan goreng tepung dan kentang goreng)  yang dibungkus dengan kertas koran. Justru itu kekhasan-nya!

Di rumah orang tua angkat saya di Jepang, saya menikmati dua sisi Jepang: tradisional dan modern. Rumah orang tua angkat saya memiliki dua bagian: bagian modern dengan segala teknologi terkini (termasuk panel kontrol di toilet dan kamar mandi!) dan  bagian tradisional lengkap dengan tatami, jendela dari kayu yang ringan dan kertas, serta tempat tidur berupa futon. Saya belajar menyiapkan futon sebelum tidur dan melipatnya tiap pagi, karena kebetulan kamar saya berada di sisi tradisional. Mereka juga memasakkan saya masakan khas Jepang mulai dari yaki gohan (nasi goreng), yakisoba (mi jepang goreng), tempura, dan sebagainya. Mereka pula yang mengajari saya menggunakan sumpit, mengajak jalan-jalan sampai masuk Pahcinko (semacam casino, tempat judi), memakaikan yukata (kimono musim panas) dan belanja kebutuhan sehari-hari maupun suvenir.

Hal yang sama terjadi di rumah sahabat pena saya di San Francisco. Di surat-suratnya, dia tidak pernah bercerita seperti apa kehidupannya di rumah (seperti apa rumahnya, kondisi keluargaya, etc). Ketika saya sampai di rumahnya, ya Tuhan, ternyata dia adalah anak orang kaya. Rumahnya di atas bukit di kota Oakland, langsung menghadap San Francisco Bay dengan Golden Gate-nya. Rumahnya besar dan mewah, dengan baby grand piano dan dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan Golden Gate. Bahkan kamar saya, kamar tamu, memiliki jendela besar yang menghadap taman dan juga pemandangan San Francisco Bay dan Golden Gate. Selama di sana, dia dan keluarganya mengajari saya banyak hal tentang kehidupan orang Amerika: mulai dari sarapan, bagaimana membuat telur orak arik yang lembut (tambahkan susu cair!), menikmati bagel, salmon dan krim keju, mengenalkan saya pada couscous, mengajak saya berburu pohon Natal segar, menghias pohon Natal, menghias meja untuk jamuan Natal, mengenalkan saya pada fondue, dan sebagainya. Bahkan saya sempat merasakan gempa Bumi!!!

Manfaat lain tinggal bersama orang lokal adalah bahwa mereka mengenal daerah mereka seperti mereka mengenal telapak tangan mereka sendiri. Biasanya saya mempercayakan acara jalan-jalan dan makan-makan ke tangan mereka sepenuhnya. Mereka, yang mengenal saya luar dalam, akan merancangkan perjalanan sesuai dengan lamanya liburan saya. Teman saya di Inggris bahkan sampai membuat rencana perjalanan ke tempat-tempat wisata sesuai dengan perkembangan sejarah Inggris dari zaman batu hingga modern. Dalam perjalanan saya juga dikenalkan pada tanaman dan hewan lokal, masakan khas daerah tertentu, dan juga budaya. Beliau juga mengajari saya bagaimana memahami struktur musik bagpipe yang dimainkan pengamen di jalan. Jadi selain traveling, saya bisa belajar! Sahabat saya Mira mengajak saya ke tempat-tempat terkenal di San Francisco dan sekitarnya, sampai tempat-tempat tidak terlalu terkenal tapi memiliki makna bagi masyarakat lokal atau bagi dia pribadi. Kami juga makan di tempat-tempat yang seru, mengenalkan saya akan makanan khas SF. Tidak hanya bersama dia, tapi kami traveling juga dengan teman-teman SMA dan paduan suara dia (yang juga saya kenal ketika ke Jepang). Jadi saya malah menambah teman, nambah ilmu, nambah seru!

Hal ini juga saya terapkan ketika saya studi master di Amerika. Ketika banyak orang Indonesia lebih suka tinggal bersama-sama, saya memilih untuk tinggal bersama orang Amerika. Manfaatnya banyak! Selain dapat mengalami langsung keseharian mereka, saya juga belajar budaya Amerika, bahasa Inggris-Amerika, dapat editor untuk tugas (tukang cek bahasa Inggris), dapat icip-icip makanan khas Amerika masakan mereka, memperluas pergaulan antarbangsa, dan sebagainya.


Banyak bertanya
Zaman sekolah dulu kita sering mendengar peribahasa "malu bertanya sesat di jalan". Sementara zaman saya bekerja di konsultan teknik peribahasa itu menjadi "malu bertanya kelar hidup lo!". Loh kok jadi begitu?

Zaman itulah saya berkenalan dengan teman saya di Inggris itu. Dalam beberapa kesempatan, beliau dan pihak kantor mengajak kami para asisten untuk jalan-jalan ke berbagai obyek wisata di Jawa Timur. Selain sebagai bentuk penghargaan akan kerja kami, mereka juga butuh penterjemah, heheheh. Nah, teman saya dari Inggris ini punya persyaratan, bahwa kami harus bisa menjawab pertanyaan beliau tentang obyek wisata yang dikunjungi, dan mewajibkan kami bertanya apa saja kepada beliau. Beberapa asisten merasa kurang nyaman dengan persyaratan ini, dan sebagai akibatnya sayalah yang mendampingi beliau, sementara asisten lain mendampingi ekspatriat yang lain. Bisa dibayangkan betapa paniknya saya ketika diberi tahu bahwa kami akan ke Trowulan, situs peninggalan kerajaan Majapahit. Saya belajar sejarah semalaman! Huahuahuahuahua...........

Beliau selalu mendorong saya bertanya. Karena takut dan tidak ada ide mau tanya apa (ini nih kelemahan sistem pendidikan Indonesia!) kadang saya nanya sekedarnya saja. Contoh: "air sungai ini coklat, apa menurutmu kualitasnya cukup baik?" Parah bukan? Saya kuliah 4 tahun di jurusan Teknik Lingkungan dan saya tahu jawabannya, tapi nanya aja daripada nanti dimarahi. Hahahah....Tapi seiring dengan berjalannya waktu, pertanyaan saya semakin kritis dan mengena. Ternyata bertanya juga butuh latihan ya? Terutama tentang bagaimana mengajukan pertanyaan yang tepat.

Tapi, sekarang saya merasakan manfaatnya. Ke manapun saya pergi, saya selalu membawa sejuta rasa ingin tahu akan apa yang saya hadapi di depan indera saya. Saya tidak puas hanya dengan melihat suatu obyek wisata dan foto-foto. Saya harus tahu mengapa tempat ini begitu istimewa bagi penduduk lokal, mengapa sampai terkenal, apa sejarahnya, bagaimana terbentuknya (misal Grand Canyon, Rocky Mountains), dan sebagainya. Pokoknya harus tahu luar dalam! Bagi saya, hal ini memberikan pemahaman tersendiri dan membuat saya merasa ada hubungan/koneksi dengan tempat tersebut, bukan hanya datang, lihat, foto, dan pergi.


Tidak punya kamera? No problem!
Dewasa ini kita mengenal peribahasa baru: "No picture = hoax". Apalagi dengan adanya media sosial, kita merasa ada tekanan untuk mendokumentasikan apapun yang kita lakukan dan menampilkannya di media sosial.

Saya baru  memiliki kamera saku tahun 2013, sebagai hadiah ulang tahun dari bapak dan ibu mertua. Jadi dalam seluruh kehidupan traveling saya sebelum itu saya tidak pernah  membawa kamera. Wah, kalau zaman sekarang ya ini keterlaluan.....ya nggak? heheheheheh........

Tapi jujur, saya lebih suka begitu. Sejak saya memiliki kamera sendiri, saya merasa bahwa saya tidak bisa menikmati perjalanan saya seperti yang saya inginkan. Saya terlalu sibuk memotret sana sini, takut kehilangan momen untuk dibagikan di media sosial.

Saya menyadarinya ketika saya dan suami traveling ke New York City. Saat itu masih pagi, dan kami jalan-jalan di Central Park. Saya begitu sibuk foto-foto, sampai suami saya bilang "Sudahlah, taruh dulu kameramu itu, dan nikmati saja pemandangannya!". Di situ saya menyadari betapa ruginya saya sibuk menikmati indahnya Central Park di waktu pagi melalui layar kamera dan bukan melalui seluruh indera di tubuh saya. Lebih parah lagi, saya tidak menikmatinya bersama orang terkasih saya! Saya malah mengabaikan dia karena sibuk foto-foto. Di situ saya insap. Saya mengurangi aktivitas berfoto, memotret seperlunya saja, itupun setelah saya puas menikmatinya sendiri bersama suami!

Saya membandingkannya dengan perjalanan saya yang dulu-dulu, sebelum saya memiliki kamera. Saya merasakan ada beberapa manfaat tidak memiliki kamera sendiri:
  • Saya dapat menikmati tempat yang saya kunjungi sepenuhnya, dengan seluruh indera saya, dan juga menikmati kehadiran dan hubungan saya dengan orang-orang terkasih. Hal ini membuat perjalanan saya menjadi sesuatu yang sifatnya pribadi dan mendalam.
  • Saya dapat belajar 'melepaskan', dalam artian belajar bilang ke diri sendiri "tidak apa-apa kalau kamu tidak memotret obyek/tempat ini. Meskipun nanti kamu akan lupa seperti apa rupa persisnya, tapi rasa di hatimu tidak akan hilang".
  • Karena saya tidak punya kamera dan selalu ada teman yang punya, saya selalu berada di dalam foto! Teman-teman perjalanan saya selalu membagi foto-foto yang mereka punya dengan saya, sehingga saya tidak perlu khawatir. Dalam setiap traveling saya baik itu di Batu Secret Zoo, Batu Night Spectaclar, Bogor, Bali, Jogja, Jakarta, maupun Jepang, Inggris, San Francisco, Vietnam, dan Denver, saya melakukan perjalanan dengan keluarga, teman dekat, sahabat, dan calon mertua. Mereka semua ini menjadi fotografer pribadi saya, dan hasilnya sungguh memuaskan! Saya tetap menikmati perjalanan, punya fotografer pribadi pula!
Apa lagi ya? Yang jelas, inilah semacam cetak biru traveling a la saya. Kalau ada tambahan nanti saya update lagi. Catatan saya: tiap orang punya gaya traveling-nya sendiri. Be you!






Comments

Popular Posts