Pesan Ibu: Warisan

 Saat rehat mengajar saya melihat video seseorang yang berduet piano dengan tetangganya. Cerita mereka sangat menyentuh, bikin saya mewek. Selesai mengajar saya mendadak sontak ingin main piano. Sudah beberapa minggu ini saya tidak main piano untuk diri sendiri karena banyaknya pikiran dan stress. Maka mulailah saya memainkan lagu "Clair de Lune" karya Debussy. 

Pembukaan lagu "Clair de Lune"-nya Debussy ini begitu indah dan teduh, seperti melihat bayangan cahaya rembulan di permukaan danau yang tenang.  Bagi saya lagu ini sungguh meditatif, membuat kita tenang dan fokus. Saat bermain, saya merasa sungguh bersyukur bahwa saya memiliki karunia untuk memainkan piano, bahwa orang tua saya telah memperkenalkan saya pada dunia musik dan mendukung pertumbuhannya............sebuah warisan yang tak ternilai harganya. 

Warisan. Kata ini menghentak saya. Saya tiba-tiba teringat akan Ibu, dan pesan beliau mengenai warisan. Maka di sinilah saya, menulis pesan Ibu mengenai warisan.

 

Ilustrasi oleh: Aan P. Nirwana (IG: apnirwana)

Warisan Keluarga

Kalau saya mendengar kata warisan, yang terbayang di otak saya adalah harta, baik itu uang, rumah, usaha, kendaraan bermotor, dan sejenisnya. Selain itu, terbayang juga sinetron Indonesia yang biasanya juga berputar di masalah berebut warisan. Kadang dalam hidup masalah warisan keluarga ini bisa membuat saudara jadi musuh dalam selimut, bahkan bisa sampai saling membunuh. 

Pembaca yang cukup rajin mengikuti blog saya (terima kasih ya sudah setia membaca) tentunya tahu bahwa ayah saya sudah meninggal ketika saya berusia 15 tahun. Saat ayah meninggal, rumah kami sedang direnovasi, kakak tertua baru memasuki semester kedua kuliah, dan kakak kedua masih kelas 2 SMA. Ibu saya saat itu tidak bekerja. Jadi bisa dibayangkan kondisi keuangan kami seperti apa. Kami bersyukur bahwa kami tidak pernah sampai kekurangan, meski tidak berlebih juga. Tuhan masih sangat memberkati kami di tengah segala keterbatasan yang ada.

Meski demikian, Ibu tetap bersikeras bahwa kami bertiga harus kuliah. Les piano saya juga diusahakan tidak sampai berhenti, meski kadang harus terlambat membayar uang les. Selain itu, beliau juga terus mendidik kami dengan cukup keras tapi dilandaskan pada logika dan kasih. Kami, terutama putri-putrinya, dididik untuk mandiri dan wajib untuk memiliki keterampilan yang bisa dijadikan sandaran hidup apabila, karena alasan apapun (sakit, PHK, atau meninggal dunia), pasangan kami tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Beliau berkaca pada pengalaman hidup beliau sendiri, ditinggalkan suami untuk membesarkan ketiga anak seorang diri. 

Ibu saya adalah orang yang sangat bijaksana dan serba bisa. Beliau memiliki pendidikan sarjana pendidikan seni rupa. Ibu saya pandai memasak/membuat kue, mendesain dan menjahit baju, menari, melukis, menata rumah, menyanyi, tata rambut dan tata rias. Saya ingat betul beliau adalah orang yang suka belajar. Ketika kami masih kecil, Ibu rajin ikut kursus mulai memasak sampai tata rias. Ketika ayah meninggal, semua keterampilan beliau inilah yang menjadi tulang punggung finansial keluarga kami, yang akhirnya bisa meluluskan tiga anaknya menjadi sarjana. Bahkan salah satunya, saya, bisa melanjutkan ke jenjang master dengan beasiswa.


Warisan yang Memelihara

Dengan situasi keluarga yang demikian, orang tua saya tidak memiliki hal-hal besar untuk diwariskan. Kami hanya punya satu rumah, ya rumah Ibu. Mobil Ibu hanya satu, yang beliau miliki sejah ayah masih ada. Tabungan uang tidak banyak, karena Ibu selalu bilang bahwa beliau menerima pensiun janda, yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada kalau ayah saya pensiun hidup. Tidak cukup untuk hidup sehari-hari. Ibu ada usaha salon kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apa yang mau diwariskan?

Di sinilah pesan Ibu begitu bermakna buat saya. Ibu berkata:

"Ibu tahu, Ibu tidak punya harta untuk Ibu wariskan pada kalian bertiga. Tapi Ibu ingin kalian  menerima warisan berupa ilmu pengetahuan, keterampilan dan karakter yang baik. Warisan yang akan tetap menjaga dan memelihara kalian ketika Ibu sudah tidak ada nanti."


Dulu, saya mendengarkan ini sambil lalu saja, karena saya pahamnya hanya bahwa memang kami tidak punya banyak harta dan saya sendiri tidak menginginkan warisan. Namun sekarang, setelah saya dewasa, menikah dan hidup  merantau, barulah saya menyadari betapa besarnya warisan yang telah saya terima dari beliau dan almarhum Ayah: mulai dari musik, astronomi, ilmu lingkungan, berbagai keterampilan, problem solving, kemandirian, dan karakter!


Meneruskan Warisan Ibu

Seirinig nada-nada "Clair de Lune" yang terus mengalun, air mata saya menetes. Tiap nada yang keluar dari piano ini adalah warisan dari orang tua saya. Terbayang susah payah beliau memastikan saya bisa tetap les dan berkembang setelah ayah tidak ada: mencarikan biaya, mengantar-jemput saya les di cuaca apapun, menghadiri konser dan lomba, mendukung saya menjadi pianis di Festival Paduan Suara Remaja Internasional 1998 di Jepang meski harus mengantar di tengah suasana negara yang kacau akibat krisis moneter. Beliau tidak pernah bosan mendengarkan latihan saya, meski saya harus mengulang-ulang lagu yang sama.   

Tanpa saya sadari, ketika beliau sedang mewariskan musik pada saya, beliau juga sedang mewariskan karakter. Beliau menjadi teladan bagi saya, bagaimana menjadi perempuan yang mandiri, bertanggung jawab, tangguh, pemberani, pantang menyerah, namun pasrah sepenuhnya pada Yang Kuasa. Saya benar-benar menerima warisan yang tetap menjaga dan memelihara saya dalam menghadapi hidup, meski beliau berada jauh dari saya. 

Saya tidak memiliki anak, tentunya saya tidak bisa mewariskan ini pada anak saya. Namun saya berharap, warisan orang tua saya bisa menemukan jalannya ke kehidupan orang lain yang saya sentuh, baik melalui persahabatan, proses belajar-mengajar piano, tulisan-tulisan curcolan ini, tulisan Astronomi, dan jalan-jalan lain yang tak terbayangkan oleh saya. 

Ada orang yang bisa mewariskan harta melimpah, namun tidak mampu mewariskan apa yang telah diwariskan orang tua saya. Sesuatu yang tidak akan bisa direbut, disengketakan, atau dihabiskan. Malah, warisan ini akan tetap bertumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya waktu dan pengalaman hidup.

Terima kasih, Bapak, Ibu.......terima kasih, Tuhan!






Comments

Popular Posts