Transformasi Mimpi (1): Astronomi

Kita semua memiliki impian: hal-hal yang ingin kita capai, kita miliki, dan kita wujudkan. Namun kita semua juga tahu, ada kalanya kita harus melepaskan impian tersebut karena berbagai alasan. Dalam perjalanan hidup saya, beberapa kali saya harus melepaskan impian saya karena situasi yang sepenuhnya di luar kendali saya.

Meskipun demikian, saya belajar bahwa melepaskan impian bukan berarti saya tidak akan pernah bersentuhan dengan impian tersebut. Kadang, melepaskan impian berarti kita harus menunda, atau lebih keren lagi, mentransformasi impian tersebut menjadi sesuatu yang lebih indah dan bermanfaat bukan hanya bagi kita, namun bagi orang lain.

Serial ini bertujuan untuk berbagi kisah saya, di mana saya harus melepaskan impian dan menggalinya kembali sekian tahun kemudian. Impian tidak pernah mati; hanya bertransformasi.
  

Cinta Pertama Saya
Dari semua bidang ilmu, cinta pertama saya adalah Astronomi atau ilmu perbintangan. Sejak kecil Bapak dan Ibu saya sudah menyediakan banyak buku ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu perbintangan, dunia binatang, dunia tanaman, hingga penemuan modern. Buku favorit saya zaman itu berjudul "Alam Semesta dan Cuaca". Di situ banyak gambar yang menjelaskan tentang tata surya, planet, peta bintang, diagram gerhana, perubahan musim, hingga cuaca/meteorologi.

Saking seringnya saya membaca buku ini, saya bisa menggambar skema gerhana matahari di papan tulis kecil di rumah kami. Setiap kali kakek-nenek atau paman-tante berkunjung, mereka pasti meminta saya menggambar skema gerhana. Seingat saya, saat itu saya belum masuk Sekolah Dasar (SD).

Ketika saya kelas 2 atau 3 SD, komet Halley melintasi Bumi. Majalah dinding di sekolah maupun majalah populer anak-anak banyak yang membahas tentang komet Halley, termasuk kepercayaan bahwa komet yang melintasi di langit akan membawa penyakit dan prahara. Saya ingat betul saya begitu ketakutan sampai harus ditenangkan orang tua saya.

Orang tua saya juga sering mengajak kami melihat rasi-rasi bintang. Kami saat itu tinggal di kota Kediri, Jawa Timur. Di kota tersebut ada pabrik rokok Gudang Garam, yang berbatasan dengan sawah-sawah. Di pembatas antara jalan dan sawah inilah kami sering duduk-duduk, dan Ibu saya akan menjelaskan rasi-rasi bintang dan bagaimana masyarakat Jawa menggunakan rasi tersebut sebagai penanda awal musim tanam. Meski saya belum bisa melihat bentuk rasi yang beliau ceritakan, saya ingat betul peristiwa ini dan sangat menikmati saat-saat itu.

Ketika saya kelas 6 SD, saya sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang Ahli Astronomi kalau sudah besar nanti. Saya bahkan sudah mencari informasi tentang universitas mana yang menawarkan program Astronomi dan berapa daya tampung tahunannya. Saya sempat stress begitu tahu bahwa yang menawarkan program Astronomi hanya Institut Teknologi Bandung (ITB), dan daya tampungnya hanya 15 orang per tahun. Wah, saya harus belajar ekstrakeras supaya bisa masuk nantinya!

Dukungan Orang Tua
Meskipun impian saya termasuk ajaib untuk zaman itu (setiap anak kalau ditanya cita-citanya pasti jawabannya seputar dokter, insinyur, guru, atau presiden), orang tua saya mendukung penuh. Suatu hari ketika saya kelas 1 SMP, saya ikut ayah dan kakak ke toko buku untuk membeli keperluan kakak. Saya jalan-jalan di bagian buku sains, dan menemukan buku "Ensiklopedi-Singkat Astronomi dan Ilmu yang Bertautan" karya Iratius Radiman, salah satu dosen Astronomi ITB. Saya langsung minta Bapak untuk membelikan, meskipun buku ini diperuntukkan bagi mahasiswa. Bapak pun langsung membelikan.

Akibatnya? Meski masih SMP, saya sudah tahu bahwa bintang mengalami evolusi/siklus hidup, saya tahu apa itu limit Chandrasekhar (silakan google), saya tahu bintang terterang di rasi Andromeda, apa itu International Astronomical Union (IAU), berapa jumlah rasi resmi yang diakui IAU, apa bedanya nebula dan galaksi, siapa itu Annie Jump Cannon, dan pengetahuan Astronomi lainnya yang tidak (belum) penting bagi anak SMP.


Ketika saya kelas 1-2 SMP, saya keranjingan serial Star Trek: The Next Generation dan anime Saint Seiya. Keduanya memiliki kaitan erat dengan Astronomi. STTNG berkisah tentang eksplorasi alam semesta oleh kru pesawat antariksa Enterprise. Saint Seiya didasarkan pada rasi-rasi bintang dan mitologi yang menjadi latar belakang setiap rasi. Saking terobsesinya saya dengan rasi dan mitologi, saya berkeras ingin tahu lebih banyak bagaimana rasi-rasi bintang itu dinamai. Berhubung ini belum zaman internet dan Wikipedia, andalan saya hanyalah buku.

Suatu hari ketika saya mengunjungi Bapak yang bekerja di kota Semarang, Bapak mengajak kami ke toko buku. Di situ saya menemukan buku yang cukup tua, judulnya "Ikhtisar Pokok dan Tokoh Mitologi Yunani-Romawi" karya Soetomo Mangoenrahardjo. Bukunya sangat sederhana: sampulnya hijau polos tanpa gambar apapun. Di toko tersebut banyak buku mitologi Yunani dengan gambar-gambar keren untuk anak-anak dan remaja, tapi setelah saya bandingkan, buku sederhana tersebut jauh lebih lengkap dan detail. Tentu saja, karena buku itu ditulis berdasarkan materi kuliah mahasiswa jurusan Sastra Barat. Maka saya langsung meminta Bapak untuk membelikan. Bapak juga langsung membelikan. Asyik kan punya orang tua yang tahu betul minat anaknya dan mendukung 110%?

Sejak itu, kemana pun Bapak dan Ibu saya pergi, kalau mereka melihat buku sains populer tentang Astronomi, mereka selalu membelikan buat saya tanpa saya minta. Saya juga pernah minta dibelikan buku tentang Astrologi. Bukunya berbahasa Inggris dan harganya tentu saja mahal karena impor. Tapi sekali lagi, orang tua saya tidak pernah berkata "tidak" pada minat saya yang satu ini. Bahkan, pada satu kesempatan, Bapak berjanji akan membelikan saya teleskop.

Saya juga mulai sering mengamati bintang. Mungkin ini alasannya Bapak sampai menjanjikan teleskop. Saya berhasil menemukan rasi Salib Selatan (Crux), Kalajengking (Scorpio berikut bintang terterangnya Antares), dan Orion (Waluku/Sang Pemburu) dengan tiga bintang sejajar sebagai sabuk Sang Pemburu. Di Orion saya melihat cahaya samar di tengah, yang saya yakini sebagai Nebula Orion. Saya ingat saya menemukan rasi Orion dalam perjalanan dari gedung resepsi pernikahan paman saya yang termuda. Niat sekali ya.......


"Matinya" Impian Astronomi
Pada tahun 1994, ketika saya kelas 3 SMP, Bapak saya meninggal mendadak. Saat itu, beliaulah satu-satunya pencari nafkah di keluarga kami. Jangankan meneruskan impian Astronomi, bermimpi melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) saja saya tidak berani. Apa bisa saya melanjutkan sekolah, apalagi sampai kuliah?

Fakta bahwa Bapak belum sempat memenuhi janjinya membelikan teleskop juga membuat saya sedih. Bukan karena saya tidak akan mendapatkan teleskop, tapi bahwa Bapak pergi dengan janji yang belum terlunasi; seolah-olah beliau masih punya hutang pada saya. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengikhlaskan janji tersebut untuk tidak dipenuhi oleh beliau.

Sejak kepergian beliau, saya tidak lagi terlalu mengejar Astronomi. Saya fokus untuk belajar agar saya bisa berhasil secara akademik dan tidak membebani Ibu saya yang sudah menjadi orang tua tunggal. Beliau punya tiga anak untuk disekolahkan!  Saya tidak boleh gagal dalam hal akademik. Hanya ini satu-satunya modal saya untuk masa depan. Saya tidak punya warisan atau apapun dari orang tua untuk diandalkan!

Ketika menentukan jurusan untuk kuliah, saya sempat mengutarakan pada Ibu bahwa saya masih mencintai dan ingin kuliah Astronomi. Ibu, meski sangat memahami kecintaan saya akan dunia Astronomi, harus memberikan pemahaman akan situasi dan kondisi keluarga kami saat itu. Saya punya dua kakak yang juga kuliah. Kalau saya kuliah Astronomi di Bandung, tentunya biayanya jauh lebih besar daripada kalau saya kuliah di Surabaya, kota saya. Selain uang kuliah, kuliah di luar kota tentunya harus siap dengan biaya untuk tempat tinggal (kos), transport lokal maupun dari Surabaya ke Bandung dan sebaliknya, biaya makan, dan sebagainya.

Ibu saya juga menjelaskan bahwa dunia Astronomi masih sangat jarang di Indonesia, sehingga akan lebih sulit bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa membuat saya mandiri. Sejak Bapak berpulang, saya sudah bertekad dan dididik untuk selalu bisa mandiri, tidak tergantung pada siapapun untuk penghidupan saya.

Ada juga satu pertimbangan lain. Ketika saya akan kuliah, Bapak baru 3 tahun berpulang. Ibu masih berduka, dan masih ingin agar kami semua tetap berkumpul dalam satu rumah, di satu kota. Ini saya pahami betul, dan saya serta kakak-kakak sudah mengambil tanggung jawab untuk menjaga Ibu semenjak Bapak meninggal. Saya tetap berkomitmen untuk melakukannya, meski harus mengorbankan impian saya.

Akhirnya, dengan berat hati, saya melepaskan impian Astronomi saya.


Bangkitnya Impian Astronomi
Setelah menikah, saya pindah ke Denver, Amerika Serikat, untuk mengikuti suami yang memang warga negara Amerika. Di sini saya mendapatkan pekerjaan paruh waktu, sehingga saya punya banyak waktu ekstra untuk melakukan hal-hal yang saya suka. Maka saya mendaftar untuk menjadi tenaga sukarela pada Denver Museum of Nature and Science (DMNS) di bagian Space Odyssey alias bagian Ilmu Ruang Angkasa.

Sebagai satu-satunya tenaga sukarela dari Indonesia, saya selalu menyebutkan kepada siapa saja yang mau mendengar bahwa saya dari Indonesia. Mulai pengunjung sampai staf tidak luput dari cerita saya soal Indonesia. Suatu hari, salah satu staf di bagian pendidikan bertanya apakah Indonesia memiliki cerita-cerita rakyat terkait Astronomi. Tentu saja dengan semangat saya bagikan cerita tentang gerhana. Beliau terkesan, dan menugaskan saya untuk mengumpulkan kisah-kisah Astronomi Indonesia untuk DMNS.

Dalam proses penyusunan tulisan saya tersebut, saya berkenalan dengan seorang Astronom muda Indonesia sekaligus science communicator, mbak Avivah Yamani. Saya mengontak beliau untuk mendapatan informasi tentang kisah-kisah rakyat, yang sebagian sudah saya baca di website Astronomi asuhan beliau, Langit Selatan. Mbak Avivah dengan penuh kemurahan hati memberi saya berbagai informasi yang beliau miliki sehingga saya bisa menyusun laporan untuk museum. Saya juga meminta masukan beliau akan tulisan saya. Setelah semua beres, laporan saya kirim ke museum. Laporan tersebut bisa diunduh dari website DMNS di sini

Tak disangka, perkenalan singkat ini berlanjut menjadi kolaborasi. Mbak Avivah bertanya apakah saya mau menjadi kontributor di website Langit Selatan. Astaga! Mimpi apa saya semalam? Tentu saja saya mau! Sejak saat itu saya sudah menuliskan beberapa artikel di Langit Selatan, mulai dari hal-hal yang ada di laporan museum saya, sampai laporan mengenai misi Juno. Saya bahkan sempat merekam podcast untuk website 365 Days of Astronomy.

Sekarang saya bisa melihat bahwa impian Astronomi saya tidak pernah benar-benar mati. Ketika saya melepaskannya, saya tidak berharap suatu hari nanti ia akan kembali. Ternyata, ia kembali dalam bentuk yang lain, yang sesuai dengan diri saya: pendidikan. Dengan pengetahuan saya yang termasuk pas-pasan (dibandingkan dengan Astronom betulan seperti mbak Avivah), kecintaan saya akan riset dan kemampuan bahasa Inggris yang lumayan, saya bisa menulis untuk level awam, tanpa masuk terlalu dalam ke konsep sains yang khalayak umum mungkin tidak memahami. Saya menerapkan panggilan saya untuk mengajar ke tulisan, dan saya bersyukur bisa ambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di bidang Astronomi.

Mengetahui kecintaan saya akan dunia mitologi, suatu hari kapten tim sukarela saya di DMNS memberikan saya sebuah buku berjudul "Classical Mythology" karya Mark P.O, Morord dan Robert J. Lenardon serta "Bulfinch's Mythology" karya Thomas Bulfinch. Kedua buku tersebut tebal sekali, jauh lebih lengkap dari buku mitologi yang saya punya. Kapten tim saya ini, yang biasa kami panggil Jerry (kalau tidak salah nama beliau Geraldine), memang seperti figur seorang ibu di tim kami. Setiap waktu bertugas, beliau selalu membuatkan kukis dan brownies buat anggota tim beliau, tim Jumat Siang. Jadi kami ini tim paling makmur di DMNS! Sebagai salah satu yang termuda, saya sangat dimanjakan oleh anggota tim yang lain. Mereka rata-rata usia pensiunan, dan mungkin memandang saya seperti anak atau cucu mereka.

Meski saya sudah tidak bekerja sukarela lagi di museum karena jadwal yang tidak memungkinkan, saya masih aktif menulis untuk Langit Selatan, dan tidak ada rencana untuk pensiun. Saya masih rajin nonton STTNG di Netflix dan Saint Seiya serial apapun di internet.

Ternyata, peribahasa "cinta pertama tidak akan pernah mati" itu benar adanya!!!











Comments

Popular Posts