Tentang Histerektomi (6): Hari-H!!

Maaf kelupaan menuliskan emosi saya di minggu terakhir sebelum operasi. Ini dia.

Catatan Emosi Minggu Sebelum Opearsi
Di serial sebelumnya saya sudah ceritakan emosi saya sepanjang perjalanan ini: mulai tidak percaya, marah, menerima, ketakutan ditinggalkan, takut tidak lagi memiliki harga diri, dan sejenisnya. Dalam minggu terakhir ini, perasaan saya menjadi sedikit aneh.

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)
Saya merasa lebih tenang, dan lebih ikhlas. Tapi ada satu perasaan yang berbeda: kalau di minggu-minggu sebelumya saya takut ditinggalkan dan tak dicintai, di minggu terakhir ini saya justru merasakan sikap yang menurut saya aneh. Saya merasa dan berpikir begini: "Kalau misalnya suami saya tak lagi mencintai saya dan meninggalkan saya karena saya tidak bisa memiliki anak, maka memang saya pantas diperlakukan demikian."

Saya menceritakan ini kepada suami dan Ibu Mertua, dan mereka dengan lembut tapi tegas, menolak pandangan tersebut. Ibu Mertua bahkan mengatakan bahwa saya dan perempuan manapun yang berada dalam situasi yang sama, tidak boleh diperlakukan demikian. Bagi beliau, tidak pantas seorang laki-laki meninggakan istrinya hanya karena istrinya tidak dapat memiliki anak. Beliau yakin, sebagai ibu dari suami saya yang mengenal betul anaknya, bahwa anaknya tidak akan meninggalkan saya.

Dari reaksi dua orang terdekat saya di Amerika sini, saya belajar meyakini bahwa saya, dengan ataupun tanpa rahim, tetaplah seorang perempuan yang lengkap, utuh, berharga, dan pantas dicintai.

Rabu, 27 September 2017, Pukul 4:00 Pagi
Inilah harinya! Saya segera bangun dan mempersiapkan diri. Sejak pukul 10 malam sebelumnya saya sudah harus puasa penuh sebagai persiapan operasi. Saya segera menuju ke kamar mandi untuk sekali lagi mandi dengan sabun khusus dari Rumah Sakit. Pihak Rumah Sakit juga menjelaskan bahwa setelah mandi saya tidak diperbolehkan menggunakan deodoran, parfum, maupun kosmetik. Harus polosan.

Berhubung setelah operasi nanti bagian bawah perut saya pasti sakit, saya memilih baju batik (dress) one piece, yang model daster itu loh, tapi untuk acara resmi. Kalau pakai celana panjang, apalagi jeans, bagian perut ini akan mendapatkan tekanan, yang tentunya akan tidak nyaman. Semua perhiasan saya, yaitu cincin tunangan, cincin kawin dan jam tangan saya tinggalkan di rumah. Pihak Rumah Sakit sudah menekankan bahwa saya perhiasan harus ditinggalkan di rumah saja, dan tidak boleh ada perhiasan saat memasuki ruang operasi.

Sesuai instruksi, saya mengepak buku, jubah kamar, sepasang sandal yang nyaman (slipper) dan sedikit kebutuhan pribadi. Dokter memprediksi saya paling pol hanya perlu menginap semalam di Rumah Sakit, jadi tidak perlu bawa yang aneh-aneh. Semua kebutuhan seperti sikat gigi dan sejenisnya akan disediakan pihak Rumah Sakit.

Pagi itu kakak saya mengirimkan pesan Whatsapp, disambung dengan Ibu saya yang menelepon dari Indonesia. Seluruh keluarga memberikan dukungan dan doa, yang sungguh membuat saya jauh lebih mantap dan bersyukur. Saya meyakini bahwa saya telah mengambil keputusan yang tepat. Sayapun tak lupa memanjatkan doa untuk hari besar ini, memohon kekuatan, keberanian, dan kemantapan hati, serta berdoa bagi seluruh Tim Dokter agar mereka mendapatkan hikmat dan bimbingan dariNYA dalam melaksanakan operasi saya.

Setelah semua siap, kami berangkat menuju Rumah Sakit.


Rumah Sakit Lutheran Medical Center, Pukul 5:30 Pagi
Setiba di Rumah Sakit kami langsung check-in dan mengurus surat-surat kelengkapan berikut pembayaran yang diperlukan. Saat kami mendaftar, Ibu Mertua datang dan bergabung bersama kami. Kami memang merencanakan bahwa suami dan Ibu Mertua akan mendampingi saya sepanjang hari ini.


Setelah pendaftaran umum selesai, kami diminta check-in di bagian operasi yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari registrasi umum. Saat berjalan, saya merasa bahwa pendarahan saya mendadak menjadi hebat! Saat mengisi formulir di Registrasi Operasi, saya merasakan bahwa darah sudah mengalir di paha dan kaki saya! Saya buru-buru minta maaf dan menjelaskan situasinya kepada perawat yang menjaga registrasi. Beliau langsung menunjukkan arah kamar mandi supaya saya dapat segera ganti pembalut. Saya ganti pembalut baru 1 jam yang lalu! Sepertinya rahim saya tahu kalau dia akan segera dieksekusi, makanya langsung ngamuk seperti ini! Drama banget.

Suami saya menyelesaikan urusan pendaftaran, sehingga ketika saya kembali saya langsung menuju ruang tunggu. Ruang tunggu ini nyaman sekali, dengan beberapa sofa, meja rendah, dan perapian. Di dinding ada sebuah layar besar yang berisikan jadwal operasi berikut status operasi hari itu. Di situ terpampang nama pasien, jenis operasi, dokter yang menangani, jam operasi berikut lamanya operasi, serta status operasi (ruang tunggu, ruang praoperasi, ruang operasi, sedang operasi, atau ruang paskaoperasi). Nama saya belum ada, tapi ternyata sudah ada orang yang sedang menjalani proses operasi. Wuih, semakin dag dig dug saya.

Suami dan Ibu Mertua, sebagai pendamping, telah diberi tahu bahwa hanya salah satu dari mereka yang dapat menemani saya hingga ke ruang praoperasi. Sepanjang berlangsungnya operasi, salah satu perawat dalam tim operasi saya akan menjadi penghubung antara tim dokter dengan keluarga saya, dan akan memberitahukan keluarga saya apabila ada hal-hal yang harus mereka ketahui. Ketika operasi saya selesai, mereka berdua akan dipanggil untuk masuk ke ruang konsultasi, di mana dokter saya akan menemui mereka dan menjelaskan jalannya operasi berikut hasilnya. Sama halnya seperti di ruang praoperasi, hanya salah satu dari mereka yang dapat menemui saya di ruang pemulihan/paskaoperasi sebelum saya dipindahkan ke kamar biasa. Saya baru akan dipindah ke kamar biasa setelah saya sadar penuh dari pengaruh anestesi.

Jadi mereka sudah tahu tahapan-tahapan dan apa yang diharapkan selama menunggu. Beneran, saya sungguh kagum dengan bagaimana Rumah Sakit Amerika menangani pasien-pasiennya! Semua begitu jelas!


Ruang Praoperasi
Tak lama kemudian saya dipanggil oleh seorang perawat.  Saya dan suami diantar menuju ke salah satu ruangan praoperasi. Ruangannya seperti kamar rumah sakit biasa, dilengkapi kamar mandi dan TV.

Persiapan dimulai dengan saya mengganti baju batik saya dengan gaun rumah sakit. Saya juga diberi kaus kaki untuk menjamin saya tetap hangat selama berlangsungnya operasi. Sambil berganti baju, saya diminta mengambil sampel urine saya untuk tes kehamilan. Meskipun saya sudah menggunakan pil KB dosis tinggi setiap hari, mereka tetap harus memastikan bahwa saya tidak hamil sebelum mereka dapat melakukan operasi angkat rahim.

Perawat segera mempersiapkan saya untuk operasi. Infus dipasang di pergelangan tangan kiri. Sebelum memasangkan infus, perawat menyuntikkan bius lokal (sakit bok!), barulah setelah kebas beliau memasangkan jarum infus. Jarum infusnya terbuat dari plastik yang sangat fleksibel, jadi saya tidak perlu takut kalau harus menggerakkan tangan. Di lengan atas sebelah kanan dipasang cuff untuk mengukur tekanan darah, dan di jari tangan kanan dipasang pengukur kadar oksigen dalam darah (oxygen saturation level). Setiap beberapa menit sekali alatnya akan melakuakan pengukuran.

Di kedua kaki saya juga dipasangi cuff yang akan menggelembung dan mengempes secara bergantian. Tujuan pemasangan alat ini adalah untuk membantu kelancaran peredaran darah selama operasi berlangsung dan pemulihan setelahnya (karena saya akan berbaring dan tidak banyak bergerak), agar tidak terbentuk gumpalan darah di dalam pembuluh darah. Gumpalan darah dalam pembuluh darah dapat bergerak ke organ-organ di dalam tubuh dan menyumbat aliran darah. Ini bisa membahayakan nyawa!

Astaga, sepagi ini saya sudah seperti diikat ke tempat tidur: tangan kanan dan kiri serta kaki kanan dan kiri terhubung ke mesin! Perawat dan suami menyelimuti saya dengan dua lapis selimut, untuk menjaga badan saya tetap hangat. Ruang operasi akan sangat dingin, jadi mereka harus memastikan saya tidak kedinginan.

Ketika perawat sedang melakukan semua itu, saya iseng bercerita tentang pendarahan saya yang mendadak hebat sampai darahnya mengalir ke kaki saya pagi itu. Beliau tertawa dan bilang, "Oh, itu sudah biasa. Sebelum operasi angkat rahim, sering kali pendarahan menjadi deras mendadak! Sepertinya rahimnya tahu kalau dia mau diangkat lalu mulai berulah!" Hahahah..........

Tak lama kemudian Tim Operasi saya mulai berdatangan. Saya dan suami diperkenalkan kepada perawat yang akan menjadi asisten dokter saya selama operasi, perawat yang akan menjadi penghubung, dan dokter spesialis anestesi. Saya lega sekali begitu melihat beliau, karena beliau tidak menelepon saya sehari sebelumnya seperti yang dijanjikan. Saya segera menyampaikan kekhawatiran saya tentang accidental awareness dan pengalaman saya seperti yang saya tulis di Tentang Histerektomi bagian 4. Saya ceritakan bahwa saya pernah setengah sadar ketika sedang operasi kuret.

Berhubung rekam medis kuret saya tidak tersedia (saya kuret di Surabaya), beliau menduga hal itu disebabkan karena kuret adalah operasi kecil yang singkat, sehingga bius yang diberikan juga bukanlah bius yang membuat saya tertidur pulas. Tujuannya sebenarnya baik, yaitu supaya saya dapat segera sadar, segera pulih dan bisa segera pulang. Tapi tentu saja ada kemungkinan bahwa saya akan sadar lebih cepat dari yang diperkirakan.

Dokter spesialis anestesia meyakinkan saya bahwa dia akan membuat saya tertidur pulas, dan bahkan akan memberikan obat khusus yang akan membuat saya lupa akan apa yang saya alami. Saat saya sadar nanti, yang saya ingat hanya ruang praoperasi. Siiippp!!! Sebelum memasuki ruang operasi saya juga diberi sejenis obat penenang yang akan membantu proses 'lupa' itu nantinya. Baiklah!

Beliau menjelaskan tentang jenis anestesi yang akan saya terima nanti. Tapi berhubung penjelasannya cukup kompleks, saya tidak paham sepenuhnya. Yang saya ingat adalah bahwa beliau akan memberikan bius total dan pelemas otot untuk memasukkan alat bantu nafas ke dalam tenggorokan saya, kemudian beliau menjelaskan sesuatu seperti bius khusus di daerah perut....entahlah. Saya tidak terlalu ingat. Tapi yang jelas, penjelasan beliau sangat menenangkan saya. 

Dokter saya tiba sedikit terlambat karena ada kecelakaan di jalan tol yang menghambat laju lalu lintas, tapi kami masih bisa tetap menjalankan operasi sesuai jadwal. Begitu beliau datang, saya langsung dipersiapkan. Kacamata saya dan anting saya yang lupa saya lepaskan tadi pagi saya serahkan ke perawat yang langsung meletakkannya di sebuah kotak kacamata khusus yang disiapkan rumah sakit. Mereka yang akan memastikan barang-barang saya, termasuk tas dan baju, akan langsung mereka tempatkan di kamar saya. Suami saya menggenggam tangan saya dan mencium dahi saya, meyakinkan saya bahwa semua akan baik-baik saja dan mengatakan bahwa dia mencintai saya.  Kemudian mereka mendorong tempat tidur saya menuju ruang operasi.


Ruang Operasi dan Paskaoperasi
Ruang operasinya cukup luas, mengingatkan saya akan lapangan bola basket indoor (ga nyambung banget ya). Di tengah-tengah ruangan ada meja operasi yang dikelilingi berbagai peralatan, monitor, dan lampu. Perawat memarkir tempat tidur saya persis di samping meja operasi.

Dokter (atau perawat ya? Lupa saya) menginstruksikan saya untuk pindah ke meja operasi, dan meminta saya untuk menempatkan bagian perut di posisi yang sudah mereka persiapkan di atas meja. Rasanya gimana gitu, menempatkan diri sendiri di meja operasi. Tapi karena saya sudah niat, sayapun memposisikan tubuh saya di atas meja operasi sesuai instruksi tim operasi.

Dokter spesialis anestesi sudah berada di samping saya, bersiap untuk menghubungkan berbagai mesin dan monitor terkait anestesi ke tubuh saya. Beliau, seorang perempuan yang sangat ramah, berkata dengan hati-hati: "Ini saya akan memasukkan obat anestesi awal ke dalam sistem infusmu ya."

Saya mengiyakan dan kemudian memejamkan mata, menunggu tahap selanjutnya.

Sesaat kemudian saya mendengar seorang perempuan berbicara cukup keras. Beliau sedang menjelaskan ke seseorang tentang kondisi saya. Saya ingat salah satu informasi yang beliau sampaikan adalah bahwa meskipun saya sudah tidak memiliki rahim lagi, saya masih akan merasakan sakit di lokasi rahim dulunya karena ujung-ujung syarafnya masih ada. Juga informasi bahwa semuanya berjalan lancar.

HAH? Operasinya sudah selesai?!?!? Operasi yang katanya 3 jam itu?!?!? Rasanya hanya berlangsung sekedipan mata! Mantap bener ini anestesinya!

Saya mulai membuka mata dan bergerak. Wuih, rasanya pusing dan mual sekali! Maka saya tutup lagi mata saya untuk mengurangi pusingnya. Perawat segera menghampiri saya dan mengajak saya bicara, menanyakan apakah saya sudah sadar penuh dan sudah dapat memahami apa yang beliau katakan. Saya jawab ya, dan beliaupun mulai menjelaskan apa yang sudah saya dengar tadi dari suara perempuan yang keras itu. Operasi saya lancar, dilakukan dengan metode laparoskopi (jadi perut saya tidak dibuka! Hore!), saya masih akan merasakan sensasi di daerah rahim meski rahimnya sudah tidak ada, dan bahwa sebentar lagi suami saya akan diperbolehkan menengok saya. Ternyata saya sudah berada di ruang Paskaoperasi!

Perawat tersebut menanyakan apa yang saya rasakan saat itu. Apakah saya merasakan sakit yang tajam dan amat sangat, berhubung biusnya sudah mulai luntur? Saya jawab bahwa saya tidak merasakan sesuatu yang luar biasa. Yang saya rasakan hanyalah rasa sakit datang bulan (kram di perut bagian bawah kalau kita sedang haid, yang lumrah disebut dilep) yang tergolong biasa kalau dibandingkan dengan sakitnya ketika saya pendarahan dulu. Ada sih sakit di luka operasi, tapi tidak seberapa. Masih dalam batas yang dapat saya atasi tanpa penghilang sakit golongan narkotika kelas berat. Cukup parasetamol saja. Meskipun demikian, perawat memberitahukan bahwa saya sudah diberi resep penghilang sakit golongan narkotika, kalau-kalau sakitnya menjadi tak tertahankan. Saya tinggal bilang saja.

Tak lama kemudian, saya mendengar suara suami saya saat dipanggil oleh perawat. Saya kembali membuka mata dan sungguh senang saya dapat melihat wajahnya lagi! Dia menggenggam tangan saya, dan menceritakan bahwa semua baik-baik saja, operasinya sukses dan lancar, dan sebentar lagi saya akan dipindahkan ke kamar. Dia hanya meminta saya untuk istirahat dan tidak usah berpikir yang aneh-aneh. Setelah mencium dahi saya perawat mengantarnya ke kamar, sementara saya masih harus menunggu.

Sambil menunggu, saya kembali mengevaluasi perasaan saya. Apa yang saya rasakan setelah semua ini berakhir? Sedih? Hancur berantakan? Takut? Kecewa? Rendah diri?

Sama sekali tidak! Perasaan yang paling kuat yang saya rasakan adalah: LEGA. Ada sebuah kelegaan, ketenangan, rasa syukur dan sukacita yang luar biasa yang saya rasakan. Sayapun tersenyum. Saya tidak tahu apakah senyum saya ini nampak di wajah saya, tapi yang jelas dalam hati saya tersenyum. Saya bersyukur, berterima kasih padaNYA yang telah membantu saya melewati semua ini.

Pikiran-pikiran saya juga sungguh positif. Saya sampai heran sendiri. Memang badan saya rasanya tidak enak, ada rasa sakit, tapi yang terpatri dalam pikiran dan hati saya adalah kata-kata ini:

"Dari sini, semuanya hanya akan menjadi lebih baik. Rasa sakit saya akan berkurang detik demi detik. Tubuh saya akan semakin sehat seiring berjalannya waktu. Kehidupan saya akan semakin baik, menit demi menit. Semuanya akan menjadi baik, lebih baik!"

Saya masih sangat pusing dan mual, ketika tiba-tiba saya mendengar orang-orang mulai berbicara di sekitar saya, memberitahukan bahwa saya akan dipindahkan ke kamar. Tempat tidur saya mulai bergerak, dan aduhaaaii! Pusing dan mualnya semakin menjadi-jadi. Apalagi perawatnya mendorong tempat tidur saya ala pambalap gitu. Adduh masss, pelan-pelan dong! Saya tetap menutup mata saya selama saya didorong, tapi saya bisa merasakan apa yang kami lewati: keluar ruang paskaoperasi melalui pintu, memasuki elevator, elevator bergerak ke atas, kemudian didorong lagi menuju kamar. 

Sesampainya di kamar perawat-perawat kembali menempatkan dan memasangkan peralatan di sekeliling saya. Saya bisa melihat dan mendengar bahwa suami dan Ibu Mertua saya sudah berada di kamar bersama saya. Ah, rasanya nyaman sekali berada di antara mereka, meski pusing-mual sehabis balapan tempat tidur ini cukup parah. Mereka menempatkan sebuah wadah ukuran sedang di tangan saya kalau-kalau saya perlu muntah. Setelah selesai segala kehebohan ini, mereka semua, termasuk suami dan Ibu Mertua, meminta saya untuk istirahat, untuk tidur kalau saya bisa. Maka sayapun memejamkan mata, dan kembali tertidur.

Kali ini, saya tertidur dalam senyuman.























Comments

  1. Halo Mba Dhita, sudah lama gak update blognya ya. Saya nungguin postingan tentang post-histerekomi loh padahal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Gracey, saya barusan posting bagian ke-7. Kalau berminat silakan mampir kembali. Terima kasih!

      Delete
  2. Hallo mbak Gracey! Iya nih mbak, mohon maaf sekali. Sejak kembali bekerja saya mesti "kejar setoran" pekerjaan yang tertunda karena operasi. Minggu ini mudah-mudahan semua selesai dan saya bisa kembali menulis. Semoga mbak Gracey berkenan menunggu sedikit lagi ya. Terima kasih banget atas suntikan semangat ini!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts