Pesan Ibu: Siapkah Kamu Berpasangan dengan WNA?

Pada tahun 2006-2008 saya mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan Strata 2 di Amerika Serikat. Awal tahun 2007, salah satu teman kuliah saya, seorang laki-laki berkebangsaan Amerika, menyatakan keseriusannya dengan saya. Saya saat itu sudah berusia 28 tahun, dan ketika dia PDKT saya sudah menekankan bahwa saya tidak mau pacaran kalau hanya untuk senang-senang saja. Saya maunya yang serius ingin menjadi suami saya. Dia telah menyatakan keseriusannya itu.

Saya segera mengabarkannya kepada Ibu saya di Indonesia. Di luar dugaan saya, beliau menanggapinya dengan kalem. Saya pikir beliau akan bersuka cita karena akhirnya anaknya mulai mikir menikah juga, atau yang sejenis itu, atau malah memprotes saya karena tidak mencari pasangan sesama orang Indonesia atau yang sesuku. Yang khas orang tua lah. Tapi yang saya dapatkan justru satu pertanyaan yang pada akhirnya menjelma menjadi sebuah misi.
Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)

"Siapkah kamu?"
Ibu saya adalah orang yang tenang dan memiliki kepasrahan sangat tinggi pada Sang Maha. Beliau tidak pernah memaksakan anaknya harus menikah kapan dan dengan siapa. Beliau percaya penuh bahwa Sang Agung sudah menetapkan jalan hidup masing-masing anakya, termasuk jodoh. Tapi ini bukan berarti beliau tidak punya syarat bagi calon mantu loh. Tentunya ada, seperti bahwa calon mantu tersebut haruslah dari keluarga baik-baik, orangnya baik, berpendidikan, bertanggung jawab, sepadan (dalam kematangan dan pola pikir), dan sejenisnya.

Ketika saya memberitahukan keseriusan pacar saya itu, ibu saya menjawabnya dengan tenang, dengan satu pertanyaan saja...."SIAPKAH KAMU?"

Sebagaimana layaknya orang yang lagi senang-senangnya pacaran, saya tidak terpikir sejauh itu. Saat itu sih semua terlihat cocok-cocok saja, lancar-lancar saja. Namun Ibu saya tetap membimbing saya untuk melihat lebih daripada apa yang saya lihat saat itu. Seiring dengan pertanyaan tersebut, beliau memberikan saya sebuah tugas.

"Pelajari dia. Pelajari keluarganya. Pelajari negaranya, bangsanya dan budayanya. Pelajari resiko yang harus kamu ambil kalau berpasangan dengan WNA. Setelah itu, jujurlah pada dirimu. Siapkah kamu? Sanggupkah kamu? Pesan Ibu, kamu berani bertindak, harus berani bertanggung jawab. Kamu berani mengambil keputusan berpasangan dengan WNA, harus berani menanggung resikonya, termasuk berani dan siap putus kalau memang kamu tidak sanggup." 

Saya terdiam. Saya tidak dapat menjawab pertanyaan beliau apakah saya siap.  Tapi saya berjanji pada beliau untuk melakukan pesan beliau tersebut. Maka, mulailah perjalanan saya mempelajari semua yang beliau sarankan.

"Pelajari Dia"
Saya rasa semua orang yang serius menjalin hubungan tentunya akan melakukan hal yang satu ini. Bukankah itu esensi dari masa berpacaran? Namun dalam kasus saya, saya harus melakukan pembelajaran dan penggalian yang lebih dalam karena perbedaan negara, benua, bangsa, bahasa, budaya. Ini catatan beberapa hal yang saya pelajari secara khusus tentang dia, baik umum maupun khusus, yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan kalau ada pembaca yang sedang mempertimbangkan pasangan WNA:
  • Bagaimana pandangannya tentang pacaran? Banyak film-film Hollywood dan cerita di media yang menggambarkan pacaran orang Amerika itu pasti melibatkan seks pra-nikah, atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, meskipun dalam kenyataan di lapangan banyak masyarakat Amerika yang cukup, bahkan sangat, konservatif. Pandangan mana yang dia anut? Kalaupun misalnya saya tidak bisa terima, bersediakah dia menghargai batasan-batasan yang saya tetapkan?
  • Bagaimana cara dia mengatasi konflik dalam hubungan? Marah-marah lalu lari ke bar seperti gambaran film-film, bikin drama, atau gimana? Memaksakan solusi dari dia sendiri tanpa mendengarkan saya, atau mencari solusi bersama?
  • Bagaimana pandangan dia akan pernikahan dan perceraian? Bagaimana pandangan dia akan peran seorang laki-laki/suami/ayah dalam pernikahan? Hal-hal apa yang kira-kira akan membuat dia 'patah arang' dan berpikir tentang perceraian? Meskipun mungkin tidak enak ketika membicarakan hal ini (lha wong nikah aja belum, udah ngomongin perceraian?) tapi setidaknya itu membuat kami memahami batasan masing-masing. (Catatan: ternyata hal ini dibahas juga dalam konseling pra-nikah kami di Gereja. Jadi kami percaya hal inipun penting untuk dilakukan sebelum menikah)
  • Bagaimana pandangan dia akan perempuan, cara memperlakukan perempuan, dan tentang peran perempuan dalam pernikahan? Apa pandangannya tentang istri/ibu bekerja? Apa pandangannya tentang kekerasan dalam rumah tangga? Bagaimana dia memperlakukan ibunya, kakak/adik perempuannya (kalau ada)? Bagaimana dia memperlakukan saya apabila saya membutuhkan dia secara mendadak?
  • Bagaimana dia memperlakukan orang tua dan saudara-saudara saya? Bagaimana dia membawa diri di tengah keluarga inti saya dan keluarga besar saya?
  • Bagaimana pandangannya tentang anak? Apakah dia ingin punya anak (tapi tidak harus), menuntut harus punya anak, atau malah tidak ingin punya anak? Menikah tanpa ingin punya anak sudah mulai bisa diterima di Amerika dan cukup banyak yang menganutnya, meskipun masih dipandang sebelah mata, sementara di Indonesia masih sulit diterima kecuali memang tidak bisa punya anak. Bagaimana pula pandangannya tentang budaya/bahasa mana yang dominan dalam membesarkan anak?
  • Bagaimana pandangan dia tentang impian, mewujudkan impian baik impian dia maupun impian saya, baik sebelum maupun setelah menikah? Apakah dia akan menuntut saya melepaskan impian setelah menikah? Apakah dia akan memberi saya kebebasan mengejar impian saya bahkan setelah menikah?
  • Bagaimana kehidupan pribadinya, hobinya, kebiasaannya? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan budaya kita atau kebiasaan kita yang tidak bisa kita tolerir (berbahaya, dsb.)? Apakah dia suka gosip? Apakah dia orang yang mengutamakan pikiran negatif?
  • Bagaimana dia mengelola keuangannya? Apakah dia hemat? Apakah dia suka hura-hura kalau akhir pekan di bar atau kelab malam? Apa alasan utama dia membeli suatu barang? Lebih ke arah kebutuhan atau lebih karena keinginan? Bagaimana pandangan dia tentang hutang/kredit? Banyak orang Amerika yang konsumtif, beli barang berdasarkan impuls/keinginan, pakai kartu kredit, pas akhir bulan tidak bisa bayar. Berapa banyak hutang atau tabungan yang dia punya? Apakah dia bersedia memiliki akun bersama dengan saya setelah menikah, atau ingin saya menyerahkan semua uang saya padanya? Bersediakah dia jujur soal keuangannya?
  • Bagaimana pandangannya tentang privasi? Apakah dia bersedia saya membuka email pribadinya, telepon genggamnya, atau akun bank-nya? Sejauh mana batasannya? Apakah saya juga bersedia dia membaca email pribadi saya, mengetahui keuangan saya, membuka HP saya? Ibu saya sempat berpesan, berdasarkan artikel yang beliau baca, bahwa WNA cenderung ingin mempertahankan sebagian privasinya, bahkan dari istrinya. Loh, bukannya suami-istri harus terbuka, tidak ada rahasia? Nah, ini perlu dibicarakan!
  • Bagaimana hubungan dia dengan ayah-ibunya, dengan kakak-adiknya, dengan keluarga besarnya? Ada keluarga-keluarga yang putus hubungan karena masalah internal, tidak lagi mau bertemu atau berbicara, bahkan terang-terangan mengatakan benci.  
  • Apakah konsisten antara pikiran, perkataan, dan perbuatannya? Tentunya sulit mengetahu apa yang orang lain pikirkan, tapi kita bisa melihatnya dari perkataan dan perbuatannya. Apakah dia orang yang menepati janji? Apakah dia konsisten dengan sikapnya, baik di depan saya maupun di belakang saya? Apakah dia bersikap apa adanya di depan saya, dan tidak berubah bahkan ketika saya tidak bersamanya?
  • Bagaimana pandangan teman-temannya akan dia? Saya beruntung memiliki teman-teman yang perhatian dengan kami berdua. Banyak dari mereka yang datang ke saya ketika pacar saya lagi kuliah, dan memberikan rekomendasi mereka akan pacar saya. 
  • Bagaimana dia ketika kami Long Distance Relationship? Saat itu kami menyadari bahwa saya harus pulang ke Indonesia dan tinggal di Indonesia setidaknya selama 2-4 tahun setelah kuliah selesai. Dengan asumsi saya bersedia LDR, apakah dia juga berkomitmen mempertahankan, seberat apapun itu? 
  • Bagaimana kedewasaan berpikirnya? Ini bisa dilihat dari cara dia menanggapi situasi di sekitarnya. Apakah dia anak mami, yang selalu mencari ibunya setiap ada masalah sekecil apapun? Apakah dia tergantung pada orang lain unuk ketenangan pribadinya? Bisakah dia mengatur waktu yang dimilikinya? Apakah dia orang yang berfokus pada kesenangan dirinya sendiri di atas kesenangan bersama/pasangannya?
  • Bagaimana pandangannya tentang budaya saya? Apakah dia menghargai budaya Indonesia, budaya Jawa dan Bali yang menjadi akar budaya saya? Apakah dia tertarik dan melibatkan diri, atau malah tidak mau tahu atau tidak peduli?
  • Bagaimana pandangannya tentang agama? Apa yang dia anut? Bagaimana tingkat kesalehannya? (ini sih tergolong standar ya).
  • Bersediakah dia seandainya harus tinggal di Indonesia? Ada loh calon pasangan yang tidak mau meninggalkan negaranya sama sekali, bahkan hanya untuk melamar/menikah di negara pasangannya. Ada pula yang malah ingin pergi meninggalkan negaranya. Yang manakah dia?
Masih banyak lagi hal yang bisa digali. Saya mengutamakan mempelajari hal-hal yang memiliki perbedaan yang substansial antara kedua budaya. Anda mau menambahkan, barangkali?

"Pelajari Keluarganya"
Mempelajari keluarganya tidak kalah penting dengan mempelajari dia sendiri. Bagaimanapun, keluarga inilah yang membesarkan dia; nilai-nilai dan teladan orang tuanya tentunya akan memengaruhi pola pikir dan kepribadian dia. Budaya dalam keluarga Amerika seringkali berbeda 180 derajat dengan budaya keluarga Indonesia. Maka, saya mulai belajar tentang keluarganya:
  • Bagaimana hubungan ayah dan ibunya? Apakah pernikahan mereka kokoh, berpisah tanpa cerai, atau bercerai? Bagaimana sikap mereka satu dengan yang lain? Bagaimana mereka menghargai satu sama lain?
  • Bagaimana hubungan antar anggota keluarga? Bagaimana hubungan ayah-anak, ibu-anak, kakak-adik, dan keluarga inti-keluarga besar? Apakah mereka seperti keluarga saya di Indonesia yang dekat sekali satu dengan yang lain, rajin kumpul-kumpul kalau Hari Raya atau ada yang menikah? Apakah mereka tetap saling dukung meskipun sudah mandiri dan membantu dimana perlu, atau semua jalan sendiri-sendiri? Apakah mereka pandai menjaga jarak dan batas, atau malah sering cawe-cawe urusan anak/mantu/ipar setiap saat dan tanpa diminta? Apakah mereka over-protective atau malah sangat membebaskan anak melakukan apapun yang dia senangi?
  • Bagaimana ayah dan ibunya mendidik dia? Apakah selalu memanjakan? Apakah terlalu bebas? Atau malah konservatif? Nilai-nilai keluarga apa yang keluarga ini anut? Bagaimana sikap mereka soal agama/keyakinan? Bagaimana sikap mereka soal peran perempuan, perempuan bekerja, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan pada anak dan perempuan, tentang pernikahan sesama jenis, tentang situasi politik, dan sebagainya.
  • Bagaimana pandangan keluarga mereka akan saya, calon mantu/ipar yang bukan berasal dari Amerika, berbeda warna kulit, berbeda budaya? Apakah mereka bisa menerima, ataukah malah menolak? Rasisme masih menjadi masalah besar di Amerika. Saya pernah ngobrol dengan seorang pria Amerika di bis yang menceritakan bagaimana kisah cintanya dengan seorang perempuan asal Thailand kandas karena orang tua si laki-laki tidak mau menerima orang luar. Saya juga pernah berbicara dengan teman gereja, perempuan berkulit putih, yang bersuamikan laki-laki berkulit hitam. Dia bilang dia dan suaminya menerima lebih banyak pelecehan daripada orang kulit putih yang menikahi orang Asia, misalnya. Saya pribadi tidak pernah mengalaminya. Masalah ini menurut saya cukup klasik, ini terjadi di belahan dunia manapun. Banyak juga orang tua di Indonesia yang tidak memperbolehkan anaknya menikah dengan orang di luar suku, atau beda bangsa.
  • Bagaimana pandangan keluarganya tentang perbedaan usia? Saya akui, saya lebih tua 3 tahun daripada suami. Kadang ada keluarga yang menginginkan laki-laki lebih tua daripada perempuan.
  • Bagaimana pandangan mereka tentang Pondok Mertua Indah? Di Amerika, setelah anak menginjak usia 18 tahun mereka sudah dianggap dewasa dan ada keluarga-keluarga yang mewajibkan si anak pindah dari rumah orang tuanya. Kalau misalnya si anak (dan mantu) perlu tinggal di rumah orang tuanya untuk alasan apapun (baru kehilangan pekerjaan tetap, atau proses pindahan apartemen, dsb), si anak tetap harus membayar sewa bulanan dan uang makan ke orang tuanya, meskipun mungkin lebih rendah daripada kalau sewa apartemen. Jadi Pondok Mertua Indah akan berbeda dengan di Indonesia.
  • Penitipan anak. Di Indonesia banyak keluarga dengan suami-istri bekerja yang menitipkan anak-anak mereka pada kakek-neneknya untuk diasuh ketika mereka bekerja. Di Amerika, hal ini sedikit lebih sulit. Kedua mertua saya sampai detik inipun masih bekerja full-time. Kondisi di Amerika dan perekonomian sebagian besar orang Amerika tidak memungkinkan mereka untuk pensiun sampai usia sangat lanjut. Selain itu, sebagian besar orang Amerika berpandangan bahwa anak itu tanggung jawab orang tuanya, berani punya anak ya berani ngurus sendiri, begitulah kira-kira. Tentunya ada kakek-nenek di Amerika yang bersedia mengasuh cucunya, saya tidak bilang sama sekali tidak ada. Tapi kita harus pahami budaya yang umum, dan bagaimana keluarga calon pasangan menyikapi ini. Kalau keluarga calon pasangan tidak bersedia direpoti setiap hari (biasanya mereka mau kalau akhir pekan) tentunya kita harus punya solusi lain (misalnya daycare, dsb).
  • Bagaimana pandangan keluarga soal budaya saya atau budaya negara lain? Apakah mereka respek dan bisa menerima, bahkan mau terlibat? Soal yang ini saya cukup terharu ketika kami memutuskan menikah di Indonesia dengan adat Bali (selain pernikahan gereja), keluarga inti suami (ayah-ibu-kakak-adik) semua terbang ke Indonesia. Ayahnya bahkan mengajukan lamaran secara resmi pada keluarga besar saya, sesuai adat, padahal dalam budaya Amerika orang tua tidak ikut campur urusan lamaran anaknya. Beliau sampai harus menghafalkan pidato lamaran di penerbangan Amerika-Indonesia. Mereka mengikuti semua rangkaian upacara adat di Bali, dengan pakaian Bali lengkap meskipun saya tahu mereka kepanasan berat. Merekapun tidak segan mencicipi segala macam masakan Indonesia, dan bahkan suka!
  • Bagaimana pandangan calon mertua tentang hubungan mertua dan menantu? Sudah bukan rahasia lagi hubungan mertua dan menantu (biasanya mertua/menantu perempuan) seringkali kurang harmonis. Bahkan sampai ada istilah monster-in-law. Untuk hal ini, saya berkomunikasi secara pribadi dengan calon ibu mertua. Ada yang berpandangan menantu tetaplah orang luar (dan hanya mau berkomunikasi detail dengan anak mereka saja), ada pula yang berpandangan menantu adalah anak sendiri. Ada pula yang cuek bebek.  Ada yang selalu ikut campur urusan rumah tangga anak-mantu.
  • Bagaimana kakak-adiknya menerima saya? Calon suami saya sangat dekat dengan kakak dan adiknya. Bagaimana mereka memperlakukan saya? Bagaimana saya harus bersikap, terutama karena suami itu satu dari 3 bersaudara yang semuanya laki-laki? Apakah mereka baik dan menganggap saya bagian dari mereka, apa mereka malah menggunjingkan saya di belakang saya?
  • Bagaimana pandangan mereka soal kemungkinan anaknya harus pindah ke negara lain? Ini tidak mudah, orang tua manapun tidak ingin jauh dari anaknya. 

"Pelajari Negara/Budayanya"
Mempelajari negara/budaya calon pasangan juga sangat penting, karena ada kemungkinan saya akan ikut suami ke negaranya. Mau tidak mau, saya harus mempelajari calon negara tempat tinggal saya, Amerika Serikat.
  • Bahasa sih sudah pasti bahasa Inggris. Maka saya harus bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan fasih. Saya terus belajar bahasa Inggris meski sudah pulang dari sekolah S2 di Amerika. Sayapun sampai harus mempelajari nama-nama bumbu Indonesia dalam bahasa Inggris supaya bisa masak!
  • Iklim. Saya pelajari iklim Amerika. Tempat pertama saya, Negara Bagian Michigan, jauh di utara, dekat danau-danau besar. Jadinya lembab, musim dingin panjang dan salju tebal. Tempat suami saya, Negara Bagian Colorado, beriklim semi-arid alias semi gurun. Udaranya sangat kering, bahkan sampai bikin mimisan dan kulit pecah-pecah. Kotanya, Denver, berada pada ketinggian 1500-an meter di atas permukaan laut. Di ketinggian tersebut, kadar oksigen di udara cukup rendah, sehingga pendatang baru akan mengalami kekurangan oksigen dengan gejala pusing, mual, mudah letih, bahkan muntah-muntah. Enaknya, di Colorado kami mengalami 4 musim namun tidak terlalu ekstrim. Kami memiliki sinar matahari terbanyak di Amerika, jadi cocok dengan saya. Perlu diperhatikan juga bagi anda yang mungkin akan tinggal di daerah banyak salju (seperti saya di Michigan dulu) bahwa ada kemungkinan kita yang terbiasa beriklim tropis akan mengalami Seasonal Affective Disorder (SAD). Ini adalah depresi musiman yang disebabkan musim dingin yang panjang. Gejalanya sedih, sering menangis, tidak ingin melakukan apapun, moody. Musim dingin seringkali datang dengan suhu ekstrim, malam yang lebih panjang daripada siang, hari yang kelam tanpa sinar matahari langsung, dan salju tebal yang bikin kita frustrasi walau hanya perlu jalan sedikit saja. Hal-hal itu menyebabkan kita depresi. Ada kok perawatannya, misalnya dengan lampu khusus untuk menjamin tubuh kita mendapatkan sinar serupa sinar matahari yang cukup. Colorado menjadi tempat yang cukup ideal, karena tetap dapat salju tapi tetap dapat matahari yang cukup.
  • Kondisi rural-urban. Dari film-film Hollywood, kita sering melihat Amerika itu adalah kota-kota besar seperti San Francisco, New York, Los Angeles, Miami, Chicago, Washington DC, Houston. Yang jarang ditampilkan adalah kota kecil. Kadang perbedaannya jauh sekali! Saya dulu kuliah di sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk 7000 jiwa. Ketika terbang menuju kota tersebut, saya sampai keheranan karena ketika melihat ke bawah, yang saya lihat hanya hutan melulu. Astaga, saya mau kuliah di hutan? Katanya Amerika? Hahahah......Kalau kita tidak biasa tinggal di kota pelajar yang tenang atau kota kecil yang jauh dari keramaian metropolitan, perlu dibicarakan dengan calon pasangan. Atau sebaliknya, kalau kita biasa tinggal di kota kecil yang tenang dan calon pasangan tinggal di kota metropolitan, apalagi NYC yang tidak pernah tidur, perlu diobrolin nih!
  • Biaya hidup. Sering kita dengar orang berkata "Enak ya kerja di luar negeri, gajinya besar!". Iya, memang besar bila dikonversi ke Rupiah dan dibelanjakan dalam standar hidup masyarakat Indonesia. Kadang kita lupa bahwa biaya hidup di luar negeri tersebut bisa 10-30x lipat biaya hidup di Indonesia! Misalnya, kalau pegawai restoran di Amerika menerima $10 per jam, berarti $80 per hari, $400 seminggu, dan $1600 sebulan, belum dipotong pajak. Kalau dipotong pajak ya penerimaan bersih lebih rendah dari itu. Dikonversi ke rupiah menjadi sekitar 21 juta rupiah per bulan. Besar? Iya kalau kita memandang dari sudut pandang Indonesia. Di Amerika, gaji segitu ya pas-pasan (tergantung lokasi), kalau tidak mau dibilang tidak cukup. Belum lagi urusan asuransi kesehatan dan biaya kesehatan yang muuaaahhhaaallllll!!! Kalau pindah ke negara maju, jangan kaget kalau mendadak semua terasa mahal!
  • Kesempatan kerja. Kami pindah ke Amerika tahun 2012, dan Amerika masih berusaha keluar dari krisis ekonomi. Cari kerja susahnya bukan main. Ini perasaan pribadi saya ya, bisa saja saya salah. Sulit mencari pekerjaan di Amerika kalau kita tidak memiliki pendidikan yang mereka anggap cukup dan pengalaman kerja di perusahaan multinasional. Pendidikan yang cukup itu seperti apa? Minimal lulusan Amerika atau negara maju, gitu. Harus mengikuti sertifikasi profesi juga. Untuk insinyur, sertifikasi awal meliputi tes selama 8 jam penuh tentang aljabar, statistika, geometri, kalkulus, mekanika (teknik dan fluida), thermodinamika, optika, listrik, kimia, biologi, gambar teknik, komputer, dan keteknikan keahlian kita. Saya cuma mikir "Hah? Itu mah sudah 10 tahun yang lalu saya belajarnya! Berasa UMPTN lagi 8 jam! Ogah!" hahahahah......Persaingannya berat untuk pekerjaan-pekerjaan strategis seperti insinyur, akuntan, dan sebagainya. Lulusan S2 dan S3 banyak. Persaingan lebih rendah di pekerjaan seperti pelayan restoran, buruh pabrik, pegawai supermarket. Tapi kalau seperti saya ini, lulusan S2 melamar jadi pegawai supermarket/toko, seringkali ditolak juga karena ketinggian pendidikan. Repot kan? Demikian pula kalau misalnya kita tidak bekerja lebih dari 6 bulan, akan cukup sulit untuk kembali ke dunia kerja. Bukan menakut-nakuti, ini kenyataan yang harus dipikirkan. Saya memilih wirausaha, membuka studio piano.   
  • Budaya. Sudah bukan rahasia bahwa Amerika Serikat adalah negara yang menganut kebebasan berekspresi bagi warganya. Ekspresinya macam-macam, mulai dari komen-komen kebablasan, seks pra-nikah, public display of affeection (PDA), hidup bersama sebelum menikah, legalisasi ganja, legalisasi pernikahan sesama jenis dan sebagainya. Itu yang negatif. Tapi yang positif juga ada kok: menghargai semua suku, bahasa, dan agama (meski belum sempurna), sopan santun dan pelayanan publik yang kadang lebih baik, masyarakatnya cenderung berpikiran terbuka, lebih menerima ide-ide baru dan orang-orang baru, dan menghargai privasi. Catatan dari saya, kalau mempelajari suatu negara atau budaya, jangan hanya lihat dari negatifnya saja. Segala sesuatu itu pasti ada positif-negatifnya. 
  • Makanan. Saya pikir hidup di Amerika akan mudah karena kita di Indonesia sudah terbiasa dengan makanan Amerika ala restoran waralaba. Saya salah, saudara-saudara. Makanan Amerika itu lebih bermacam-macam, kalaupun ada waralaba beda rasa dengan cabang Indonesia, dan sayangnya macam-macamnya itu jarang melibatkan masakan Indonesia. Biasanya sarapan nasi pecel, kaget dan tidak kenyang kalau sarapan sereal. Bagi yang ingin mencari makanan yang berlabel halal, kadang harus ke toko khusus dan harganya sedikit lebih mahal setahu saya. Jadi kalau kita harus pindah ke negara orang lain, kita harus siap dengan kemungkinan memakan apapun yang tersedia. Saya sempat memasuki periode survival (makan untuk bertahan hidup saja, apapun masuk) sebelum akhirnya bisa menerima dan menikmati makanan Amerika. Kalau kangen masakan Indonesia, bisa masak sendiri, atau ke restoran Indonesia, pesan ke sesama teman Indonesia yang jago masak, atau kalau tidak ada sama sekali dan tidak bisa masak, restoran China, Vietnam dan Thailand memiliki cita rasa yang serupa. Pesan saya, jangan terlalu mengharapkan ada restoran Indonesia di kota tujuan di Amerika. Belum tentu! Mending belajar masak sendiri sebelum berangkat.
  • Sistem Keimigrasian. Sebelum menikah saya sudah mempelajari sistem imigrasi ke Amerika Serikat, yang lebih dikenal dengan Green Card. Ke negara manapun, saya rasa perlu untuk mempelajari sistem keimigrasiannya dan syarat-syaratnya, sehingga kita bisa pindah ke negara tersebut secara legal. Kalau misalnya ingin menikah di negara calon pasangan, visa jenis apa yang harus kita urus? Green Card by marriage atau imigrasi karena perkawinan hanya bisa diberikan setelah pernikahan. Waspada juga kalau sang calon pasangan malah menyuruh kita melakukan hal yang ilegal (misal overstay visa turis atau visa tunangan) karena tidak mau repot mengurus dan membiayai Green Card atau proses imigrasi legalnya. Bisa-bisa anda malah dideportasi dan dilarang memasuki wilayah Amerika untuk seterusnya. Atau, waspada terhadap orang yang mengaku cinta dan bersedia menikahi/mensponsori kita untuk imigrasi legal hanya untuk memperbudak kita pada akhirnya. Kasus seperti ini ada. Demikian pula bagaimana mengurusnya. Jangan mudah percaya calo Green Card, lebih baik diurus sendiri, atau kalau memang punya uang lebih bisa minta bantuan pengacara khusus imigrasi.
  • Pelajari undang-undang tentang hak dan kewajiban imigran. Apa hak saya sebagai imigran, apa kewajiban saya, kapan mesti lapor ke pemerintah Amerika dan KBRI, apa yang bisa membuat saya bisa dipulangkan, apa syarat menjadi warga negara kalau memang ingin pindah kewarganegaraan, bagaimana status green card atau imigrasi legal saya kalau saya mendapatkannya karena pernikahan lalu bercerai? Apa syarat pernikahan di negara tersebut kalau memang mau menikah di negara pasangan?

Resiko Berpasangan dengan WNA
Setelah mempertimbangkan semua itu, saya melihat resiko-resiko berpasangan dengan WNA. Apa saja?
  • Harus meninggalkan tanah air, keluarga dan karir. Ibu saya sudah menegaskan sejak awal, berpasangan dengan WNA memiliki potensi kuat (apalagi karena saya pihak perempuan) bahwa saya harus meninggalkan tanah air, keluarga, karir, dan segala yang begitu familiar dengan saya dan tinggal di tempat yang sama sekali asing dan sangat jauh.
  • Harus bersedia beradaptasi dengan budaya baru tanpa kehilangan identitas dan jati diri sebagai orang Indonesia, dan siap menghadapi homesick yang kadang bisa berlarut-larut. Ini bisa diatasi dengan pasangan dan keluarganya yang ikut mendukung kita, aktif membaur dengan masyarakat lokal, komunikasi yang lancar dan rutin dengan keluarga di rumah. Zaman sekarang komunikasi sudah lebih mudah dengan kemajuan teknologi yang ada. 
  • Harus siap omongan orang, baik positif maupun negatif. Ada yang berpendapat saya hebat bisa mendapatkan WNA, atau ada yang nyinyir bilang WNA tuh sukanya yang bertampang pembantu (berarti saya tampang pembantu dong?). Siap dipuji, siap dicerca. 
  • Harus siap mandiri, bisa berdiri sendiri di negeri asing. Memang ada suami, dan syukur-syukur kalau keluarganya ikut menolong di mana perlu, tapi saya harus menjadi pribadi yang kuat dan mandiri, karena keluarga saya tidak ada di sisi saya setiap saat sebagaimana di Indonesia. Harus bisa menyemangati diri sendiri, bisa menerima keadaan, dan tidak terus-terusan mengeluh. Nggak boleh cengeng di negeri orang.
  • Siap ruwet kalau mengurus pernikahan, karena syarat-syarat pernikahan antarbangsa di Indonesia cukup banyak. Belum lagi mengakomodasi keluarganya ketika datang ke negara saya. 
  • Harus lebih bersedia berkompromi dalam hal budaya/kebiasaan dan mencari jalan tengah dalam konflik rumah tangga. Ibu saya berpesan, saya tidak boleh hanya memaksakan budaya saya saja kepada dia, tapi saya juga harus bersedia menerima budaya dia yang baik. Harus bersedia mencari jalan tengah, common ground, win-win solution yang tentunya membutuhkan banyak waktu dan kesabaran mengingat perbedaan saya dan suami jauh lebih besar daripada kalau suami sama-sama orang Indonesia. 

Setelah semua itu dipikirkan dan dipelajari, tiba waktunya untuk saya jujur pada diri saya sendiri. Siapkah saya? Mampukah saya menerima dan menjalani semuanya itu? Di sini kejujuran mutlak pada diri sendiri sangat diperlukan. Kalau memang tidak bisa atau tidak mampu, harus berani bilang tidak, saya tidak bisa, saya tidak mampu. Kalau ada yang bertentangan dengan hati nurani dan tidak bisa diselesaikan sebelum pernikahan, harus berani berkata tidak. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti setelah menikah, kemudian bercerai.

Satu lagi hal yang sangat penting bagi saya: restu kedua orang tua dan calon mertua. Saya memastikan orang tua saya dan calon mertua saya merestui pernikahan kami dengan tulus dan ikhlas. Berkat dan restu orang tua dan mertua saya pandang hal yang mutlak dan berperan besar dalam langkah saya dan suami ke depannya dalam membina rumah tangga.

Dengan fakta bahwa saya sudah menikah dengan suami saya hampir 6 tahun, tentunya pembaca tahu jawaban saya akan pertanyaan ibu saya.....YA. SAYA SIAP. 

Bagi yang sedang mempertimbangkan pasangan WNA......SIAPKAH ANDA?

Comments

  1. Wah sangat matang sekali pemikirannya sebelum melangkah ke pernikahan sampai mempunyai banyak pertanyaan untuk dipikirkan. Memang yang betul seperti ini karena inginnya menikah sampai ujung waktu ya. Karena waktu itu aku dan suami termasuk proses kilat dari awal kenalan sampai nikah hanya 8 bulan, akhirnya setelah dia menyatakan serius, aku bawa dalam doa. Setelahnya kami saling mempelajari satu sama lain lewat proses LDR selama 8 bulan itu plus setelah nikah masih LDM 6 bulan. Tapi kami selalu yakin kalau memang niatnya baik, semoga jalannya juga baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ho oh mba Den... Ini juga mengandung poin2 yg penting diperhatikan oleh yg akan menikah (bukan dg WNA saha :p)

      Delete
    2. Memang semua yang mau nikah wajib ngerjain PR masing-masing, mempelajari hal-hal ini. Semoga bermanfaat buat yang mau menikah, baik dengan WNA maupun yang dengan sesama WNI. Masing-masing ada tantangan dan seninya sendiri-sendiri. :D

      Delete
  2. Terima kasih atas pujiannya, mbak Deny. Saya bersyukur punya Ibu yang pemikirannya sangat visioner. Kalau bukan karena beliau mungkin saya nggak akan mikir sejauh ini. Tapi saya percaya setiap orang punya jalan dan caranya sendiri dalam mempertanyakan pertanyaan2 di atas. Saya yakin mbak Deny juga sudah melakukan "PR" kita sebelum menikah, terutama doa dan niat tulus untuk membangun rumah tangga. Itu senjata paling TOP BGT mbak!!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts