Tentang Perjanjian Pra-Nikah: Renungan

Beberapa waktu yang lalu seorang teman saya mengirimkan pesan chat pada saya. Dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan seorang WNA, dan bertanya apakah saya dulu membuat perjanjian pra-nikah dengan suami saya. Dia berencana membuat perjanjian tersebut dengan calon suaminya dan ingin tanya-tanya pada saya tentang prosesnya.

Saya dengan jujur menjawab bahwa saya tidak memiliki perjanjian pra-nikah dengan suami saya. Setelah percakapan saya dengan teman saya selesai, saya memasuki panic mode.

"Ya Tuhan, kenapa dulu saya nggak bikin? Gimana nasib saya nanti kalau saya dan suami bercerai? Akan jadi apa saya?" begitu pikiran saya. Sungguh, saya mikirnya sampai beberapa hari.

Saya berusaha mengingat-ingat lagi masa-masa menjelang pernikahan saya. Saya bahkan bertanya pada suami kenapa kok dulu kami tidak membuat perjanjian tersebut. Saya sungguh tidak ingat, padahal biasanya kalau hal-hal begini saya yang lebih ingat daripada dia. Suami saya menjawab, bahwa seingat dia proses yang panjang dan biaya yang mahal menjadi alasan utama kami tidak membuatnya. Sekadar catatan, dari hari kami memutuskan menikah sampai hari-H pernikahan jaraknya hanya enam bulan. Cukup singkat bahkan untuk mereka-mereka yang menikah satu bangsa. Bayangkan saya yang menikah beda bangsa!

Menyesalkah saya? Sedikit. Heheheheheh

Dalam beberapa hari setelah percakapan tersebut saya mulai merenungkan kembali tentang perjanjian pra-nikah. Seingat saya, dulu saya dan suami berpikir untuk membuat perjanjian pra-nikah untuk melindungi hak saya sebagai WNI untuk memiliki properti di Indonesia. Setahu saya (mohon koreksi bila salah) ini erat hubungannya dengan undang-undang pertanahan/agraria Indonesia yang menyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian atau kematian pasangan WNI, tanah Indonesia tidak akan jatuh kepemilikannya ke tangan WNA. WNA tidak boleh memiliki properti di Indonesia. Hanya itu alasannya, yaitu sebagai bukti kecintaan dan kepatuhan pada hukum Indonesia. Bukan untuk pemisahan harta bawaan atau pemisahan harta setelah perceraian (soalnya kami ga punya harta bawaan waktu menikah, jadi tidak mikir sampai ke sana....hahahahahah).

Perenungan saya tersebut akhirnya membawa saya bertanya kepada saya sendiri: apakah saya sungguh-sungguh menginginkan/membutuhkan perjanjian pra-nikah tersebut? Ataukah hanya sikap perfeksionis saya saja yang tersentil karena saya tidak membuatnya?

Jawaban saya: saya tidak menginginkannya. Lah, terus kenapa sempat menyesal tidak bikin pra-nikah? Namanya juga manusia, 'sirik tanda tak mampu' juga ada kan........heheheheh

Mohon pengertian pembaca bahwa saya di sini tidak menentang perjanjian pra-nikah ataupun merendahkan teman-teman yang memilih untuk membuatnya. Ini hanyalah keputusan pribadi saya tentang perjanjian tersebut sesuai dengan pandangan iman Kristiani saya, untuk pernikahan saya. Kalau memang dirasa perlu (misalnya urusan yang menyangkut hukum negara seperti kepemilikan properti di Indonesia tersebut di atas) saya akan dengan senang hati membuatnya. Suami saya pun dulu setuju dengan perjanjian pra-nikah untuk urusan kepemilikan properti. Yang saya kurang sreg adalah perjanjian pranikah mengenai pemisahan harta baik sebelum dan selama perkawinan maupun ketika terjadinya perceraian.

Loh kenapa? Padahal itu adalah elemen utama perjanjian pra-nikah, bukan?

Baiklah akan saya jelaskan. Sebagai catatan, penjelasan saya akan memiliki unsur keyakinan Kristiani yang saya anut, jadi dalam penjelasannya akan ada ajaran-ajaran Kristiani. Sudah siap? Mari kita kemon.

Pertama: perjanjian pra-nikah itu seolah membuat pintu bagi kami berdua untuk bisa melarikan diri dari pernikahan kami, dan pintu itu bernama perceraian. Adanya perjanjian itu membuat kami lebih mudah untuk mempertimbangkan perceraian karena toh kami akan dilindungi kalau kami bercerai. Sementara dalam pandangan iman Kristiani, perceraian adalah hal yang tidak boleh dilakukan, terkecuali untuk alasan-alasan tertentu (dan inipun mengandung konsekuensi, tergantung denominasi). Hal ini dikarenakan pernikahan Kristen adalah gambaran ilahi tentang hubungan Kristus dengan pengantinNya, yaitu gerejaNya. Hubungan tersebut bersifat covenant (saya belum nemu bahasa Indonesianya. Ada yang bisa bantu?),  yaitu bentuk perjanjian yang tidak bisa diputuskan, meski salah satu pihak yang terlibat gagal memenuhi kewajibannya. Tuhan sudah menunjukkannya pada kita: yaitu bahwa ketika kita berdosa dan serong sana sini dariNya, DIA tidak meninggalkan kita, namun terus mencari, memperjuangkan, dan memenangkan kembali diri kita kepadaNya. Kasih Tuhan pada kita tidak bersyarat, dan inilah cetak biru pernikahan Kristiani. Mencintai, melindungi, menjaga, memelihara, dan memperjuangkan pasangannya tanpa syarat, sebagaimana Tuhan telah melakukannya bagi kita. Sebagai pasangan Kristen, itulah bentuk ideal yang harus kami usahakan terus menerus untuk mewujudkannya.

Kedua (dan yang paling menggelitik saya): perjanjian pra-nikah memberikan kesan adanya ketidakpercayaan pada Tuhan dan pada pasangan kita.
  1. Perjanjian pra-nikah memberi kesan bahwa kita lebih mempercayai kontrak tersebut untuk melindungi kita (terutama dalam urusan harta) selama pernikahan dan pada saat terjadinya perceraian daripada kita mempercayai Janji Pernikahan Kudus, di mana Tuhan sendiri ikut terlibat dalam perjuangan kita dari hari ke hari untuk saling mencintai, menjaga, memelihara, dan mencegah terjadinya perceraian. 
  2. Perjanjian pra-nikah memberi kesan bahwa kita dan pasangan akan lebih percaya dan tunduk pada klausul-klausul perjanjian pra-nikah daripada pada klausul-klausul Janji Pernikahan Kudus. Pendeknya (dan kasarnya) kita menganggap perjanjian pra-nikah lebih mengikat daripada Janji Pernikahan Kudus.
  3. Perjanjian pra-nikah memberi kesan bahwa kita lebih mempercayai harta duniawi untuk memelihara kita pada saat terjadinya perceraian dan bukan pada pemeliharaan Tuhan. Intinya, kita tidak terlalu percaya bahwa Tuhan sanggup memelihara kita.

Ketiga: perjanjian pra-nikah memberikan kesan bahwa pihak-pihak yang terlibat mengingkari tujuan pernikahan Kristiani itu sendiri. Selain pengingkaran covenant di atas, pengingkaran tujuan pernikahan terlihat dari pemisahan harta sebelum, selama, dan dalam kasus terjadinya perceraian. Dalam pernikahan Kristiani, suami dan istri dipersatukan secara tubuh, jiwa, dan roh sehingga keduanya menjadi satu daging. Satu daging berarti bahwa suami dan istri itu murni menjadi satu, dalam segala hal, tak terpisahkan, mengasihi dan memelihara pasangannya seperti ia mengasihi dan memelihara dirinya sendiri. Contoh: kalau mulut kita makan daging, seluruh tubuh akan dapat nutrisi dari daging tersebut. Bisakah mulut kita berkata pada tangan kita: "eh tangan, kamu tidak dapat bagian daging yang aku makan ini"? Ga mungkin kan? Dalam covenant dengan umatNya, Yesus memberikan segalanya bagi pengantinNya, bahkan sampai nyawaNya sendiri diberikanNya. Nah, bila suami atau istri masih sulit memberikan hartanya dalam pernikahan, bagaimana dia bisa memberikan dirinya, hidupnya, bahkan nyawanya bagi pasangannya? Lebih sulit mana: memberikan harta kepada pasangan atau memberikan diri kita dan nyawa kita? Bagaimana kita bisa membangun pernikahan sebagai satu daging, sementara dalam satu langkah sebelumnya sudah dilakukan pemisahan? Di manakah kasih yang murah hati dan tidak mencari keuntungan diri sendiri itu?


Itulah hasil perenungan saya tentang perjanjian pra-nikah. Sekali lagi, saya tidak bermaksud untuk menentang perjanjian pra-nikah maupun merendahkan teman-teman yang akan atau sudah membuatnya. Sesuaikan saja dengan situasi dan kebutuhan masing-masing pasangan. Lagipula pembuatan perjanjian pra-nikah sifatnya sukarela. Kalau sekiranya anda memang membutuhkannya sesuai dengan sikon anda, maka lakukanlah.

Di bawah ini saya sertakan beberapa sumber yang membantu saya yang, meskipun tahu sejak awal bahwa saya tidak menginginkan perjanjian pra-nikah, tidak sanggup mengungkapkannya dengan kata-kata.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua ya.


Sumber:
- Alkitab: Kejadian 2:24, Efesus 5:21-33, 1 Korintus 13:4-7
- https://gotquestions.org/prenuptial-agreements.html
- http://www.russellmoore.com/2009/02/04/are-prenuptial-agreements-okay-for-christians/
- https://evanlenow.com/2014/06/24/is-there-such-a-thing-as-a-christian-prenuptial-agreement/
- http://www.crosswalk.com/family/marriage/before-you-say-i-do-to-a-pre-nup%E2%80%A6-11580155.html
















Comments

Popular Posts