".......Supaya (Lebih) Disayang Suami."

Setiap kali saya mendengar kata-kata seperti judul di atas, saya meringis. Sejak dulu saya memang  kurang suka dengan kata-kata tersebut. Biasanya bentuknya beda-beda, tapi pesannya sama: "Lakukan ini, (bisa apa saja mulai masak, dandan, menurunkan berat badan, perawatan ke salon, dsb.) supaya (lebih) disayang suami".

Saya sering bertanya-tanya sendiri, apa sih yang membuat saya kurang suka kalau mendengar nasihat itu? Bukankah  maksudnya baik, supaya kita meng-upgrade diri? Apakah sayanya aja yang sensi? Entahlah. Tapi ada beberapa kesan yang saya dapat dari kata-kata itu. Dan kesan itu tidak begitu positif.

Kesan pertama adalah bahwa cinta atau kasih sayang suami kepada istrinya itu bersyarat. Istri harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan cinta suami. Kalau saya boleh agak kasar sedikit, kesannya jadi seperti orang bekerja atau berdagang. Seperti ada uang, ada barang, dalam hal ini  ada kinerja, ada cinta, begitulah.

Kesan kedua yang saya tangkap adalah bahwa seolah-olah keutuhan rumah tangga dan cinta suami-istri sepenuhnya berada di pundak istri; pada kinerjanya sebagai istri. Istri harus melakukan segalanya supaya cinta suami tidak berkurang, apalagi sampai berpaling. Buat saya pribadi, itu tanggung jawab  yang terlalu berat untuk saya tanggung sebagai seorang perempuan.

Kesan ketiga adalah bahwa pada saat pernikahan, suami belum memberikan seutuh jiwa, raga, dan cintanya kepada istrinya. Istilahnya, cintanya diberikan secara kredit, sedikit-sedikit, lihat nanti gimana dulu performa istrinya. Kalau bagus, ditambah, kalau jelek, dikurangi.

Mungkin ada yang bertanya, kok kamu negatif sekali sih pikirannya? Wong maksudnya baik kok. Iya juga sih. Saya menyadari kok. Makanya sebenarnya saya agak takut menuliskan ini. Tapi kalau ini bisa bermanfaat bagi orang lain, mengapa tidak?

Saya berpikir, cinta yang sejati seharusnya gratis, tanpa syarat. Saya melihatnya sederhana saja: ketika orang tua saya mendapatkan berita bahwa ibu saya sedang mengandung saya, saya 100% yakin bahwa mereka sudah mencintai saya, bahkan ketika saya baru berupa zigot yang sedang sibuk membelah diri. Meski saya belum memiliki kesadaran pribadi, saya sudah menerima cinta tak bersyarat itu. Mereka yang manusia saja bisa mencintai saya tanpa syarat, apalagi Sang Penjunan Agung. Sebelum DIA menciptakan saya, DIA sudah mencintai saya. Ketika DIA merajut DNA ayah dan ibu saya dan menenun tubuh saya*, DIA melakukannya dengan cinta. Bukan karena saya sudah bisa menyembah-NYA atau mencintai-NYA, tapi karena saya adalah mahakarya tangan-NYA.

Apakah saya egois dengan berharap suami saya bisa mencintai saya tanpa syarat, tanpa menuntut? Atau lebih heboh lagi: cinta yang bersedia berkorban? Mungkin. Tapi itulah bentuk cinta yang pertama saya kenal sejak saya dibentuk di dalam rahim ibu saya. Bentuk cinta yang paling murni, tanpa memandang kinerja saya, kelebihan saya, apalagi kekurangan saya. Bentuk cinta yang paling indah. Saya yakin deh, semua orang ingin dicintai dan diterima tanpa syarat. Saya juga yakin, tentunya orangtua saya ingin agar siapapun yang mendampingi saya menjalani kehidupan juga bisa mencintai dan menerima saya seutuhnya, tanpa syarat, dan memperlakukan saya sebagaimana mereka telah melakukannya selama hidup saya.

Saya menginginkan cinta yang seperti itu karena saya menyadari satu hal yang krusial.......saya tidak sempurna. Saya tidak sempurna sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan, sebagai seorang istri. Saya adalah manusia yang berdosa. Tidak mungkin saya memenuhi semua persyaratan yang menjadi standar seorang istri yang sempurna. Jangankan menjadi istri sempurna, menjadi istri ideal ataupun istri yang baik sajapun saya tidak mampu. Apalagi kalau keutuhan rumah tangga sepenuhnya dibebankan ke performa saya. Okelah di permukaan mungkin saya bisa menjadi istri yang memenuhi persyaratan, tapi apakah di dalam hati tidak pernah ada pemberontakan, pergumulan, gerutu, marah, dengki, kecewa, frustrasi? Tidak mungkin. Dalam keyakinan saya, apa yang ada di hati sudah menentukan kualitas kekudusan hidup kita (dengan kata lain, sudah dosa dan gagal memenuhi standar ideal)  meski tidak dijadikan aksi nyata.

Kalau cinta itu bersyarat, maka apakah harapan saya, manusia yang tidak sempurna ini, untuk mendapatkan cinta?

Karena itulah saya mendambakan cinta tak bersyarat, bahkan cinta yang rela menderita bersama saya. Cinta yang bersedia menerima, mengisi dan menutupi kelemahan saya. Cinta yang bersedia memaafkan saya tanpa batas. Cinta yang sepenuh-penuhnya diberikan kepada saya, cinta yang tidak pernah berubah. Cinta yang membangun diri saya, mendukung saya, menopang saya menjadi pribadi yang lebih baik. Cinta yang memotivasi. Cinta yang tidak menuntut dan membebani. Cinta yang menghidupkan.

Saya pribadi banyak kelemahan yang mungkin menurunkan kualitas saya sebagai calon istri (saat belum menikah dulu). Saya merasa bahwa saya tidak cantik secara fisik. Biasa saja. Urusan perempuan seperti memasak, menjahit, menata rumah, berdandan dan bersikap halus/lemah lembut....nilai saya adalah NOL BESAR. Tanya deh ibu saya kalau tidak percaya. Beberapa teman saya (laki-laki) berkata saya ini berhati dingin, sedingin es. Terlalu pintar. Terlalu mandiri/independen. Dengan semua 'kelemahan' saya (saya beri tanda kutip karena tidak semua yang di daftar itu adalah kekurangan, tapi sebagian adalah kelebihan yang dipandang merusak prospek) yang secara terang-terangan dikatakan kepada saya ketika saya belum menikah, bisa dibayangkan betapa hancur hati saya dan betapa saya semakin berharap ada yang bisa memberikan cinta tanpa syarat pada saya.

Loh, kan bisa memperbaiki diri! Belajar! Berubah! Iya bisa.....tapi entah mengapa saya sama sekali tidak tertarik belajar ilmu-ilmu kewanitaan seperti memasak, menjahit, dan sejenisnya. Saya lebih suka belajar musik dan sains daripada belajar dandan dan masak. Salahkah itu? Bukankah Sang Penjunan Agung yang mendesain saya seperti itu? Manusia didesain tidak untuk melakukan segalanya, tapi melakukan bagiannya. Manusia didesain untuk menanggung hidup bersama sebagai suatu komunitas. Karena itulah kita memerlukan orang lain. Memerlukan cinta sejati.

Apakah saya masih tetap seperti dulu yang anti-dapur, anti-dandan, anti-beberes, dan anti-jahit? hahaha.....Tidak, saudara-saudara. Sekarang saya bisa memasak berbagai masakan Indonesia, dengan rasa yang cukup mendekati masakan ibu saya di rumah. Saya bahkan bisa memasak masakan Amerika, Eropa, dan Meksiko. Untuk berdandan, meskipun mungkin tidak seindah kalau ibu saya yang merias, saya setidaknya bisa tampil rapi dan segar. Saya lebih menikmati memilih baju yang feminin sekarang. Saya juga suka bersih-bersih; rasanya melihat rumah rapi dan bersih itu sungguh menyenangkan. Nah, loh......apa yang membuat saya berubah?

Cinta.

Bukan bermaksud pamer atau menyombongkan pernikahan saya, tapi suami saya mencintai saya sebagaimana adanya diri saya. Sempurnakah cinta suami saya? Tentu saja tidak, dia kan manusia! Dia tidak menuntut saya bisa masak atau saya harus memasak. Tapi justru karena saya dibebaskan menjadi diri saya, saya malah ingin bisa membuatkan dia masakan yang dia suka. Kebetulan dia suka masakan Indonesia, dan ketika kami berdua kangen, saya akan memasakkan. Suami menyediakan segala yang saya butuhkan dengan penuh perhatian dan kasih, dan karenanya saya ingin mengelola dan memanfaatkan semua yang sudah dia sediakan (uang, apartemen, pakaian, makanan, listrik, air, telpon, komputer, biaya les piano, pianonya sekalian, apapun itu) sebaik mungkin. Meskipun saya merasa tidak cantik, suami saya selalu mengatakan bahwa saya cantik, setiap hari, bahkan ketika saya baru bangun tidur. Karena itu, saya mulai merasa bahwa saya memang cantik, dan ingin menampilkan diri saya yang tercantik baginya.....karena itu saya mulai belajar dandan. Suami selalu berterima kasih untuk apapun yang saya lakukan buat dia, mulai dari menyeterikakan baju sampai memasak dan membersihkan apartemen. Hal kecil semacam ini membuat saya tahu bahwa saya dihargai dan dicintai meskipun diri saya dan apa yang saya lakukan tidaklah sempurna. Dia tidak menuntut saya melayani dia, apalagi melayani dia dengan cara yang dia tentukan, tapi dia malah memilih untuk melayani saya. Hal itu malah membuat saya semakin ingin juga melayani dia! Bukankah itu inti dari pernikahan: saling melayani dalam kasih?

Saya memang berubah karena cintanya, tapi apakah semua perubahan positif saya membuat suami lebih mencintai saya? Jawabannya (dari mulut suami saya sendiri)...."TIDAK".

Hah? Beneran? Mengapa?

Jawab dia: "Karena sejak awal aku memutuskan untuk mencintaimu, aku sudah memberikan seluruh cintaku padamu."  *nggombal alert*

Ada sebuah perumpamaan yang pernah diceritakan seorang teman pada saya. Dua orang perempuan pergi ke salon untuk perawatan kecantikan. Perempuan pertama meminta perawatan lengkap, dan bercerita pada karyawan salon tersebut bahwa dia berharap dengan tampil cantik menawan suaminya akan lebih mencintai dia. Perempuan kedua meminta perawatan yang sama, dan bercerita pada karyawan bahwa dia begitu tersentuh dengan kebaikan dan cinta suaminya yang menerima dia meskipun dia tidak cantik dan tidak pernah perawatan, maka dari itu dia ingin menampilkan yang terbaik bagi suaminya.

Kisah tersebut cocok sekali dengan pemikiran saya tentang kalimat "......supaya (lebih) disayang suami". Kalimat tersebut menuntut perempuan melakukan sesuatu supaya dicintai. Padahal kita semua menyadari kelemahan masing-masing dan yang kita butuhkan adalah cinta yang tanpa syarat meskipun tidak sempurna. Coba bayangkan, kalau misalnya kita tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang membuat kita (lebih) dicintai oleh suami karena alasan apapun. Bagaimana nasib kita? Bagaimana pernikahan kita?

Kata-kata yang kelihatannya positif ternyata bisa menyimpan sesuatu yang lain. Sesuatu yang layak untuk dipikirkan.
 




*Referensi Mazmur 139:13










Comments

Popular Posts