Rumah Sakit Jiwa: Siapa Takut? (1)

Sebagai warga Kota Surabaya, kita tentunya tidak asing dengan Rumah Sakit Jiwa Menur. Begitu terkenalnya Rumah Sakit Jiwa (RSJ) ini di Surabaya, berbagai gurauan muncul. Misalnya, gurauan kalau seseorang bertingkah aneh, kita akan bilang "kirim aja ke Menur", atau "Baru keluar dari Menur dia". Mungkin sekarang malah sudah jadi meme.

Di masyarakat umum, sebagian dari kita memandang sebelah mata mereka yang memiliki masalah dalam kesehatan mental, apalagi kalau sampai harus dirawat di RSJ.Auto-stigma "Gila". Saya sendiri, meski tidak memandang rendah mereka yang membutuhkan pertolongan di RSJ, saya mendengar banyak cerita horor tentang perlakuan karwayan seperti perawat dan dokter di RSJ, baik di Indonesia maupun Amerika. Jadi, meski saya tidak anti RSJ, saya lumayan takut kalau harus masuk RSJ. Jangan-jangan saya diikat atau dipaska mengenakan jaket orang gila di ruang isolasi. Ngeriiiiiiiii!

Hingga suatu hari, saya harus mengalaminya sendiri. Inilah kisah saya dan RSJ. 


Pada Hari Minggu......

Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota......eh salah. Rupanya penulis lagi kangen nyanyi di paduan suara. Mohon maaf......Pada hari Minggu, 14 Juli 2024 saya mengalami episode depresi berat. Saking beratnya, saya menangis keras, menjerit, dan berpikir tentang berbagai metoda yang bisa saya gunakan untuk bunuh diri. Meskipun saya sedang depresi berat, saya menyadari bahwa diri saya dalam bahaya. Kalau saya benar-benar tidak tahan lagi dengan sakitnya depresi, saya bisa membahayakan diri sendiri, mulai dari melukai diri sendiri hingga bunuh diri. Di tengah segala tangis dan jeritan, saya mohon pada suami untuk menelpon psikolog saya dan membawa saya ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Lutheran. Saat itu malam hari, sekitar pukul 22:00 waktu lokal Colorado, Amerika Serikat. 

Saya masih menangis, menyalahkan diri sendiri, saya ini tak berguna dan gagal dalam segala aspek kehidupan ketika kami tiba di UGD. Oleh petugas rumah sakit, saya langsung dibawa ke UGD bagian Psikiatri/Kejiwaan. Di ruang UGD umum, biasanya ada tempat tidur untuk pasien, alat-alat untuk merekam tanda vital pasien seperti tekanan darah, kadar oksigen darah, komputer untuk staf rumah sakit, kursi untuk pendamping, tempat sampah baik normal maupun untuk limbah rumah sakit (seperti perban habis pakai, jarum suntik habis pakai, pecahan kava kemasan obat, dan sebagainya. Satu sisi ruangannya, tempat pintu masuk, terbuat dari kaca dan ditutup dengan gorden plastik dengan gambar pemandangan yang menenangkan. 

UGD Psikiatri.......berani tampil beda. Saya dituntun oleh perawat, masih menangis, ke ruang perawatan. Ruangan ini boleh dibilang kosong. Hanya ada tempat tidur, wastafel dan lemari kecil untuk menyimpan selimut dan gaun rumah sakit. Begitu masuk, saya diminta melepas semua pakaian, termasuk pakaian dalam, dan langsung diganti dengan gaun rumah sakit. Mereka memasukkan semua baju dan obat-obatan saya ke sebuah tas plastik. Setalah itu petugas sekuriti masuk, melakukan cek logam dengan alat genggam, memastikan tidak ada logam di tubuh saya yang bisa saya pakai untuk bunuh diri. Saya diminta berbaring sementara mereka melakukan cek tanda vital: tekanan darah, kandungan oksigen, ambil darah, dilanjutkan dengan membimbing saya ke kamar mandi untuk ambil sampel urine. 

Saya tidak diperkenankan membawa telepon genggam (hape), laptop, jadi saya benar-benar tidak ada kontak dengan dunia luar, termasuk dengan suami. Saya benar-benar tidak memiliki apapun di ruangan tersebut, selain gaun rumah sakit yang saya pakai. Satu-satunya benda yang mereka izinkan untuk tetap bersama saya adalah cincin kawin. Saya mulai menyadari bahwa komputer dan alat2 untuk tes tanda vital terkunci di lemari besi, yang terhubung ke ruangan lain di mana mereka bisa memonitor saya. Sensor peralatan tersebut disalurkan melalui lubang di lemari besi untuk bisa dipasangkan ke pasien. Mereka benar-benar memastikan tidak ada benda apapun yang bisa digunakan pasien untuk menyakiti atau membunuh dirinya sendiri. 

Perawat, petugas laboratorium dan psikiater bergantian mengunjungi saya. Psikiater menanyakan kenapa saya sampai ada di UGD Psikiatri, dan saya menceritakan segalanya. Saya menangis keras setelah cerita saya selesai, di mana Ibu Psikiater dengan penuh kasih sayang dan pengertian menyelimuti saya dan menepuk lengan saya. "Oh, sayangku......pasti semuanya ini sangat membebani kamu. Malam ini cobalah untuk istirahat. Kami akan memproses datamu dan akan menentukan langkah selanjutnya." Saya hanya bisa mengangguk sambil menangis, menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh saya dan mencoba tidur gaya janin alias melungker. 

Setelah beberapa jam di ruang UGD psikiatri, psikiater kembali memasuki ruangan dan memberitahukan kepada saya bahwa mereka memutuskan saya akan dimasukkan ke Rumah Sakit Psikiatri alias RSJ. Status saya adalah Mandatory Hold (alias Wajib Masuk/"ditahan di RSJ"), di mana saya secara hukum "dipaksa" untuk masuk RSJ baik saya setuju maupun tidak. Lamanya Mandatory Hold adalah 72 jam, setelah itu saya akan dievaluasi kembali apakah perlu tinggal di RSJ lebih lama. Mereka sudah memanggil ambulan untuk mengantar saya ke RSJ. 

Sambil menunggu ambulan saya diperbolehkan menelepon suami untuk mengurus studio saya selama saya di RSJ: memberi tahu semua murid, teman dan keluarga di Indonesia, melanjutkan streak saya di Duolingo dan Kindle (ya, saya tidak rela streak 1125-an hari di Duolingo dan 360-an di Kindle menjadi sia-sia!) dan janjian untuk kontak lagi besok setelah saya aman dan tentram di RSJ. 

Tiga puluh menit kemudian perawat memberitahu saya kalau ambulan saya sudah datang, dan barang-barang milik saya (baju, sepatu, dan obat-obatan) sudah dipercakan ke petugas ambulan. Tak lama kemudian, petugas ambulan masuk ke kamar sambil mendorong kursi roda. Tangisan saya sudah agak mereda, tapi jujur saja saya takut seperti apa RSJ yang akan saya tuju. Apa perawatnya bakalan judes? Apa saya akan diikat ke tempat tidur? Apakah akan ada telepon yang bisa saya pakai, mengingat saya tidak diperkenankan membawa barang elektronik? Apakah saya akan diberi pakaian, mengingat saya hanya pakai gaun dan celana rumah sakit, tanpa pakaian dalam sama sekali? Apakah ada hiburan seperti buku atau permainan untuk melewatkan waktu yang pastinya membosankan?

Berjuta pertanyaan memenuhi pikiran saya ketika saya didorong ke ambulan oleh petugas. Meskipun saya takut, setidaknya saya mendapatkan hiburan tak terduga. Petugas ambulan saya masih muda, mungkin awal 20-an, begitu lembut dan hati-hati ketika memindahkan saya ke ambulan. Yang menjadi hiburan buat saya adalah, tanpa kacamata (suami membawanya karena saya menangis terus semalaman), sang petugas terlihat begitu mirip dengan Pangeran William dari Inggris. Tinggi, tegap, dan tampan. Lumayan ada pemandangan indah tengah malam. Sejuk dan segar bagi mata yang sudah menangis non-stop beberapa jam lamanya. 

Akhirnya, saya diangkut oleh Pangeran William 2.0 ke Rumah Sakit Psikiatri West Pine Behavioral Health di kota Lakewood, Colorado. 


(Bersambung......)





Comments

Popular Posts