Mencintai Negeri dari Jauh

"Padamu Negeri kami berjanji
Padamu Negeri kami berbakti
Padamu Negeri kami mengabdi
Bagimu Negeri jiwa raga kami"

~ Padamu Negeri

Sejak kecil kita semua sudah mempelajari lagu nasional yang satu ini. Ketika saya memilih karier sebagai Pegawai Negeri Sipil, lagu ini boleh dibilang menjadi "lagu kebangsaan" para abdi negara. Ketika saya mengucapkan Janji Pegawai Negeri Sipil yang diikuti dengan menyanyikan lagu ini, meneteslah air mata saya.

Jalan hidup saya membawa saya meninggalkan negeri dan karier sebagai PNS, jauh ke negeri asal suami saya. Berada jauh dari negeri sendiri tentunya membawa tantangan tersendiri bagi saya dan sesama orang Indonesia di luar negeri: bagaimana kami bisa mencintai dan mengabdi bagi negara saat kami sendiri berada di negara lain. Tulisan sederhana ini ingin membagikan apa yang sudah saya lakukan yang saya anggap merupakan wujud cinta, kesetiaan, dan pengabdian saya kepada negara. Semua ini merupakan pengalaman dan pendapat pribadi, jadi sangat mungkin pembaca akan memiliki cara pandang dan pendapat yang berbeda.

Ini cara saya mencintai Indonesia. 

Duta Besar Tidak Resmi
Ketika saya menerima beasiswa untuk belajar di luar negeri tahun 2006, salah satu hal yang ditekankan kepada kami adalah bahwa kami, mahasiswa Indonesia di luar negeri, adalah duta-duta besar tidak resmi Indonesia di negara di mana kami belajar. Bagaimana kami membawa diri, bersikap, bertingkah laku, berprestasi, dan sebagainya adalah merupakan cerminan Indonesia bagi dunia. Nama Indonesia akan selalu tertempel kepada kami, kemanapun kami pergi dan apapun yang kami lakukan. Tanggung jawab besar, bukan?

Setelah saya menikah dengan suami dan pindah ke negaraya, konsep ini tetap melekat pada saya. Saya bertekad untuk tetap menjadi duta besar tak resmi Indonesia selama Sang Maha menginginkan saya berada di negeri asing ini. Apa saja cara saya untuk tetap menjadi Indonesia di negeri orang?

Politik dan Kenegaraan
Mempertahankan Kewarganegaraan
Saya memahami bahwa urusan kewarganegaraan adalah hal yang sangat sensitif dan pribadi. Setiap orang memiliki pertimbangan dan pemikiran tersendiri apakah akan mempertahankan kewarganegaraannya ataukah berganti kewarganegaraan, sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Saya bahkan menganggap pilihan kewarganegaraan hampir sama pribadinya dengan pilihan keyakinan. Teman-teman yang sudah berpindah kewarganegaraan atau sedang mempertimbangkannya, tenang.....saya tidak menghakimi kalian!

Saya pribadi memutuskan untuk tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia saya. Hingga detik ini (bisa berubah di masa depan ya) saya tidak ada niat sedikitpun untuk berpindah kewarganegaraan, sekalipun sebenarnya saya sudah berhak untuk mengajukan kewarganegaraan di negara suami saya yang terkenal sebagai negara adi daya. Alasan saya? Sederhana. Saya cinta Indonesia. Inilah bentuk cinta dan kesetiaan saya kepada Indonesia.

Kalau misalnya diberi kesempatan berkewarganegaraan ganda, apakah saya akan mau menjadi warga negara suami saya? Tidak. Alasannya? Saya tidak ingin cinta dan kesetiaan saya terbagi. Kewarganegaraan ganda memiliki potensi adanya konflik kepentingan: yang satu akan lebih dicintai dan diutamakan daripada yang lain. Hal ini tentunya tidak adil bagi kedua negara tersebut, kan?

Untuk mempertahankan kewarganegaraaan, saya harus rutin memperbarui paspor saya melalui KJRI. Kalau saya tidak salah, apabila saya tinggal di luar negeri selama 5 tahun dan tidak pernah memperbarui paspor atau menyatakan kepada KJRI bahwa saya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka saya kehilangan kewarganegaraan saya. Jadi mempertahankan kewarganegaraan juga ada perjuangannya (percayalah, memperbarui paspor di luar negeri itu tidak mudah....hihihi....)

Dengan mempertahankan kewarganegaraan, saya memiliki hak untuk:

Aktif Memilih dalam Pemilihan Umum
Sebagai Warga Negara Indonesia di luar negeri, saya masih tetap memiliki hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Kalau untuk Pemilihan Kepala Daerah saya sepertinya masih harus pulang, tapi untuk Pemilu saya bisa mendapatkan surat suara dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) yang membawahi wilayah di mana saya tinggal. Syaratnya, saya harus melakukan LAPOR DIRI kepada Konjen RI tersebut sehingga saya terdaftar sebagai WNI dengan hak pilih dan masuk daftar pemilih. Bila sudah dekat waktu pemilihan umum, saya akan kontak Konjen RI untuk memastikan bahwa nama saya ada dan bahwa saya akan mendapat kiriman surat suara.

Bagi saya, aktif memilih dalam Pemilu ini sangat penting, karena kita dapat ikut menentukan arah pembangunan dan pemerintahan Indonesia meskipun dari jauh. Untuk dapat memilih yang terbaik dalam Pemilu, tentunya kita harus tetap melek akan perkembangan semua bidang di Indonesia, mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan (kok jadi kedengaran seperti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila? heheheh), tokoh-tokoh, serta isu-isu terkini yang terjadi di Indonesia. Kita harus mau ikut repot mengikuti siapa saja calon-calon pemimpin kita berikut karakter, rekam jejak dan kiprahnya dalam pembangunan Indonesia agar kita dapat menentukan pilihan yang terbaik.


Sosial dan Budaya
Tulisan ini sudah betul-betul seperti pelajaran PMP ya....hahahah......

Kalau sudah bicara promosi budaya di luar negeri, yang terbayang di benak saya adalah pertunjukan budaya yang umumnya berbentuk tarian tradisional. Coba saja lihat misi budaya Indonesia ke luar negeri; kebanyakan program yang dibawakan adalah tarian. Sayangnya, meskipun ibu saya adalah guru tari Jawa dan Bali, saya sama sekali tidak bisa menari. Mengenaskan memang.

Saya kemudian melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya dibesarkan di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Setiap sore saya bermain dengan anak-anak seumuran saya di kompleks tempat tinggal saya. Permainannya pun cukup sederhana seperti gobak sodor, cublak-cublak suweng, ular naga, betengan, congklak/dakon, atau hanya sekedar memanjat pagar atau pohon mangga dilanjutkan rujakan di atas genteng. Ya, masa kecil saya memang keren sekali.

Sejak kecil pula saya aktif belajar musik: organ, piano, aktif di paduan suara, bahkan wajib belajar alat musik tradisional angklung di sekolah saya. Dari paduan suara saya mengenal berbagai lagu daerah Indonesia. Saya juga penggemar berat Astronomi meskipun situasi dan kondisi mengharuskan saya melepaskan impian untuk masuk ke jurusan Astronomi. Saya juga suka menulis diari, meskipun dulu gayanya masih curcolan ala ABG labil.

Apa hubungannya coba biografi saya dengan mencintai negeri dari jauh? Nah, setelah mengetahui latar belakang saya, inilah yang saya lakukan bagi Indonesia:

Kerja Sukarela di Museum
Karena cinta saya akan dunia Astronomi dan bakat saya curcolan, saya mendaftar untuk bekerja sebagai tenaga sukarela di Museum Alam dan Ilmu Pengetahuan di kota saya. Tugas saya adalah sebagai guide bagi pengunjung, menjelaskan berbagai konsep Astronomi. Dalam menjelaskan, apabila memungkinkan saya selalu membawa Indonesia.

Contoh: Ketika menunjukkan simulasi gelombang tsunami Samudera Hindia tahun 2004, saya tak lupa menyebutkan bahwa saya berasal dari Indonesia dan bahwa saya berada di Indonesia (meski bukan di Aceh) ketika tsunami terjadi. Saya bisa menceritakan pengalaman pribadi ketika negara kita baru mengetahui terjadinya tsunami di pagi hari. Pengunjung biasanya akan semakin tertarik akan topik tersebut dan bahkan banyak tertanya tentang Indonesia. Kesempatan emas untuk promosi Indonesia!

Saking pede dan bangganya saya sebagai orang Indonesia di Museum, salah satu staf museum meminta saya untuk mengumpulkan kisah-kisah tradisional Indonesia yang terkait dengan Astronomi, contoh mudahnya kisah tentang gerhana. Pengalaman masa kecil saya akan fenomena alam dan pengalaman tumbuh besar di budaya Jawa yang kuat juga mewarnai tulisan tersebut. Tulisan saya tersebut sekarang ada di website Museum (bisa dilihat di sini), dan beberapa sub topiknya sudah menjadi podcast di website 365 Days of Astronomy.

Promosi Indonesia tidak harus selalu tarian kan? wink wink

Menulis Artikel Sains Populer
Ketika saya mengumpulkan informasi kisah-kisah tradisional terkait Astronomi tersebut, saya berkenalan dengan seorang Astronom muda Indonesia yang aktif mempromosikan Astronomi di Indonesia melalui website yang ia asuh: Langit Selatan. Website ini berisi banyak hal menarik mengenai fenomena langit, benda langit, misi antariksa, hingga perkembangan Astronomi terkini.

Ujung-ujungnya, beliau meminta saya menjadi kontributor Langit Selatan dan kadang juga mengisi podcast di 365 Days of Astronomy. Tulisan-tulisan sederhana saya yang sudah terbit di Langit Selatan dapat dilihat di sini.  

Membuat tulisan seperti ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Saya juga bukannya kurang kerjaan ketika harus mempelajari medan magnet Jupiter untuk menulis tentang fenomena
aurora di Jupiter. Lalu apakah saya menerima bayaran? Sama sekali tidak! Saya memandang kegiatan ini sebagai bagian dari tugas mencerdaskan kehidupan bangsa yang dapat saya lakukan dari jauh! *kibas rambut*


Musik, Tari dan Permainan Tradisional
Seperti sudah saya sampaikan, saya selalu getol bercerita kepada siapa saja bahwa saya orang Indonesia. Kepada salah seorang guru paduan suara di sebuah Sekolah Dasar dekat rumah, saya menunjukkan beberapa video paduan suara Indonesia menyanyikan lagu tradisional. Beliau tertarik dan meminta saya mengajarkan lagu-lagu tradisional Indonesia berikut tariannya ke paduan suara SD yang beliau bimbing!

Saya diminta mengajarkan lagu "Naik Delman", "Cublak-cublak Suweng" dan "Janger". Tugas yang buat saya sangat berat tapi sungguh membuat bangga. Saya harus mengajarkan lagunya, pengucapannya, maknanya, bahkan permainan dan membuat koreografi tariannya. Saya mengajarkan anak-anak SD tersebut bagaimana bermain cublak-cublak suweng berdasarkan pengalaman masa kecil saya. Tak disangka, mereka sangat suka! Bahkan, mereka mengajarkan permainan ini ke murid-murid lain yang tidak tergabung dalam paduan suara. Saya juga ajarkan mereka dasar-dasar tari Bali untuk ditarikan ketika menyanyikan "Janger". Saya sampai harus belajar lewat Skype pada ibu saya! Tak tanggung-tanggung, ibu saya mengirimkan udeng Bali, bunga hiasan kepala dan kipas Bali untuk digunakan paduan suara ini. Ketiga lagu ini ditampilkan pada Konferensi Nasional American Orf-Schulwerk Association di Denver, November 2013.

Masih soal musik, saya berusaha sedapat mungkin ikut aktif dalam kelompok Arts and Culture of Indonesia (ARCINDA). Di situ saya ikut bermain gamelan, piano atau biola sesuai kebutuhannya. Kami banyak tampil di acara kebudayaan lokal. Pada salah satu kesempatan, kami mendapatkan satu stan untuk memperkenalkan Indonesia di acara Colorado Dragon Boat Festival. Stan kami berisi segala hal tentang Indonesia, mulai batik, kebaya, satu set permainan congklak/dakon, satu set alat musik angklung, gamelan kecil, wayang, dan sebagainya.

Nah, sudah bisa melihat hubungan otobiografi singkat saya di atas dengan promosi budaya non-tarian? Pengalaman masa kecil saya belajar angklung di sekolah dan bermain congklak sore-sore terbukti efektif mempromosikan Indonesia di kesempatan ini. Sebagai penjaga utama stan, saya mengajarkan pengunjung bagaimana bermain congklak. Saya hampir saja dikalahkan anak umur 9 tahun yang baru belajar! Saya juga mengajarkan pengunjung untuk bermain angklung: bagaimana cara memegangnya, memainkannya, dan bermain dalam grup. Saya membentuk kelompok angklung dari delapan orang pengunjung, tiap pengunjung memegang satu not. Kami memainkan lagu-lagu pendek yang terdiri dari satu oktaf, seperti "Mary had a Little Lamb", "Ode to Joy", "Are You Sleeping",  dan lagu populer lainnya.

Kisah Angklung masih berlanjut. Suatu hari saya diminta ibu pimpinan ARCINDA untuk melatih mahasiswa Indonesia di Colorado School of Mines (yang kebetulan adalah almamater suami) bermain Angklung sebagai persiapan penampilan malam kebudayaan. Karena Angklungnya hanya tersedia satu oktaf, kami harus kreatif: mencari lagu-lagu tradisional Indonesia yang dapat dimainkan hanya dengan satu oktaf. Salah satu pilihan kami adalah "Yamko Rambe Yamko" dari Papua dan "O Ina ni Keke" dari Sulawesi Utara.

Bagaimana dengan piano? Piano adalah alat musik barat. Bagaimana saya promosi Indonesia dengan alat musik yang bahkan bukan berasal dari Indonesia? Ini cara saya: saya memainkan lagu-lagu tradisional, atau lagu-lagu karya komponis Indonesia seperti Jaya Suprana. Kadang lagu-lagu tersebut memiliki elemen lagu-lagu tradisional Indonesia yang bisa saya ceritakan sebelum saya memainkan karya tersebut. Misalnya: lagu "Tembang Alit" karya Jaya Suprana merupakan 'imitasi' suara gamelan dan berbagai instrumen tradisional Indonesia seperti suling dan sitar. Demikian pula dengan strukturnya, mirip seperti struktur musik gamelan yang sirkular/berulang. Nada yang digunakan juga pentatonis, ciri khas musik tradisional Asia.

Tidak bisa menari? No problem!


Berbahasa dan Berbusana
Semenjak tinggal di negara suami, saya harus berbahasa Inggris setiap hari. Meskipun demikian, saya mewajibkan diri saya sendiri untuk tetap berbahasa Indonesia, bahkan berbahasa Suroboyoan apabila saya berinteraksi dengan orang-orang Indonesia.

Ketika saya kuliah di luar negeri, saya diajari oleh teman bahwa selama pendengar kita adalah orang Indonesia secara keseluruhan, silakan gunakan Bahasa Indonesia. Tapi apabila dalam kelompok tersebut ada satu saja orang yang tidak dapat berbahasa Indonesia, kita harus menggunakan bahasa yang dimengerti oleh semua orang, dalam hal ini Bahasa Inggris. 

Saya akui, saya sempat keenakan ber-English ria. Rasanya ada suatu kebanggaan dan rasa superior bila bisa membuat status di media sosial dalam bahasa Inggris. Sampai suatu hari, salah satu teman saya menulis bahwa dia tidak dapat memahami apa yang saya tulis, tapi tetap mendukung dan ikut senang akan kegiatan saya (kebetulan status tersebut disertai foto kegiatan). Sejak itu saya hampir selalu membuat status dalam dua bahasa. Saya menyadari bahwa tidak semua orang menguasai bahasa Inggris, terutama teman-teman saya di Indonesia. Saya belajar untuk mengenali siapa pendengar/audiens saya, sebelum menentukan bahasa apa yang saya gunakan.

Ketika saya memutuskan untuk mulai menulis blog, saya sempat mempertimbangkan bahasa Inggris sebagai bahasa penulisannya. Namun setelah melalui pemikiran dan pertimbangan yang panjang, saya memilih untuk menulis dalam Bahasa Indonesia. Alasan pertama, Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu saya. Saya sendirilah yang harus mempertahankannya. Kan sudah bersumpah dalam Sumpah Pemuda? Alasan lainnya adalah bahwa target pembaca saya adalah orang Indonesia.

Promosi Indonesia melalui busana tentu saja sudah jelas: Batik dan kebaya! Dalam banyak kesempatan saya dan suami selalu berusaha menggunakan batik, dan dalam penampilan baik gamelan maupun piano saya usahakan untuk mengenakan kebaya. Saking cintanya pada kebaya, saya nekad memakai kebaya putih dengan obi dari pita berwarna merah diikat dengan bros perak Jogjakarta, dipadukan dengan rok batik panjang, untuk bertugas dalam tim pujian gereja saya. Sebagai catatan, gereja saya adalah gereja lokal (bukan gereja khusus Indonesia), dan hari itu adalah perayaan Natal. Lagu pembuka kami adalah "Carol of the Bells-Sarajevo" versi grup musik rock Trans-Siberian Orchestra (TSO). Bisa dibayangkan main musik rock progresif dengan berkebaya? Yang penting semua tahu bahwa kibordisnya orang Indonesia!!

Selain berbatik dan berkebaya, saya tetap mempertahankan cara berpakaian orang Indonesia pada umumnya: sopan dan tertutup. Saya berharap ciri ini tidak pernah hilang dari saya. Selain itu, saya berusaha tetap mempertahankan nilai sopan santun dan tata krama yang selalu ditekankan orang tua saya di Indonesia. Kalau ada nilai yang baik di negeri suami, saya juga tidak segan adopsi kok. Tapi kalau bertentangan dan cenderung negatif (contoh mudahnya cara berbusana) saya akan lebih memilih nilai-nilai yang diajarkan orangtua saya di Indonesia.

Saya ingin, apabila saya memiliki anak, saya akan mendidik mereka dalam nilai-nilai Indonesia juga. Saya ingin mereka mengenal negeri asal ibunya, yang juga merupakan bagian dari mereka. Namun setelah diagnosis bahwa saya hampir tidak mungkin memiliki anak, saya tidak perlu khawatir soal ini. Tapi bukankah itu juga cara mencintai negeri bagi orang Indonesia yang memiliki putra-putri di luar negeri? Jangan biarkan mereka melupakan separuh (atau mungkin seluruh) asal usulanya: Indonesia.


Ini Caraku. Bagaimana Caramu?
Tulisan ini bukan bermaksud menyombongkan diri atas pencapaian-pencapaian saya. Sama sekali tidak. Inti tulisan ini adalah apa yang bisa kita lakukan dari jauh, dan ini yang sudah saya lakukan. Tentunya banyak hal lain yang bisa kita lakukan, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing. Jadilah diri sendiri, dan anda akan bisa berbuat banyak! Berhubung saya tidak bisa menari dan hanya bisa musik dan sains, inilah yang saya lakukan. Kalau ada yang bisa bikin perusahan start-up yang mendukung kepentingan dan ekonomi Indonesia, wah keren banget kan! Apalagi kalau bisa seperti B.J. Habibie, setia pada Indonesia dan membangun industri dirgantara Indonesia sejak awal ia menjejakkan kaki di Jerman!

Cinta itu kata kerja aktif, bukan hanya rasa hangat di dalam hati. Bagaimana caramu mengekspresikan cinta Indonesia?









 








 

Comments

  1. Salut sama mba yang cinta Indonesia dengan sikap dan berperilaku Indonesia. Tak semua orang bisa bersikap seperti itu. Kadang kebanggaan tinggal di negeri orang meluruhkan identitas asal.

    salam
    alrisblog.wodrpress.com

    ReplyDelete
  2. Hallo Mas! Terima kasih sekali. Hanya ini yang bisa saya lakukan di negeri orang. Kalau saya boleh jujur, saya sedih setiap kali melihat ada teman Indonesia yang beralih kewarganegaraan. Meski saya paham mereka punya alasan yang kuat, tetep saja sedih. Semoga kita bisa selalu memberikan yang terbaik buat Indonesia, di manapun kita berada.

    Salam,
    Dhita

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts