Kisah Tiga Cincin

Baru-baru ini saya membaca sebuah tulisan di internet tentang seorang perempuan muda yang mem-posting foto cincin kawinnya yang terbilang sederhana (untuk ukuran Amerika, setidaknya) dan komentar-komentar terkait cincin tersebut. Banyak orang berkomentar bahwa sekarang setelah pasangan ini sukses, sang perempuan sebaiknya segera 'upgrade' cincinnya. Sang perempuan menolak. Alasannya? Yang penting dalam sebuah pernikahan bukan besarnya berlian di cincin, tapi cinta sejati.

Saya senyum-senyum sendiri. Kisah sang perempuan mengingatkan saya akan kisah cincin pertunangan dan cincin perkawinan saya sendiri. Ini cerita pendeknya ya....

Cincin Pertunangan
Suami saya adalah Warga Negara Asing (WNA) asal Amerika. Ketika kami memulai pacaran, kami sudah serius bahwa tujuan hubungan kami itu adalah untuk pernikahan. Jadi dalam waktu 6 bulan sejak 'jadian' dia sudah melamar saya, secara Amerika, tentu saja. Itu loh, yang sering digambarkan di film-film, bahwa si laki-laki akan berlutut sambil membuka kotak berisi cincin berlian sebesar telur, sambil berkata "Will you marry me?".

Harus saya akui si dia tidak berlutut ketika melamar saya, tapi dalam perjalanan semenjak saya mengenalnya, dia telah menunjukkan niat dan hati yang sepenuhnya rela lebih daripada sekedar berlutut untuk saya. Lalu, apakah dia memberi saya cincin berlian sebesar telur itu?

Sekadar informasi, dalam standar tradisi masyarakat Amerika yang diinisiasi oleh perusahaan berlian De Beers di awal abad 20, seorang laki-laki harus mempersembahkan cincin pertunangan berhiaskan berlian minimal seharga 2 (dua) hingga 3 (tiga) kali gaji bulanannya. Sebuah strategi pemasaran yang luar biasa, hingga menjadi tradisi dalam waktu kurang dari 50 tahun! Bagi yang ingin tahu lebih dalam mengenai sejarah cincin pertunangan berlian di Amerika Serikat, bisa membaca artikel dari The Atlantic di sini

Jawabannya....tidak, saudara-saudara. Saat itu kami berdua masih berstatus mahasiswa S2. Gaji? Jelas nol. Lha wong masih sekolah dan belum bekerja. Tapi dia tetap berniat memberikan sesuatu sebagai tanda niat baiknya. Pada saat itu dia menyelipkan sebuah cincin mainan dari aluminium yang dia temukan di tepi jalan ketika dia kelas 2 SD. Dia memungutnya dan menyimpannya selama dua puluh tahunan untuk akhirnya diberikan kepada saya.

Hah? Kok mau-maunya dilamar pake cincin aluminium? Mungkin begitu komentar beberapa orang. Tapi saya selalu jawab, bahkan kalau tidak diberi apa-apa sekalipun saya akan tetap terima kok. Karena yang penting itu makna dibaliknya, sebuah pengingat akan janji untuk berkomitmen seumur hidup pada saya.

Suatu hari di tahun kedua kuliah, beberapa minggu setelah kami bertunangan, kami pergi ke sebuah toko kerajinan tembaga di kota dekat kampus, Calumet. Kampus saya terletak di daerah pertambangan tembaga. Di toko tersebut dia bertanya kepada penjaga tokonya apakah mereka menjual cincin. Si mas-mas penjaga toko segera menunjukkan rak khusus perhiasan kerajinan tembaga oleh seniman lokal. Dia (Tunangan saya, bukan mas-mas penjaga toko ya. Nanti malah aneh jadinya.) meminta saya memilih cincin yang saya suka dan dia memilih juga cincin untuk dia sendiri. Saya memilih cincin kecil dengan ukiran di sampingnya, sementara dia memilih cincin polos tapi lebar karena jari dia cukup besar dibandingkan saya. Kemudian dia membayarnya. Setelah kami keluar dari toko, dia mengambil tangan kiri saya, melepaskan cincin aluminium itu, dan menyelipkan cincin tembaga yang baru kami beli. Itulah cincin resmi pertunangan kami.

Harganya? Cincin saya saja paling pol $10. Tapi kalau dihitung-hitung, cincin pertunangan kan harusnya 3 kali gaji. Kalau gajinya nol, tentunya berapapun yang dia bayarkan untuk cincin sudah lebih dari standar. Hehehehehh......*nyari alasan*. Tapi bener kok. Saya menghargai usahanya memberikan yang terbaik buat saya dengan kemampuan dia saat itu. Mampunya memberi cincin tembaga? Why not? Menurut saya itu lebih menunjukkan hatinya, bahwa dia, bagaimanapun kondisinya, akan selalu memberikan yang terbaik yang dia mampu untuk saya, untuk kami, untuk keluarga kami di masa depan.

Oh ya, sekadar catatan, di budaya Amerika pihak laki-laki jarang yang memakai/membeli cincin pertunangan untuk mereka sendiri. Biasanya hanya perempuan yang mengenakannya. Entah kenapa, fakta bahwa tunangan saya memilih untuk memakainya membuat saya semakin percaya akan niatnya.

Sampai saat inipun saya masih mengenakan cincin itu, meskipun sudah pudar kilau tembaganya. Cincin aluminium, cincin pertunangan aslinya masih saya simpan, meski tidak saya pakai lagi karena sudah pudar dan rapuh.


Cincin Perkawinan
Kami bertunangan selama 3 tahun lebih sebelum menikah. Ketika kami akan menikah, kami mulai memikirkan cincin kawin. Kami berdua orangnya lebih suka hal-hal yang sederhana dan simpel, maka kami berniat memilih cincin kawin emas polos, tanpa permata atau ukiran apapun di permukaannya (kecuali grafir nama di lingkar dalam cincin ya).

Saat itu, sekitar awal tahun 2010, yang sedang trend adalah cincin kawin tritone, semacam cincin dengan tiga warna emas (emas putih, emas kuning, dan emas merah jambu/rose gold) dijalin dalam satu cincin. Kami sendiri nyaris tidak percaya betapa sulitnya mendapatkan cincin yang polos!

Setiap kami bertanya di toko perhiasan, yang paling polos saja selalu ada sebutir berlian, atau ukiran, atau desain lainnya. Ya ampun, kami ini cuma cari yang emas polos, susah amat ya? Kemungkinan besar penyebabnya adalah kami tidak tahu ke mana harus mencari! Maklum, saya orang rumahan yang kurang suka jalan-jalan, dan kurang suka pakai perhiasan, jadi tidak tahu tempat-tempat terbaik untuk mencari. Sementara calon saya waktu itu adalah WNA yang jelas tidak tahu mana-mana soal kota saya di Indonesia. Komplitlah sudah. Kami hanya bisa mengandalkan mall.

Akhirnya, setelah mengunjungi banyak toko, kami melihat display cincin polos di sebuah toko perhiasan di salah satu mall terbesar di Surabaya. Tertarik, kami masuk. Mereka ternyata punya cincin persis seperti yang kami inginkan! Akhirnya! Kamipun langsung memesan saat itu juga. Dua minggu kemudian cincin kami sudah jadi, lengkap dengan grafir nama kami di dalamnya.

Hore! Setelah menikah, kami tetap memakai 2 cincin: tembaga dan emas. Tembaga mengingatkan kami akan tempat di mana kami dipertemukan, di sebuah kampus di ujung utara Michigan, Amerika Serikat yang merupakan daerah pertambangan tembaga. Saking terkesannya ibu saya akan cerita itu, beliau mendesain undangan dan suvenir pernikahan kami dengan menyertakan unsur tembaga di dalamnya: koin tembaga khas Bali dengan lubang di tengahnya. Bagi yang menerima undangan dan suvenir, pasti anda tahu!



Unik?
Banyak teman dan kerabat, terutama di Amerika, yang menganggap kisah cincin kami ini unik. Di Amerika, begitu seorang perempuan dilamar, mereka akan memamerkan cincinnya ke semua orang, kadang lengkap dengan menyebutkan jenis logam, jenis batu permata, besarnya karat permata, jenis potongan batu permata, dan lain sebagainya, untuk saling membandingkan, menginspirasi, bahkan mencela. Jadi apa yang kami lakukan ini sebenarnya lumayan anti-mainstream di Amerika sini. Anti-mainstream masuk kategori unik, nggak? Hahah......

Ada pula teman Amerika yang terinspirasi dengan cincin kawin saya yang tergrafir nama suami dan cincin suami yang tergrafir nama saya. Mertua saya menunjukkan bahwa mereka menggrafir ayat Alkitab tentang cinta sejati dan kesetiaan di cincin pernikahan mereka. Banyak kisah, banyak inspirasi, dan banyak keunikan dalam selingkar dua lingkar cincin!

Terlepas dari semua ini, semua cincin pertunangan/pernikahan tentunya unik dan istimewa bagi pemiliknya. Masing-masing memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Demikian pula bagi saya. Saya tidak pernah tergoda untuk meminta suami saya membelikan cincin pertunangan baru sesuai standar tradisi Amerika. Paling kalau cincin tembaga saya akhirnya putus, saya akan beli tembaga lagi. Eh salah, saya akan minta dia membelikan saya cincin tembaga lagi! Hahahah.......Jadi, saya memilih untuk menikmati kisah saya, memaknainya, dan tak lupa, membangga-banggakannya juga! Syukur-syukur bisa menginspirasi.

So Ladies, tetaplah saling menginspirasi.










Comments

  1. Cerita suamimu yg nyimpan cincin dari masa kecilnya itu kyk cerita2 anime Jepang gitu ya,hahaha... Eh btw aku juga sudah lama pgn nulis soal cincin kawin mbak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya? Animenya apa ya? Ayo ndang nulis soal cincin kawin. Tak tunggu. Di sini lebih heboh cincin tunangan sih, biasanya para bride-to-be itu pada posting foto cincin tunangan, membandingkan dengan sesama bride-to-be di internet mulai dari batunya apa, berapa karat, bentuknya apa, warnanya apa, logamnya apa, berapa karat....weleeehhh.......akhirnya kan malah bisa bikin kita tidak puas dengan apa yang diberikan oleh calon pasangan. Apalagi ada standar 2-3 kali gaji bulanan. Kalo ga salah ini dipopulerkan perusahaan berlian DeBeers.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts